Sabtu, 25 Juli 2020

Jogja-Bogor naik Jimny Lewat Jalur Selatan


Ini adalah postingan yang tertunda. Untung bukan postingan yang tertukar, kayak judul sinetron. ^^ tertundanya satu setengah tahun pula. Wedeh.... dasar saya, sok sibuk muluk.

So, langsung saja ke topik yang sesuai dengan judul. Pada bulan Januari 2019 di hari Jumat-Sabtu-Minggu saya dan masjo melakukan perjalanan dari Jogja ke Bogor Utara naik Jimny melalui jalur selatan Pulau Jawa, jalur yang tampaknya kurang popular di kalangan mudiker karena selain nontol, juga naik-turun dan berliku-liku yang notabene membuat para pengendara males. But, as we are not big fans of jalan tol, maka kami memilih jalur selatan ini. Btw, ini merupakan perjalanan pertama kami melalui jalur ini. Ini pun merupakan perjalanan pertama kami naik Jimny ke wilayah Jawa Barat, dan ya, solo riding pula. Solo di sini maksudnya, tanpa konvoi atau tanpa mobil lain yang menjadi teman seperjalanan dan setujuan.

Sebelum ini, saya sudah sekian kali ke Jakarta melalui jalur ini, namun ya gitu deh… karena naik bus besar dan berada dalam rombongan besar, saya jadi males mikir dan ogah mengingat jalan. Walhasil, untuk mengatakan “sehabis perempatan ini terus kemana lagi”, saya nggak mudeng blas. Karena sebagai penumpang murni, saya jadi kayak kambing congek. Adapun masjo, sudah lamo nian tidak bepergian ke arah barat ini. Duluuu sewaktu masih remaja pernah sekali-dua, itupun naik bus umum atau kereta api.

Jadi, perjalanan dengan Jimny ini layaknya perjalanan perdana bagi saya dan masjo yang mau tak mau harus mikir dan mengingat-ingat semua detail rute, karena posisi saya sebagai navigator, dan masjo sebagai sopir. Hal seperti inilah yang saya sukai, karena ‘memaksa diri menjadi pinter’. Setidaknya, lebih pinter dikitlah. Hehe. Bagaimana tidak brosis, otak dipaksa harus mikir agar tidak kesasar, pancaindera bekerja semua, begitu pula dengan intuisi…. Tsaaahhh, embeer.

Oiya, ini pun merupakan perjalanan terjauh Jimny kami selama ini, dengan jarak tempuh Jogja-Bogor 495km alias 990km pulang-pergi. Nyaris 1000km. BBM Pertamax yang dikonsumsi pulang-pergi sebanyak 108 liter (seratus delapan liter) senilai Rp1.100.000 (satu juta seratus ribu rupiah) dengan harga Pertamax Rp10.200/liter. Konsumsi rata-rata BBM adalah 9,1km/liter. Boros? Hehe… siapa bilang Jimny-Katana ngirit? Itu mah duluu, sewaktu masih standar. FYI, Jimny 4x4 kami ini keluaran tahun 1988, FG 8/41, ban MT ukuran 31 yang menurut saya lebih seperti ban extreme, busi racing Denso, pengapian koil Blue Fire, kabel Blue Thunder, setelan karburator normal (tidak boros, tidak irit). Kalau sudah dimodif gini ya jangan berharap ngirit. Skala prioritas kami memang bukan cari irit BBM tapi cari kemampuan yang “biar tidak ngrepoti teman” di trek off-road, dan tidak ngos-ngosan sewaktu nyalip truk gandeng di jalan raya.

Persiapan
Sebagaimana solo riding kami yang sudah-sudah, sebelum berangkat, kami melakukan sejumlah persiapan. Terlebih, ini menempuh jarak yang panjang dan rutenya masih asing. Hal ini sangat penting brosis, mengingat armada kami sudah tua, kayak orangnya…. hihihi. Biarin, yang penting jiwa tetap muda dan hati bahagia : )

1.       Pengecekan kendaraan
Seminggu sebelumnya, Jimny merah kami perlu diperiksakan di “dokter” langganan. Tindakan yang dilakukan berupa penggantian karet wiper, pengecekan rem, pengecekan laker roda, dan pengecekan karburator. Karet wiper sebenarnya belum lama diganti, baru beberapa bulan tetapi entah kenapa kok bunyi gruut gruuut gruuuttt….” kalau pas bekerja. Bikin risih di telinga. Apalagi ini musim hujan, kesehatan wiper tidak bisa ditawar-tawar lagi. Adapun rem, roda, karburator baik-baik saja, just make sure saja ke pak dokter.

