Minggu, 31 Juli 2016

“Nyidam” Tape Ketan Muntilan


 
Hai hallooo, broda sista…..
Dari Bantul ke Muntilan, dari wilayah Jogja bagian selatan ke wilayah Jawa Tengah bagian selatan, itu sudah berkategoro AKAP ya. Hehee. Nah, kemarin saya main “jug-cing” saja ke Muntilan untuk sekedar membeli tape ketannya yang enak itu. Abis itu ya langsung pulang. Saya mah gitu orangnya ^^.

FYI, semua foto dalam postingan ini saya buat dengan kamera HP Lenovo. Jadi, jika dirasa kurang sip, ya harap maklum la yaaw :D


 
Ceritanya, beberapa hari sebelum itu, saya main ke rumah saudara di daerah Temanggung. Memasuki Sleman, kok kepala saya agak pusing, padahal sudah sarapan. Kemudian terpikirlah untuk mencari yang seger-seger penawar pusing itu. Kalau beli buah, ah malas mengupas kulit atau memotong-motongnya. Lalu terlintaslah tape ketan seger, manis, berair, dan legit yang Lebaran lalu saya temui di rumah bulik. Tapi, mosok  ya saya balik ke rumah bulik untuk minta tape. Wekekek, ndagel tur syaruu. Lagian, Lebaran sudah lama berlalu, sekarang tapenya ya sudah di septic tank habis to ya.

Begronnya jip, biar greget. Kan ini blog jip?! Nggak nyambung disambung-sambungin. Biarin! Hehe...

Kebetulan, di depan sana kan kota kecil bernama Muntilan yang terkenal akan oleh-oleh tape ketannya. Maka dari itu, memasuki keramaian Kota Muntilan, menepilah jip saya di toko Tape Ketan Muntilan 181. Gampang banget deh menemukan toko ini. Kalau anda berkendara dari arah Jogja, memasuki daerah Muntilan, mulai pelankan laju kendaraan anda. Setelah melewati jembatan, siap-siap tengok kiri depan. Toko ini letaknya di kiri jalan, jadi enak, kita tidak usah pake rempong nyebrang-nyebrang jalan segala. Tempat parkirnya pun lumayan luas.





Jip saya di depan toko Tape Ketan Muntilan 181



Di situ saya sengaja fokus pada tape saja, walaupun jajanan pasar di etalase pada “ngawe-awe”; ada klepon, bakso tahu, sejenis risoles atau lumpia yang dimakannya pakai nyeplus cabe rawit itu.... mmmm looks yummy, sejumlah jajanan berbungkus daun pisang yang bikin penasaran apa isi di dalamnya, dll. Biar tidak tergoda oleh mereka *maklumlah, emak-emak suka masak* saya segera njujug bagian tape saja di dekat kasir. Saya minta tape yang berwadah toples, tak lupa minta sendok plastik juga biar bisa segera makan di jalan.



Yummy..... si hijau yang manis segar ini bikin saya ketagihan :)



Harganya Rp55.000, berat tape ini 1 kg. Hmmm saya pikir nggak sampek segitu je, hiks. Saya kira harganya Rp30an ribu saja. Wkwkwk.... Yowis, saya beli satu toples. Ada juga tape berbungkus kantong plastik transparan yang diikat ujungnya, isinya lebih sedikit yakni 1/2kg, harganya saya lupa hehe... maafkan ya. Lha saya tidak tertarik, karena saya butuh yang berwadah stabil sehingga tidak tumpah atau belepotan di dalam kendaraan.

 
Bagi brosis yang belum tahu tape ketan Muntilan, ini saya kasih sedikit gambaran. Tape ini terbuat dari beras ketan yang diwarnai hijau. I dunno pewarnanya dari bahan apa, tetapi dilihat dari kecerahannya kok mengingatkan saya akan pasta pandan yang sering saya pakai bikin kue atau manisan kolang-kaling itu. Atau, bisa jadi ini pewarna makanan jenis lain; tapi sepertinya bukan dari daun katuk karena hijaunya daun katuk lebih kalem, tidak seceria ini. But don’t worry, kecerahan warnanya masih wajar kok; tidak seperti jajanan anak-anak di depan sekolah SD yang super ngejreng mengerikan itu.


