Rabu, 14 Maret 2018

Naik Jimny dari Jogja ke Bojonegoro



Naik Jimny Jogja-Bojonegoro

Haiii... nyempatin posting lagi di tahun 2018 ini. Sekedar pengalaman kecil menempuh perjalanan darat naik Jimny Jogja-Bojonegoro yang saya lalui pada awal bulan Februari lalu. Jangan tanya kenapa baru saya posting sekarang yee, hehe. Blogger langka saya mah... langka posting, ckikikik.

Bojonegoro? Yang terlintas di benak saya kota kecil yang ada alun-alunnya, tipikal kota-kota di Jawa. Selain itu, terlintas makanan khas sana yang mirip kue semprong, yang bernama ledre. Terlintas pula tanah kapur, juga pohon-pohon jati. Selain itu, saya belum punya gambaran.

Jimny '88 guanteng, lagi berjemur di Taman Wisata Dander, Bojonegoro :D
Lalu, ke Bojonegoro naik Jimny? Si badak tua yang acap kali keluar-masuk bengkel? Betuul, Jimny si badak tua yang hampir berumur 30 tahun itu, dan sendirian pula tanpa jip barengan yang bisa saling nyetrap kalau mogok... hehe. Saya harus jauhkan sejauuuh-jauhnya bayangan mogok di jalan. Dan yup, saya berdua dengan masjo saja main ke Bojonegoro, tepatnya di Kecamatan Dander. Btw, namanya itu... semacam “dangdut”:D
Poster event Deklarasi SKIn Bojonegoro
Kira-kira sebulan sebelumnya, masjo menginfokan ke saya bahwa tanggal 4 Februari 2018 akan ada event jip-jipan Deklarasi Suzuki Katana Jimny Indonesia Chapter Bojonegoro, deklarasi berdirinya sebuah klub jip berbasis Suzuki Katana dan Jimny. Wah, menarik ini, saya dan masjo kan belum pernah ke daerah ini. Terus, ya saya tandai tanggal yang dimaksud.

Persiapan
Mulailah kami menyusun rencana, beli apparel pendukung buat blusukan *saya beli sepatu trekking dong uhuuy*, nyelengi buat sangu, beli logistik, sampai melihat-lihat atlas jadul dan mengecek Google Map untuk merencanakan jalur perjalanan. Dan yang paling penting, dua hari sebelum berangkat, Jimny diperiksakan di bengkel langganan terlebih dahulu. Kebetulan dia berasa kurang sehat, kasihan kalau  dipaksa buat ke luar kota. Jangan sampai nanti di jalan atau di tujuan bertambah parah, tambah repot ntar.

Penyakit yang dirasakan: setiran berasa ngiri-nganan sendiri, jip berjalan agak liar.
Dugaan: kalau tidak minta di-spooring-balancing, ya ada laker roda yang error.
Hasil pemeriksaan: laker roda kiri depan sudah pada hancur, minta diganti.
Alhamdulillah ketahuan dan segera tertangani. Jimny pun sehat kembali.

Sehari sebelum berangkat, masjo menanyakan ini-itu sehubungan dengan event tersebut ke nomor kontak yang tercantum di poster yang telah disebarkan di medsos itu. Hari ‘H’ menjelang berangkat, masjo mengabari beliau tentang keberangkatan kami. Lha sendirian je, perlu itu ngapdet progres perjalanan biar terpantau dan bisa direkomendasiin atau disaranin gini-ginu bila kenapa-kenapa (naudzubillah).

Perjalanan dimulai: Jogja-Solo ramai lancar
Sabtu pagi, 3 Februari 2018, pukul 09.20 kami mulai bergerak meninggalkan sebuah pom bensin di Jalan Bantul, Jogja. Bensin sudah diisi full tank, Pertamax. Odometer di-set nol supaya kami bisa tahu berapa sesungguhnya jarak tempuh Jimny kami dan habis berapa liter bensinnya. Karena kemarin sudah nyicil diisi, hari ini cukup diisi Pertamax 150 ribu saja sudah penuh menceb-menceb nyaris luber (indikator empat kotak). Kami memang memilih Pertamax, bukan Premium atau Pertalite, karena ingin menjaga kebersihan dan kesegaran ruang bakar. Kasihan, grobag sudah tua ini, ya kami kasih “makan” yang baik supaya dia tetap sehat, kuat diajakin ke mana-mana, nggak kalah sama kendaraan-kendaraan muda…. karepee hehe.