2.       Logistik
Sehari sebelumnya kami belanja aneka macam makanan ringan baik yang manis maupun asin. Kebanyakan didominasi oleh yang asin supaya tidak eneg. Ini penting terutama bagi saya sebagai navi bin kenek yang cenderung pasif, karena kepasifan itu menjemukan, memegalkan, bahkan memusingkan yang parah-parahnya bikin mabuk. Buah-buahan yang relatif gampang dan simpel dimakan pun tak ketinggalan. Anggur merah dan pir hijau(pir jambu) saya pilih karena bercita rasa segar, manis, dan asem. Jambu demak dan jambu kristal sebetulnya juga favorit saya di perjalanan, tetapi tidak tersedia di toko buah tersebut saat itu. Yang paling enak dan simpel sebetulnya ada, anggur hitam tanpa biji, tapiiii emooh…. GMO! Opo kui GMO Piet? Mbuh, googling-o kono dek!

3.       P3K
Obat-obatan yang dibawa ya standar kotak obat. Ada obat oral: obat flu, obat diare dosis rendah, obat diare dosis tinggi, obat alergi+antimabuk, dan obat pain killer buat sakit gigi. Ada obat oles: minyak kayuputih, minyak telon, obat merah/obat luka. Ada pula obat tempel: koyok dan plester luka. Saya sebut merk dagangnya saja ya biar brosis gampang mengidentifikasinya: Procold, Entrostop, Imodium, CTM, Cataflam, minyak kayuputih Cap Lang, minyak telon Konicare, Betadine, Hansaplast, Salonpas biasa, dan Salonpas hot. Ada pula kain kasa dan sendok melamin tebal. Nah, yang disebut terakhir itu special occasion, buat kerokan hehehe. Kami asli Endonesah, kami mantab jiwa memakai penyembuhan a la leluhur yang telah terbukti khasiatnya. Sendok ini dijamin lebih jozz dibandingkan koin (terlebih koin hare gene cuilik-cuilik, nggak nendang buat kerokan). Pernah punya alat kerokan sih, tapi jatuh dan patah gagangnya, huhuu…

4.       Onderdil cadangan
Kebanyakan onderdil yang dicadangkan bukan barang baru, alias barang yang sudah tergantikan oleh onderdil baru, tapi dia masih berfungsi. Jadi, disimpan saja untuk cadangan kalau-kalau onderdil yang sudah terpasang tiba-tiba error. Apa saja itu? Busi, timing belt, fan belt, alternator belt, platina, bohlam-bohlam, kabel-kabel, dan sekering-sekering.

5.       Pemetaan rute
Rute dipetakan dengan dua instrumen: Google Map dan buku peta manual. Secara umum, keduanya ini berguna untuk mengetahui berapa kira-kira jarak dari kota A ke kota B, kota B ke kota C, dan seterusnya sampai ke Bogor. Google Map berfungsi sebagai pemandu rute yang lebih kekinian sifatnya, meskipun kadang tidak apdet-apdet banget, tapi ya cukup apdetlah. Foto-foto perempatan jalan, landmark, kondisi suatu tanjakan atau turunan, dengan view 360 derajad sangat signifikan dalam memberi gambaran visual yang mendetail kepada kami akan tempat-tempat yang bakal kami lewati. Adapun peta manual berguna untuk memperoleh gambaran praktis, menyeluruh, dan nirsinyal, karena you know lah sinyal internet yang disediakan oleh provider Indo relatif kurang handal di daerah-daerah luar kota. Selain itu, saya pribadi lebih menyukai navigasi manual dibanding digital, karena selain membuat otak dan intuisi saya bekerja lebih giat, juga menjaga sisi human saya sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan lokal people. Selain melihat buku peta, juga bertanya kepada orang di jalan merupakan cara yang cess pleng. Brosis pernah dengar kan, cerita orang-orang yang menyimpang jauh dari tujuan karena percaya 100% dan melulu mengikuti  Google Map. Ya, begitulah. Dongkol….