Dilanjutken. Tekstur tape ini empuk bin gempi (boso jowo). Rasanya manis pas, segar kalau dimakan siang bolong. Dimakan tengah malam sambil menghitung bintang pun asyik aja, palingan ntar tidak terasa udah raib pindah ke perut semua. Aromanya normal, tidak ada bau-bauan yang aneh-aneh. Kalau kita menyendok bagian bawah, tapenya lebih basah karena berarir, beras ketan yang di bawah terfermentasi dengan lebih baik. Air tape ini pun manisnya pas, segar.



Singkat cerita, setelah pulang dari silaturahim di rumah saudara, tape ini tidak bertahan lama. Kenapa? Bukaan, bukan karena basi atau rusak, tetapi karena saya cemilin sambil nonton tivi. Kok tak terasa aja, tinggal separuh toples pun ora ono. Hahaha.... buto! Lha enak je. Manis, legit, seger, dan tidak sengar atau over fermented. Teksturnya pun lembut dan gimanaaaa gitu. Menyenangkan deh. Keesokan harinya saya lihat di kulkas, eh dia sudah nyaris habis. Tinggal tersisa sesendok saja. Ternyata masjo juga doyan. Hahahaha. Kirain emoh..... Tau gitu, kemarin saya beli dobel atau tripel sekalian ya.

Ukuran toples dibandingkan dengan kacamata minus dan HP qwerty jadoel saya

Itulah cerita yang melatarbelakangi *hedeeh bahasanya* keinginan saya untuk beli tape ketan Muntilan lagi. Ternyata lidah ini nagih, mencari-cari lagi. Mana lagi nih tape yang bisa ane kunyah?

Hihi.... dan akhirnya, keesokan harinya meluncurlah kami ke Muntilan hanya untuk membeli tape tersebut. Kali ini belinya dua toples, biar lebih awet. Yang satu untuk yang matang/dikonsumsi hari ini, satunya lagi matang besok. Jangan khawatir brosis, di tutup toplesnya terdapat tanggal yang jelas kok. Ini dimaksudkan agar kita bisa mengonsumsi pada kematangan yang pas.  

Tercantum tanggal matangnya tape di toplesnya

Lha tapi kok tidak mborong banyak sekalian? Tiga, lima, atau setengah lusin sekalian? Wkwkwk. Saya tidak mau rasa nikmat itu berubah menjadi bosen dan eneg. *Eh, ingat bosen, jadi ingat hukum Gossen :) * Selain itu, tape ini kalau tidak segera habis, rasa manisnya bisa berubah rasa menjadi manis bercampur sengar atau bahasa jawanya “nyegrak”, menusuk hidung dan tenggorokan. Dan itu tidak enak. Istilah saya: tapenya sudah ketuaan.

Setoples tape dengan sendoknya ini berbungkus plastik kresek hijau

Olrait, seperti pembelian yang sebelumnya, saya pun meminta sendok. Setelah itu, di dalam perjalan pulang pun saya langsung mil-ketemil seperti kijang makan lembayung aja. Hehe.

Kalau soal rasa, tidak diragukan lagi deh. Toko 181 yang pembuat tape ini sudah berpengalaman puluhan tahun, sejak 1935 brosis. Sejak kita masih dijajah Belanda. Sejak saya belum lahir *dikonsep pun belum, wong ortu saya juga belum lahir*. Well, tulisan “sejak 1935” itu terdapat di kantong plastik kresek pembungkus serta di billboard toko; tapi di toplesnya kok tulisannya “Pertama sejak 1947” ya? Yang mana yang benar nih? Brosis ada yang tahu kah? Silahkan berikan pendapat di bawah ya :)




Tape ketan Muntilan warna hijau ini berhasil memenuhi rasa “nyidam” saya. Eh tapi tapi.... tape ini ada tapinya. Di tengah-tengah kunyahan, lidah saya kadang menemukan substansi keras yang ternyata itu beras ketan yang belum matang sempurna, bsoso jowone “nglethis”. Tidak banyak sih, tidak di semua suapan, yaaa mungkin 1:8, tapi cukup mengganggu lah. 

Ada beras ketan yang masih mentah... hiks :(
Nemu krikil item juga... eww...
Karyawan bagian pengukusan perlu lebih cermat nih, agar beras ketannya matang merata. Pinginnya kan, dari awal sampai titik tape penghabisan, saya menyendok dan mengunyah tekstur yang halus mulus bagai jalan tol. Kayak tape Cirebon yang berbungkus daun jambu air itu, totally mulus. Satu lagi, saya juga menemukan kerikil kecil warna item. Ya, perlu lebih jeli lagi nih bagian pencuci dalam menyortir beras ketannya.