Menurut peta, jarak Jogja-Bojonegoro via Ngawi-Padangan adalah 214km. Jalan Jogja-Klaten-Solo saat itu ramai lancar, sesekali padat merayap, namun tidak macet seperti yang dikhawatirkan seorang teman, meskipun itu weekend. Jimny kami berjalan woles, rata-rata 60km/jam. Risiko FG low 8:41.  Risiko ban MT juga, tidak safe untuk berjalan kencang di aspalan. Risiko ‘Jimny nature’ pula yang ber-ground clearance tinggi sehingga berisiko limbung, tidak cocok buat banter-banteran di jalan raya. Walhasil, buat berjalan di atas 70km/jam pun kuping ini berasa mendengung, berisik nian di dalam kabin. Kalau buat ngomong harus sambi teriak-teriak *lupa kagak bawa TOA* Wew, ini masih menjadi pe-er nih brosis, membikin si Jimny kedap suara kayak mobil-mobil kekinian.

Jogja-Solo sampai ke Jawa Timur alhamdulillah perjalanan lancar jaya. Allah sayang pada saya. Dia berikan langit mendung nyaris sepanjang perjalanan. Ini membuat saya merasa adem, tidak kegerahan, dan tidak “kesentrong” sinar UV yang bisa bikin gosong wajah saya *tsaah…*. Meskipun AC Jimny kami alhamdulillah suwejuuuuk, tapi saya lebih menyukai kondisi langit yang berselimut mendung untuk perjalanan darat. Itu membuat saya merasa kalem sampai ke lubuk hati hihi, suhu radiator mobil pun  tidak kepanasan. Kadang mendung abu-abu itu ditingkah dengan mendung gelap; hujan rintik-rintik, hujan sedang, hingga hujan lebat. Meskipun kadang terasa sengatan matahari, namun paling hanya sebentar. Nyaman deh pokoknya.
Sampai di Kartasura jam 11.20-an, ketika memasuki Kota Solo kami beriringan dengan sebuah Jimny biru. Nggak kenal sih, tapi kami bertegur sapa a la anak jip… jiaah anak jip rek! Jendela saya buka lebar-lebar biar masjo dan beliau pengemudinya yang entah siapa namanya itu bisa saling sapa dan ngobrol.

Om: “Saking Yojo niki?”
Masjo: “Njih. Badhe ten Bojonegoro!” seru masjo di belakang setiran. Ngomongnya kudu setengah teriak karena jalanan berisik :D
Om: “Monggo pinaraak!”
Masjo: “Maturnuwuun!” seru saya dan masjo nyaris berbarengan.
Om: “Njiiih, ati-atiii!” lanjut si Om, dan kami pun berpisah haluan.

Ah, serunya naik Jimny! Di mana-mana kalau ketemu sesama Jimny kayak sudah sohiban akrab saja, padahal kenal pun tidak, hihi. 
Sodara dadakan Jimny biru di Solo
Selepas Kota Solo ke arah Sragen, kami mampir di sebuah pom bensin kiri jalan. Ah lupa saya daerah mana. Kami noilet dulu dan dilanjutkan dengan sholat Dzuhur-Ashar di musholla pom. Saya suka toiletnya yang luas dan bersih, airnya pun mengalir lancar sehingga masalah sesuci tidak saya temui di sini.
Berpapasan dengan mobil ijo yang ban serepnya a la jip
Wah, habis ‘ngetap’ lega rasanya. Habis wudhu, wajah dan sebagian badan yang kena air pun jadi adem, nyaman, terlebih saya orangnya gerahan level platinum. Kelar sholat, hati berasa tenang, satu kewajiban dari "Bos Maha Besar" namun sering saya bilang "nanti, nanti, dan nanti ah!" ini sudah kami tunaikan. Perjalanan dilanjut.

Ngawi: hati-hati marka jalan!
Perjalanan diteruskan. Sedikit mlipir wilayah Kabupaten Karanganyar, kemudian masuk Kabupaten Sragen dengan Jalan Sukowatinya di pusat kota itu; akhirnya kami masuk wilayah Jawa Timur, tepatnya Kabupaten Ngawi. Di sini polisinya terkenal galak-galak. Sedari rumah saya sudah mewanti-wanti masjo supaya pay attention more, jangan sampai nginjek marka lurus tak putus. Pokoknya, cerewet deh emak2 navigator KW 12 ini. Yes, meskipun masjo juga sudah ngerti daerah ini rawan tilang, tapi tetap perlu saya ingatkan agar tidak terlena. Terlebih, masjo sudah lama tidak lewat sini. Kasus penilangan yang sering banget saya dengar sebenarnya ‘sepele’ saja: nginjek marka.

Masjo sempat bergumam, kok sejak tahun 90’an jalanan ini tidak ada perubahan, panceet ae. Tetap sempit, tidak diperlebar kayak jalan Jogja-Magelang itu. 