6.       Persiapan fisik
Tidak kalah penting, fisik juga harus dipersiapkan dengan baik. Pada H-2 kami memastikan semua pekerjaan sudah kelar dan beres, tidak ada tanggungan, sehingga H-1 kami bisa beristirahat dengan cukup, tanpa beban fisik, pikiran, dan mental. Palingan hanya mengerjakan yang ringan-ringan saja seperti belanja logistik. Ini penting brosis, mengingat kami punya pengalaman gagal bepergian karena kesibukan pada H-1 yang menguras tenaga, mental, dan pikiran. Walhasil, di hari H masjo tak berkutik…  masuk angin parah, tepar!

Nah, standar semua bukan? Mungkin ini sama dengan yang brosis lakukan. Meskipun terdengar mainstream tapi ini semua penting untuk kelancaran perjalanan kita ke luar kota.

Berangkat dari rumah
Sehari sebelumnya Jimny diisi bensin dulu Rp250.000;- nyaris full tank empat kotak karena sebelumnya di tangki masih ada sisa satu kotak. Seperti hari-hari biasa, untuk menjaga kebersihan ruang bakar jip tua ini, kami memilih “meminuminya” Pertamax. As you guys can see, harga BBM di negeri kita tercinta ini memang fluktuatif. Dalam perjalanan ini harga Pertamax Rp10.200 per liter, setahun sebelum ini, pas ke Bojonegoro masih Rp9.000-an. Juli tahun 2020 ini Rp9.000 pas. Tahun depan entah berapa.

Oke, bensin sudah penuh, hati jadi tenang, keesokan harinya tinggal berangkat saja. Dini hari jam 04.30 setelah sarapan Indomie goreng *anak kos bangeds* dan solat Subuh, perjalanan dimulai. Bismillah…

Jogja-Gombong via Jalan Daendels
Brosis pernah dengar dong ya tentang Jalan Daendels. Alih-alih memilih lewat jalan utama Jogja-Wates-Purworejo-Kebumen yang lebih muter dan ramai, kami memilih lewat Jalan Daendels tersebut. Jadi, dari rumah Jimny meluncur ke selatan, wilayah Bantul, kemudian memasuki Jalan Srandakan via Sapuangin. Terus luruus melewati Jembatan Kaliprogo yang panjang itu hingga lampu bangjo Brosot, ambil kanan, dan bablas…. Sampai beberapa bangjo lagi termasuk bangjo Toyan masih lurus terus, hingga ketemu bangjo yang di kiri jalannya ada proyek pembangunan Bandara New Yogyakarta International  Airport (NYIA), ambil kiri dan di situlah mulai masuk Jalan Daendels. (Di tahun 2020 ini, dari bangjo Brosot kita tidak perlu ke kanan yang ngalang. Langsung ambil kiri saja karena terowongan bawah bandara sudah jadi, diresmikan, dan officially bisa dilewati).

Selanjutnya kami mengikuti saja jalan di depan, karena jalan ini adanya Cuma satu dan lurus. Jalan ini relatif sepi namun masih tampak adanya kehidupan dengan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan, ada pom bensin juga di kanan jalan. Kalau saya tidak salah, rute ini berawal dari Congot, Kulonprogo sampai dengan barat Pantai Jatimalang, Purworejo.

Tiba di lampu merah,di depan itu ketemu dengan jalan yang masih kinyis-kinyis. Tampak jalan ini masih baru selesai dibuat. Saya lihat pasir-pasir sisa pengaspalan masih meng-cover sisi kanan-kiri jalan. marka jalan dan rambu-rambu lalinnya pun masih tampak kinclong, baru direyen. Orang menyebut jalan ini jalan baru, IDK, tapi menurut saya ini masih kelanjutan Jalan Daendels. Di Google Map saya cek namanya "Jalan Urut Sewu". Nah, jalan ini suepinya minta ampun. Di kiri-kanannya hanya dijumpai sawah dan semak. Di kiri jauh sana pantai selatan alias Samudera Hindia. Jangan berpikir yang jelek-jelek deh, soalnya sepi bener ini. Rumah penduduk tidak ada, bengkel dan tambal ban apa lagi. Hari masih sangat pagi dan masih remang-remang. Barengan kami saya lihat hanya sebuah truk, itu pun dia menyalip kami dan segera nggeblas meninggalkan si Jimny  yang mlaku thimlik-thimlik. Jimny just can’t go any faster, maksimal 80-90km/jam doang. Buween disalipi, monggo-lah, you can go faster but I can go anywhere, hehe. Kemakiiii….