Kalau disodori yang begini ini, saya mana tahaaaan..... Sikat bleeeh!

Eniwei, it is not a big deal for me. Nyatanya, saya masih kembali lagi kok, dan masih berniat kembali lagi untuk membelinya kapan-kapan. Soalnya enak, sesuai dengan selera saya. Oh ya, ternyata dia punya cabang di Jogja. Walah, baru ngeh saya setelah membaca tulisan di tas kreseknya. Ora popo, hitung-hitung turing... bwahaha. Turing nanggung.

Kesimpulan saya untuk Tape Ketan Muntilan 181 ini:
Asyiknya:
+ enak, legit, manisnya pas, teksturnya pas
+ kemasan toples mudah di-handle di perjalanan
+ keterangan tanggal matangnya jelas
+ minta sendok langsung dikasih (lebih baik otomatis dikasih, tidak perlu minta)
+ tempat parkir representatif

Nggak asyiknya:
- masih ada beras ketan  yang mentah, juga beberapa gelintir krikil
saran: pengukusan dan penyortiran beras ketan sebaiknya lebih dicermati lagi
- harga agak ketinggian
saran: menurut saya perlu diturunkan *bwahaha mode pelit ngirit-irit on* tapi cucoklah kalau masalah pada poin di atas sudah tertangani
- warna hijaunya masih tampak artifisial
saran: lebih ajib pakai pewarna alami (daun suji, or whatever)

Saya lebih menyukai memakannya pada suhu ruang. Menurut saya, teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih 'jujur' daripada kalau dingin keluar dari kulkas. Hehe... ini sih faktor selera saja ya. Monggo, kalau anda lebih menyukai yang dingin. 

Oh iya, saya belum pernah mencoba tape ketan Muntilan dari toko lain atau merk lain. Mungkin kapan-kapan perlu saya coba. Atau anda punya referensi tape ketan lain yang uenak tenan? Jangan sungkan-sungkan, beritahu saya ya :) Kalau anda ikutan 'nyidam' setelah baca postingan ini, segeraaaa  otewe ke tekape.
Wassalam.

~Piet~


Sabtu, 30 Juli 2016

Merawat Jimny: Spooring-Balancing



Merawat Jimny: Spooring-Balancing

Helluuuuw.....
Jimny semi offroad di-spooring-balancing? Ah! Kayak mobil kenceng aja! Seorang teman jip bahkan dengan nada berolok-olok, ngetawain dan nyeletuk, “Kayak Xenia-Avanza aja, pake di-spooring-balancing, hahaa!” Betuuul, itulah yang sempat terpikir oleh saya dan masjo pada awalnya, namun pemikiran itu ternyata keliru. Maka dari itu, saya rasa saya perlu membagikan pengalaman kami ini kepada anda semua yang nyasar di blog ini. Hehe.


Brosis sudah pernah dengar istilah “spooring dan balancing” dong ya? Para broda mungkin sudah sering dengar atau malah hapal. Gimana dengan para sista? Kalau anda belum tahu? Sama! Saya juga baru belajar, dikit-dikit ngepoin, biar agak tahu. Hehe.

Secara simpel, tempo hari dan dahulu kala, saya tahunya ini soal membuat mobil jadi stabil saat dikendarai. Lha soal teknik pelaksanaannya bagaimana, saya belum mengerti. Entah diapain atau digimanain, saya au ah gelap. Maka dari itu, ketika masjo berencana mau mbengkelin Jimny kesayangan untuk di-spooring-balancing, saya langsung ndaftar ikut. Biar mudeng, biar tambah wawasan, dan biar nyambung kalo dengerin obrolan para pria.... bwahahak *___*

Apa sih spooring-balancing itu?
Setahu saya, spooring-balancing merupakan aktivitas mekanik dalam dunia otomotif yang bertujuan untuk menyeimbangkan kaki-kaki mobil terhadap badannya, agar mobil dapat berjalan dengan stabil. Tidak seperti mobil baru yang masih bagus semua lininya, masih enak jalannya; mobil lama terkadang harus menghajar jalanan yang buruk dengan kecepatan tinggi, atau melewati medan offroad yang membuat kaki-kakinya harus enjlok-enjlokan, mbanting pontang-panting. Sesempit wawasan saya yang kaum hawa ini, hal tersebutlah yang menjadi penyebab mayor ketidakstabilan jalannya mobil. Untuk itulah, setiap 20.000 km, atau 10.000 km, atau berapa KMlah, mobil perlu di-spooring-balancing agar jalannya lurus kembali, tidak kayak Drunken Master hehe... Correct me if i am wrong ya gaes...