Di bawah pengaruh CTM yang saya minum jam 4-an tadi, saya ngantuk pol, kadang tertidur kadang terbangun. Tahu-tahu sudah masuk Petanahan. Jimny belok kanan memasuki jalan desa sampai ketemu perempatan tugu burung, ambil lurus. Selanjutnya jalan mulai nggronjal, bolong-bolong yang memaksa semua kendaraan berjalan melambat. Awalnya masih dijumpai kehidupan, rumah-rumah penduduk dan keramaian tapi lama-kelamaan sepi lagi. Lurus saja terus sampai ketemu jalan besar yang ramai dan itulah jalan utama Karanganyar-Jogja. Tentu saja kami ambil kiri ke arah Gombong, kalau ke kanan, kami pulang ke Jogja dong melewati Kota kebumen.

Jam 07.00 kami berhenti di pom bensin kiri jalan di daerah Rowokele buat ke toilet. Berarti waktu tempuh dari berangkat tadi 2,5 jam. Odometer menunjukkan jarak tempuh 113 km. Bensin masih banyak, 3 kotak. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan yang masihlah sangat panjang ini.

Nyasar di Ajibarang
Rasanya kok kurang afdol kalau pertama bepergian jauh tanpa nyasar. Wkwkwk, pembelaan. Sampai di perempatan Wangon kami nyasar. Seharusnya ambil lurus, tapi kami malah ambil kanan yang ke arah Ajibarang. Maklum, navinya ketiduran melulu, jadi tidak melihat rambu penunjuk arah, xixixi.

Masjo sempat bertanya-tanya, “Kok kayaknya kita ke arah utara ya? Mataharinya kok di kanan kita?”
Saya dengan pedenya njawab, “Lha, biasa to Mas, kalo jalannya berliku-liku kan kadang kita kayak menjauh dulu dari rute utama, tapi ntar palingan ke barat lagi.”

“Eh tapi, itu kok busnya rute Wangon-Ajibarang-Purwokerto?” Kata masjo dengan tambah keheranan ketika berpapasan dengan bus-bus umum lokal.
“Kan wajar aja to… kita sekarang masih di daerah Wangon,” jawab saya yang masih kepedean. “Lagian, di Google Map kan jalannya mulai keriting dan naik-turun, jalan ini juga gitu.”

Setelah sekitar 10-12km, tibalah kami di persimpangan Ajibarang. Fix kita kesasar brosis… kalau ke kanan, arah Purwokerto, kalau lurus kita menuju pantura. Bisa saja sih kita lurus, tapi ntar lewat Cirebon dan bisa masuk jalan tol dong, bukan lewat Nagrek dan Bandung. Untuk meyakinkan diri lebih tebal lagi, ditanyalah mas-mas di dekat kios pinggir jalan, dan akhirnya dengan perasaan dongkol campur geli kami mbaliiik lagi ke arah Wangon. Hahaha…. Makanya Piet, jadi navi ojo kakeyan turu, supirmu kliru, tok ombyongi wae. Saya juga nggak ngeh kalo Ajibarang itu posisinya utaranya Wangon. Kirain baratnya. Wkwkwk. Ini nih… pengetahuan urut-urutan letak geografis kota-kota kecil semacam ini sangat diperlukan buat kita yang hendak menjelajah ke tempat-tempat yang belum pernah kita sambangi. Kemarin sempat lihat di peta sih, tapi lupa *kakeyan brutu gajah*.

Perbatasan Jawa Barat
Baiklah sodara-sodara sebangsa dan setanah air… akhirnya dari Wangon kami ambil kanan ke arah Bandung (kalau dari Jogja, berarti ambil lurus). Jalannya kurang meyakinkah, cor semen yang tidak begitu lebar. Inilah yang membuat masjo tadi nggak yakin dan memilih ambil kanan ke arah Ajibarang.

Sampai di Cimanggu bensin masih cukup banyak, 1,5 kotak. Jam menunjukkan angka 09.40. Kami belum tahu sikon di depan nantinya  kayak apa. Daripada kesatan di jalan dan susah nyari pom bensin, akhirnya kami memutuskan untuk mengisi bensin di pom kiri jalan, sekalian noilet. Diisi Rp205.000 lalu indikator BBM naik lagi menjadi 3,75 kotak.

Btw, meskipun namanya berawalan “Ci-“ seperti nama-nama khas daerah Pasundan, tetapi Cimanggu ini masih masuk wilayah Jawa Tengah lho brosis. Cuma, saya mendengar dialek petugas pom dan orang-orang sekitar memang sudah tidak nJawani lagi. Mungkin karena ini daerah yang sudah dekat dengan perbatasan Jawa Barat, jadi bahasanya sudah antara Jawa ngapak dan Sunda. Jadi, saya dan masjo pun mengubah mode bahasa Jawa ke bahasa persatuan bahasa Indonesia. Kan nggak lucu kalau kami nanya pakai bahasa Jawa tapi yang ditanya nggak paham. Thanks to para pahlawan pergerakan nasional yang telah mencetuskan Sumpah Pemuda. Kalau tidak, saat ini mungkin kita bingung mau ngomong pakai bahasa mana, susah berkomunikasi kalau ketemu orang dari daerah lain.

Masuk Jawa Barat dan makan siang
Setelah Cimanggu dan Majenang, kami memasuki wilayah Jawa Barat tepatnya Kabupaten Banjar. Yeeey…. Akhirnya Bang Jim menginjakkan bannya di Jawa Barat! Selama ini kan kalau nggak pergi ke Jawa Tengah, ya Jawa Timur. Tidak seperti Jawa Tengah tadi yang banyak gronjalan, jalan di sini mulus-mulus dan menyenangkan. Jimny yang suspensinya keras ini jadi lebih nyantuy. Di kiri kanan jalan pun tampak segar dengan hijaunya pepohonan. Ada juga hutan pinus yang dibuat untuk tempat rekreasi rakyat.

Selanjutnya sampailah kami di Cikoneng, Ciamis. Di RM Saung Gayatri kiri jalan Jam 11.45 kami berhenti untuk makan siang. Rumah makan ini bergaya tropis dengan material anyaman bambu sebagai dinding dan jendelanya. Saya cocok dengan bangunan rumah makan seperti ini karena adem, nggak sumuk.  Ada beberapa gazebo bambu di samping depan bangunan utama. Sepi… hanya kami saja pelanggannya saat itu. Sempat meragu juga sih, jangan-jangan…. Nggak enak, atau kemahalan, kok sepi begini. Ah, lupakan. Enak nggak enak, mahal apa murah, yang penting segera bisa ngisi perut, nasi brosis, nasiiii. Kita memang harus deal dengan keadaan semacam ini kalau sedang bepergian.

Pelayannya ramah menyambut kami di pintu masuk. Begitu duduk, sambil memilih-milih hidangan di buku menu, pelayan menyodori teh tawar anget. Nhaa… ini nih khasnya Jawa Barat. Kita makan apapun digratisi teh tawar. Kalau di Jogja kan kalau nggak ngorder, nggak akan dikasih teh. Pun kalau ngorder teh, otomatis dikasihnya teh manis. Kalau mau gratis, ya minta air putih. Lha di Jawa Barat ini kebalikannya, teh tawar kayak semacam minuman wajib. Tidak ngorder pun kita otomatis sudah dikasih gratis. Konsep seperti ini cocok buat kita yang traveling on tight budget lho brosis… hihi.

Tak lama berselang, datang dua orang pelanggan lain yang sampai kami cabut dari situ jam 12.25 ya cuma segini ini pelanggannya.

Apa yang kami makan? Biasa saja. Intinya yang spicy dan anget: nasi, ayam, sambal, plus lalap. Ada pelengkap sepotong kecil tahu dan sepotong kecil oncom yang digoreng tepung. Oiya, ayamnya ayam kampung yang relatif kecil, teksturnya agak keras tapi alhamdulillah nggak keras-keras amat. Masih bisa disuwir dan dikunyah kok. (Kan ada tuh ayam kampung yang kerasnya bujubuneng… kayak dummy lateks). Cuma, mbakarnya yang kurang sip… legam, kebanyakan kecap kalo kata lidah saya sih. But it’s all okay, semua itu habis saya makan kecuali leunca mentahnya.