Baidewei, istilah “spooring” ini tidak saya temukan di dalam kamus english daring, pun di dalam kamus bahasa indonesia. Kayaknya, ini berasal dari bahasa Belanda “spoor” deh. *sotoy ya, hihi....* Hmmm betul tidak ya? Yang jelas, bukan dari boso jowo, walaupun dalam boso jowo yang diadaptasi dari boso londo, ada kata “sepur” yang artinya kereta api. Spooring di sini ndakdo hubungannyo samo kereto apo, eh kereto api, ahihihi.

Adapun “balancing” di dalam kamus english, diartikan sebagai upaya menjaga keseimbangan/membuat seimbang; asal katanya “balance”. So, dua kata “spooring” dan “balancing” ini tampaknya merupakan ‘perkawinan silang’ antara bahasa londo dan inggris. Ibarat kate, asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga. Hahaha.... jadi keinget sama lagu dangdernya Ona Sutra. Entah siapa yang ngawinin dan gimana sejarahnya, kok istilah ini bisa muncul di seantero negeri kita tercinta ini. Para londo yang lagi piknik itu mungkin juga bingung, mengerutkan dahi, dan mengangkat bahu bilamana melihat tulisan tersebut di pinggir jalan. Iki artine opo to, Basyir? Lha embuh, Bang Mandor.... Tekono Sembara kae! Hak hak haakkk....
Definisi yang saya dapatkan di map yang berisi hasil pengecekan jip saya dari Setiawan Spooring-Balancing

Apa permasalahan Jimny saya?
Oke, brosis, jadi ceritanya begini. Beberapa waktu yang lalu masjo mengamati ban depan jip kami yang mulai gundul itu. Ban depan sudah gundul duluan, sementara ban belakang masih cukup tebal. Oke, itu wajar. Lha tapi kok sisi dalamnya lebih aus dibandingkan dengan sisi luarnya ya? Hmmm... tentu ada yang salah ini. Wajarnya kan halusnya berbarengan, adil merata begitu. Ibarat orang berjalan kaki, cara berjalankaki jip kami ini berbasis huruf "V".


See? Habisnya ban tidak merata, sisi dalam duluan, sisi luar belakangan

Arah berjalan huruf "V" membuat ban sisi dalam cepat habis duluan
Arah berjalan yang normal, ibarat kedua kaki ane ini, keempat roda jip ane pun kudunya lurus. Eiiittt.... jangan salah fokus ke sepokatnya yak.... wkwkwkwk. Inshaallah besok kapan ane bikin repiyu Docmart-nya :D

Nah, puncaknya, kemarin di H+3 Lebaran, jip kami kendarai di Jalan Daendels ke arah Pantai Glagah Kulonprogo yang lurus dan mulus itu, speedometer menunjukkan 80km/jam. Itu adalah angka yang besar bagi jip ‘berlagak’ offroad ber-ground clearance tinggi milik kami. Saya yang berposisi sebagai kenek merasakan laju jip gleyat-gleyot ke kanan ke kiri begitu. Rasanya tidak stabil, liar. Masjo berusaha menghapus kecemasan saya *dan kecemasan dia juga* dengan mengatakan, “Ah, biasa itu, Jimkat dibuat berjalan banter, ya tentulah tidak stabil.”

Memang sih, saya sering mendengar hal tersebut. Pernah nonton video daring juga bahwa Jimny-Katana itu tidak stabil untuk ngebut di jalan raya. Cuma, kok kali ini tidak stabilnya liar, bak lenggok si ular, lari ke kanan-kiri di luar kendali.

Dulu jip kami pernah mengalami hal semacam ini sewaktu sok-sokan ngebut di tol Bawen, Semarang. Aneh, goyang dombret. Setelah itu, beberapa waktu kemudian dibawa ngoffroad, CR-an. Namanya saja CR-an, tentulah berjalan pelan-pelan karena jalanannya tidak semulus aspalan. Pas berjalan di sebuah turunan di kawasan Merapi, saya perhatikan dari bawah turunan, roda jip kok berjalan gleyat-gleyot aneh begitu, serasa mau pada copot. Wedew, ngeri dong kalau terjadi demikian. Jadi teringat film Dono-Kasino.