Untuk minumnya, kami ngorder teh manis. Di luar dugaan, tidak seperti gelas teh tawar gretongan itu, gelas untuk teh manisnya gedee…. Saya dan masjo nggak kuat ngabisin. Total makan kami di sini habis Rp60.000. Wajar, normal. Kenyang….. alhamdulillah. (Baidewei, Februari 2020 kemarin kami ke Sumedang lewat depan RM ini lagi dan ternyata dia sudah tutup. Aduh…. Sayang sekali sodara-sodara).

Nagrek dan ketiduran
Lepas dari RM Saung Gayatri, jam 13.07 kami mampir di pom bensin yang saya tidak ngeh masuk daerah mana. Kami ke toilet dan salat Dzuhur-Ashar. Bensin masih banyak, jadi tidak perlu beli di situ. Sebagaimana subjudul di atas, sehabis makan dan masih di bawah pengaruh CTM, saya sering ketiduran. Damai bok, perut pun ikut damai. Tapi jadi tidak banyak yang bisa saya ceritakan, bahkan pemandangan wilayah Nagrek yang saya tunggu-tunggu karena sangat terkenal di TV pas arus mudik itu, terlewatkan begitu saja. Masjo hanya bercerita, “Wah, bagus pemandangannya di Nagrek tadi,” dan saya pun agak menyesal turu wae, hiks.

Bandung-Padalarang
Bandung-Padalarang, itulah rute selanjutnya. Setelah Nagrek, seingat saya jalanan mendatar semua, terus masuk Bandung jam 15.05. Di depan sana langit tampak sangat gelap, dan benar saja, maju sedikit kami memasuki area hujan. Hujannya tidak tanggung-tanggung, deras banget bercampur badai. Kabar dari grup Whatsapp, di Jogja pun sama, turun hujan badai yang sampai menerbangkan atap gipsum rumah teman.

Kami memasuki jalan lingkar luar Kota Bandung yakni Jalan Soekarno-Hatta yang berasa panjang dan lama. Tidak seperti jalanan sebelumnya yang mulus, jalan di sini banyak bolong dan tambalannya *kayak gigi yang kebanyakan fluoride*. Kondisinya macet parah. Jam-jam segitu adalah jam bubaran para pekerja yang pulang ke rumah. Heww…. Ini luput dari antisipasi kami. Walhasil, setelah terjebak macet selama 2,5-3 jam-an, barulah kami keluar dari Bandung.

Jam 17.45 kami nyasar, keblandhang sampai pom bensin di daerah Cimahi. Seharusnya sebelum pom, kami ambil kanan ke arah rumah sakit militer, tapi kami ambil lurus. Hehehe. Ini kesalahan saya yang sotoy, padahal masjo yakin belok kanan. Di situ saya merasa bersalah :(

Ya sudah, daripada tebak-tebakan dan tambah nyasar, kami memutuskan untuk bertanya saja ke petugas pom. Dan daripada sekedar bertanya, kami sekalian saja ngisi bensin dan noilet. Hujan masih turun rintik-rintik namun rapat, badai sudah menghilang. Keluar dari jip, ternyata di luaran cukup dingin. Air di toilet pun dingin bak air di musim kemarau. Apa karena ini daerah Bandung, atau karena sedang hujan ya? Seingat saya sewaktu nginap di Kota Bandung pertengahan tahun 90an, hawanya biasa saja tidak dingin, airnya pun biasa saja. Tahun 2010 saya menginjakkan kaki di kota ini lagi dan kondisinya idem, normal. Mungkin itu Bandung sisi lainnya ya. Baiklah, tidak penting, lupakan.

Kita lanjutkan. Bensin sudah diisi Rp205.000, perjalanan diteruskan. Dari Cimahi kami menuju Padalarang dengan kondisi jalan yang ramai lancar terkadang macet tipis. Masih banyak pekerja yang pulang kantor. Saat adzan Magrib terdengar, perut mulai kelimpungan minta nasi. Ngemil snek-snek yang beraneka ragam kok masih nggak nampol. Yaa namanya juga seneeek.

Di tengah kemacetan, masjo agak ragu apakah harus lurus atau belok. Daripada nanya Google di hape yang saya males buat mbuka karena mumet *efek lapar*, masjo pun nanya ke orang, boncenger sepeda motor di samping jendelanya. Nah, beres kan, langsung terjawab deh. Ke Bogor luruuus.

Cipatat yang berliku-liku dan gelap
Memasuki Cipatat, jalanan menurun, berliku-liku, dan gelap; minim sekali penerangan jalan. Di depan sana kok banyak bapak-bapak tentara berbaju doreng ya? Ooo… ternyata ada truk militer yang baru saja mengalami kecelakaan di kanan jalan. Duh, semoga tidak ada korban.

Tak jauh dari situ kami berhenti untuk makan malam di warung pecel lele Lamongan, ehehe… kami ngomongnya pakai bahasa Jawa dong ya. Serasa ketemu tetangga kampung, padahal Lamongan-Jogja tuh jauuuh.

Mas bakulnya bilang, di daerah situ memang sering banget terjadi kecelakaan, nyaris tiap hari ada. Kemarin aja ada motor kecelakaan di dekat Alfamart di bawah situ. Sebelum itu pun ada tabrakan bla bla bla. Weleh-weleh, kenapa bisa begitu ya? Apakah karena jalanannya gelap-gulita dan berkelok-kelok? Si mas bakul pun nggak bisa menjawabnya. Dia cuma mengatakan bahwa pengendara sepeda motor di sini banyak yang ngawur, srogal-srogol bahasa Jawanya. Iya sih, yang tadi kami lihat di jalan pun 11-12 dengan cerita do’i.

Oiya, di warung sederhana ini kami makan pecel lele. Lalapannya timun-daun selada; beda dengan di Jogja yang timun-kol-daun kemangi. Ada “bonus” sepotong tempe goreng garing, yang di Jogja itu dihargai sendiri sekian rupiah. Minumnya auto teh tawar anget yang gretong, hihihi. Nasinya pulen, tapi porsi buto ngamuk yang saya nggak sanggup ngabisin. Semua ini cuma habis Rp30.000 saja.

Si mas menginfokan, jalur Puncak Bogor itu kalau weekend begini diterapkan sistem buka-tutup. Owalah, iya betul. Kok kami lupa sih. Untungnya ini sudah malam, dan kata si mas, jam 9 malam biasanya sudah dibuka kok. Oke, saat itu sekitar jam 7 malam, jadi kami perlu mengulur waktu agar sesampainya di Puncak nanti sudah boleh lewat.

Cianjur dan kenangan semasa kuliah
Sekitar jam 7.35 kami melanjutkan perjalanan menuju Cianjur kemudian Puncak. Situasi jalanan yang gelap, ditambah dengan hujan pula, rasanya jadi gimanaaa. Suasana terasa dingin dan sepi. Di depan hanya ada satu mobil yang searah dengan kami, sebuah Suzuki Carry tua, hehe… sesama Suzuki tua dilarang saling meledek. Karena dingin banget, AC kami matikan. Mesin pun jadi terasa lebih powerful ketika menapak di tanjakan. Singkat cerita, daerah Cianjur sudah terlewati dengan salah satu kakhasannya berupa toko-toko yang menawarkan oleh-oleh manisan dalam toples-toples kaca besar. Kami cuma lewat saja, meskipun jiwa belanja saya meronta-ronta.

Berada di pegunungan, jalanan di sini berkelok-kelok dan naik turun. Ingatan saya terlempar ke tahun 1996, tepat di jalan ini, saat saya mabuk berat karena nggak tahan bantingan ke kanan dan ke kiri dari bus Kramat Djati yang saya tumpangi dari Jogja. Waktu itu saya, tiga teman kuliah, dan seorang dosen pendamping, sedang dalam perjalanan tugas kampus untuk mengunjungi studio alam di Cipanas, milik Ali Shahab sutradara terkenal di masa itu. Brosis yang tumbuh di tahun 80an mungkin ingat sinetron Rumah Masa Depan, yang tayang di TVRI setiap Minggu siang. Nah, itu karya beliau