Setelah ditanyakan kepada ahlinya, seorang offroader yang juga buka bengkel; ternyata “lengen gareng”atau tie rod-nya sudah rusak, minta diganti. Dan benar saja, setelah diganti, jip berjalan dengan lurus dan stabil kembali.
Long tie rod, bagian dari lengen gareng, dan lengen masjo yang memeganginya :D

FYI, jip saya ini rasio gardannya 8/41 yang termasuk berkategori low. Lha kenapa kok milih yang low? Kan bikin larinya nggak kenceng? Iya, do'i memang sengaja diseting untuk tidak ngebut di jalan raya kok, tetapi untuk bisa nggremet di tanjakan dan medan-medan jelek. Konsep berkendara kami kan simpel: biar lambat asal selamat; mengambil falsafah keong atau kura-kura. Hehee...

Kembali ke atas, ke spooring-balancing itu. Dari pengalaman di Jalan Daendels itu, masjo bergoogling lah. Selanjutnya didapatlah sejumlah jawaban yang intinya: jip kami memerlukan spooring dan balancing. Haiyah! Apa iya, jip yang jalannya pelan kayak keong dan suka diajak main di kebon kok butuh di-spooring balancing segala. Pikir saya waktu itu, kalau itu mobil on-road sih wajar, karena mereka butuh kestabilan saat dipacu dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Lha ternyata? Mau on-road atau off-road, dibawa ngebut atau pelan; jika jip sudah terasa tidak stabil berarti butuh distabilkan. Jika tidak ada masalah dengan komponen kaki-kaki, maka jip butuh spooring-balancing. Begitulah kesimpulannya, dan selama kami memilikinya, jip ini memang belum pernah di-spooring-balancing.

Ke bengkel spooring balancing
Singkat kata seingkat cerita, meluncurlah kami menuju bengkel spooring-balancing terdekat. Ternyata tutup pemirsa. Hew.... Mungkin mereka masih libur lebaran. Terus cabut, mencari-cari, dan akhirnya ketemu bengkel yang sudah buka. Alhamdulillah....

Oiya, semua foto di sini saya buat dengan kamera hape Lenovo, bukan kamera DSLR. Jadi, mohon dimaklumi kalau gambarnya banyak yang tidak jelas ya, hihiii.

Juga, perlu brosis semua pahami bahwa postingan ini tidak dibayar oleh siapapun, bukan supported by siapapun. Ini murni pengalaman saya yang saya tulis dan bagikan saja. Semoga ada sejimpit manfaat bagi semua yang baca. Okeey, mari cekidot.

Mau mbengkel, nyarap ketoprak Jakarte dulu ah. Eh, tapi kok kayak ada yang kurang di dalam piringnya itu ya? Cuma kelihatan toge dan krupuk doang. Hahaha, ternyata si mbak bakulnya lupa belum memasukkan tahunya. Ealaah....
Masuk bengkel
Pukul 09.40 saat jip memasuki bengkel, dengan sigap satpam dan montir mengarahkan jip untuk menempati ‘tempat periksa’ yang berupa platform bordes hitam. Roda-roda jip menginjakkan kaki-kakinya tepat di atas platform. Di depan terdapat sebuah komputer yang telah diprogram untuk keperluan ini. 


Komputer dan perangkat lainnya
Platform tempat mobil di-spooring
Menempatkan diri di platform
Platform dinaikkan
Kami dan mas montir selanjutnya ngobrol bla bla bla, termasuk nanya-nanya tarif. Hah, yang terakhir ini tidak kalah penting brosis, masalah tarif. Setahu saya, untuk roda Jimny kami  yang masuk kategori berukuran besar ini, tarifnya lebih mahal daripada roda sedan standar misalnya. Satu rodanya kami merogoh kocek Rp60 ribu.

Seorang mbak-mbak karyawan mendekat untuk menanyakan dan mancatat data teknis kendaraan, juga jenis pelayanan yang kami inginkan. Saya menyimak biar tahu permasalahan dan solusinya.

Wokeh.... akhirnya jip Jimny kami pun ditangani. Proses spooring pun dimulai.