Nah, sedikit cerita nih. Ketika saya berkunjung, beliau sedang memproduksi sinetron Angkot Haji Imron. Saya ditanyai oleh salah satu kameramen, “Mbak, kalau di Jogja, sekali makan habis berapa? Saya pingin nguliahin anak saya ke sana.” Saya jawab, “Seribu rupiah Pak, itu sudah pakai lauk ayam, dan sudah dengan es teh.” Si bapak kaget tidak percaya seraya merespons, “Aahh… masak? Nggak mungkinlah, kok murah banget. Pakai tempe kalik”. Saya meyakinkan, “Eh lha memang benar segitu Pak, Jogja kan memang murah apa-apa.” Hehehe, mungkin fenomena macam ini yang membuat anak-anak luar Jogja ekstra bahagia kuliah di Jogja ya. Lha ortunya banyak yang nggak tahu, at least pada saat itu ketika informasi belum seterbuka sekarang. Ngasih jatah buat hidup di Jogja, tapi dengan standar Jakarta. Ya bisa buat foya-foyalah. Mmmmm.... Apa ini yang menggiring Jogja yang katanya kota pelajar itu saat ini di sejumlah sudutnya berbau hedonistik? Maksud saya, dulu kota ini terasa bersahaja. Tapi kok semakin ke sini semakin banyak mall, tempat nongki-nongki, dan tempat ajeb-ajeb.

Oke, semono ae nostalgiane. Kita lanjutin perjalanan ke Bogor.

Sampai di Bogor
Selepas Cipanas, jalan terus menurun. Dan akhirnya sampailah kami di Kota Bogor sekitar jam 10 malam. Tinggal sedikit lagi untuk sampai di tujuan. Intinya, kami kesasar-sasar dan nanya-nanya orang sekian kali barulah sampai di tujuan rumah adik yang tak jauh dari perempatan Pomad, jam 11.30 malam. Ada jalan underpass yang tidak terbaca di Google Map, itulah yang membuat masjo salah pilih jalan. Fiuuh… perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Alhamdulillah si Jimny tidak rewel.

Sejauh ini, itulah perjalanan terjauh kami dengan Jimny yang berusia 31 tahun saat itu (sekarang di tahun 2020 dia sudah 32 tahun). Hikmah utama dari perjalanan ini adalah rasa percaya diri yang meningkat. Ya, pede untuk bepergian solo, tidak harus selalu berkonvoi dengan jip-jip teman. Asal, kondisi jip benar-benar dalam kondisi sehat, inshaallah lancar. Setelah ke Bogor, perjalanan-perjalanan kami selanjutnya ke Jawa Barat yang notabene berbeda budayanya jadi lebih nyantai dan tenang. Kalau nyasar, tinggal nanya orang lokal saja. Mereka pada baik kok, jangan khawatir. Selama kita bersikap sopan, mereka tentulah dengan senang hati mau menunjukkan jalan. Terlebih dari plat nomor mobil kita, mereka tahu kita orang dari jauh.

Oiya,dari pengalaman kami ini ada sedikit saran untuk brosis yang berniat nge-trip ke Bogor. Pertama, hindari waktu macet bubaran kantor Kota Bandung yakni jam 3 sore sampai sekitar jam 7 malam (15.00-19.00). Kedua, khusus weekend, hindari waktu tutup jalan ke arah Puncak yakni jam 10 pagi sampai dengan jam 9 malam (10.00-21.00), kecuali anda berniat lewat jalan tikus. Emang ada? Ya ada lah! Teman saya sewaktu pulang ke Jogja pernah kejebak jam tersebut karena ketidaktahuannya. Solusinya, dia nyari tukang ojek buat memandu jalan menghindari jalan mainstream ke Puncak, bayar Rp50.000 doang.

So, total waktu tempuh adalah 18 jam, terhitung dari berangkat jam 04.30 pagi hingga sampai di rumah adik jam 11.30 malam. Lamo yo? Iyo. Kan ingat, katanya Jimny can't go fast, but it can go anywhere... hehe. Nah, brosis punya rencana bepergian solo keluar daerah, entah dengan jip tua, atau terlebih dengan mobil keluaran kini, ayolah…. Yakinlah untuk mulai melangkah.

Wassalam.

~Piet~