 Sensor elektronik berbentuk panel dipasang pada tiap-tiap roda, mirip panel surya yak :) Sensor yang berjumlah empat buah ini terhubung dengan alat pembaca elektronik di depan sana, di ujung palang itu, kemudian datanya masuk ke komputer, dibaca, dianalisis, dan ditindaklanjuti.
Mas montir sedang membaca data teknis roda
Dari layar komputer itu terbaca sberapa banyak melencengnya roda-roda

Setelah spooring, mari kita mulai proses balancing-nya.

Inspeksi ban

Bannya dicopot


Ada yang kocak di daerah laker





Ban dipasang pada sebuah alat pemutar
Ban diputar untuk dideteksi penyimpangan keseimbangannya

Pembacaan hasil putaran ban di komputer oleh mas montir. Roda yang tidak seimbang perlu diseimbangkan dengan ditempeli secuil timah pada pelegnya.

Mendiskusikan hasil spooring-balancing

Ban-ban dipasang kembali




Dicoba dikendarai keluar bengkel. Mas montir membawanya ke jalan raya.

Ternyata posisi kemudi belum center, perlu dikoreksi juga. Setelah itu: selesai, kelar.


Long tie rod jip sudah minta diperhatikan juga ternyata. Butuh diganti. Bengkel tidak punya barang yang ready, adanya di gudang yang terletak jauh dari situ. Harganya 600 ribu. Itu pun kami masih harus nunggu samai entar sore. Ya sudah, masjo memutuskan untuk beli sendiri di toko onderdil, Prabu Motor. Lokasinya di timurnya perempatan Pojok Beteng Wetan, atawa Jalan Kolonel Sugiono, utara jalan. Cuma 150 ribu, lebih murah dan pake pol, hihihi. Mungkin karena cuma sebatang yang vital thok ya, sementara yang ditawarkan oleh bengkel tadi itu satu set komplit.


Long tie rod ini dipasang keesokan harinya, karena kami sudah keluar bengkel, mau balik ke bengkel lagi kok rasanya sudah penat, sumuk, harus ngantri lagi pula.

Oke, soal durasi pekerjaan tadi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Jip masuk bengkel pukul 09.40, keluarnya pukul 12.15. Jadi, totalnya 2 jam 35 menit. Ini di luar masang long tie rod lho ya, cuma spooring-balancing saja.

Setelah keluar dari bengkel
Ternyata yang namanya kendaraan beroda empat itu memang perlu spooring-balancing. Tak terkecuali mobil yang berkategori jip semi offroad macam Jimny kami. Terlebih jika cara berjalannya sudah liar dan goyang ke kanan ke kiri tidak karuan.

Setelah di-spooring-balancing dan diganti long tie rod-nya, jip dicoba untuk melaju di ringroad selatan Jogja pada kecepatan 80 km/jam. Rasanya? Alamaaak.... terasa jauh lebih nyaman, stabil, dan kemudi lurus normal, tidak ngiri-nganan lagi. Untuk berjalan pelan di kampung pun no problemo; stabil. Tidak ada lagi rasa yang aneh-aneh seperti kemarin. Kalau nanti sudah ganti ban, tentu akan lebih nyaman lagi, karena kembangannya rata, tidak halus sebelah. Hehe... entar deh itu. Nunggu celengan bagong penuh dulu.

Lha tidak lama setelah itu, seorang teman pun ikutan nyepooring-balancingin jip semi offroadnya. Dan komentar dia setelah keluar dari bengkel pun sama, “Ehehe... nyaman coy! Ternyata jip pun perlu spooring-balancing ya.” Hati galau pun berubah jadi riang dah. Hahaa. Syukuuur....

Nah, makanya.... jangan suka ngetawain, apalagi ngeledekin, kalau belum ngerasain sendiri payahnya permasalahan orang, dan cerahnya solusi yang akhirnya didapatkan oleh orang :)) *lah... malah curcol*

Sekedar referensi
Nama bengkel: Setiawan
Alamat: Jalan Bantul, Kweni, Jogja
-Lamanya waktu spooring-balancing  2 jam 35 menit
-Balancing 4 ban @ Rp60 ribu. Total Rp240 ribu
-Spooring Rp150 ribu
-Ongkos pasang long tie rod Rp50 ribu
(Ongkos semua itu di atas: Rp440 ribu)

-Beli long tie rod di Prabu Motor Jogja 150 ribu

Total biaya perawatan Jimny kami kali ini: Rp390 ribu+ Rp50 ribu+ Rp150 ribu = Rp590 ribu

Wassalam.

~Piet~