“Mau tau jawabannya mas? Ituu….” kata saya sambil nunjuk jalan tol di kiri jauh yang masih on progress. Kalau jalan raya ini dibikin lebar, ya ntar jalan tolnya kagak lakuu.^^

Saya saksikan di kiri-kanan jalan, sawah-sawah luas yang menguning dan banyak sekali petani yang sedang memanen padi. Mereka memakai caping yang nyaris sama, berbanjar rapi, dan sama-sama bergerak maju. Wuiih fotogenik! Tapi sayang saya lagi males ngeluarin kamera, pun cahayanya flat, tidak berdimensi, tidak bagus buat motret. Saya sudah cukup bahagia menikmati pemandangan alam yang mirip lukisan Jelekong tersebut. Saya pun merasa damai menghirup sayup-sayup aroma jerami segar yang menerobos masuk jendela Jimny *yang masih bocor itu hiks*. Teringat saat SD dulu saya suka ngikut simbah ke sawah buat ani-ani. Alamaak, syahdunya masa kecil eike.

Selepas lewat Pondok Pesantren Gontor Putri, kewaspadaan ditingkatkan. Di kanan jalan saya melihat pos polisi yang di depannya ada beberapa buah mobil pribadi dihentikan oleh petugas. Waduh, naga-naganya ketilang tuh.
Sampai di hutan Ngawi, hati-hati marka tak putus, jangan diinjak ya...
Untunglah Jimny kami aman dan lancar. Kuncinya, ikuti aturan dan sabar. Wong bus AKAP yang terkenal whuz-whuz-whuz itu saja rela antri membuntut dengan rapinya kok, masak kami nggak. BTW, lucu juga kalau dipikir-pikir, semua kendaraan yang biasanya yak-yak’an, mendadak alim dan imut-imut, berbaris panjaaaang nan rapi bak kereta api.

Selepas dari kawasan situ otot badan berasa agak setel kendho, agak lho ya. Ketika memasuki kota Ngawi, saya sempat takjub dengan dua sepeda motor yang memboncengkan damen alias jerami di depan kami. Busyet dah hebohnya. Masjo sampe bilang kayak reog. Hehe dumeh di Ngawi dekat Ponorogo ini, lantas kebayang reog.
Damen reog
Yang jadi masalah, fokus kami terpecah antara ke jalan dan ke mereka.  Saya sendiri jadi fokus ingin memotret damen aneh itu, sedangkan masjo dibuat bingung dengan kendali motor mereka yang tampak mleyat-mleyot tidak seimbang ketika mau berhenti di lampu merah; dan mereka itu arahnya mau ke mana, kok kayak mau ke kiri tapi berhentinya mepet di kanan. 
 
Membingungkan... Damen reog itu mau ambil lurus, tapi berjalan di kiri, dan itu membuat kami terus membuntuti dan nyaris 'kena apes'

Walhasil, baik saya maupun masjo tidak waspada kalau di depan ada lampu merah yang belok kiri jalan terus, ada polisinya pulak! Nah, di ujung depan lajur kiri itu ada Kijang yang berhenti tapi tampak canggung dan ragu-ragu. Lalu…. datanglah polisi yang menyuruhnya belok kiri, kemudian stop di dekat pos. Saya membaca gelagat nggak enak, kayaknya bakal kena tilang deh dia. Di belakang Kijang hanya ada jip kami tapi agak jauh jaraknya, mungkin tujuh meteran. Sambil mengarahkan Kijang, polisi itu melihat ke arah kami dengan tatapan menyelidik. Gercep navi KW 12 ini aba-abain masjo buat riting kiri dan belok kiri masuk tengah kota. Saya lirik Kijang yang distop di dekat pos. Blaik! Kena tuh Kijang. Kami alhamdulillah lolos, meskipun harus sedikit muter jalan, tapi selameeettt. Selanjutnya belok kanan dan kanan tipis saja hingga ketemu jalan raya Ngawi-Surabaya lagi. Selanjutnya maju sedikit, lalu ketemu persimpangan ke kiri arah Cepu/Padangan, kami ambil kiri dan bablas.
Jembatan fotogenik di Kota Ngawi
Ngawi-Padangan: jalanan berliku-liku, menanjak, dan banyak gronjalan
Jarak Ngawi-Padangan mungkin sekitar 40km, kami tempuh dalam satu jam-an, mungkin kurang. Itu sudah dengan dua kali berhenti untuk makan cemilan bekal di tepi jalan dan mampir ke toilet pom bensin. Awalnya kondisi jalan biasa saja tidak begitu halus, tidak pula jelek, lalu tampak menjelek. Setelah masuk gapura selamat datang di Kabupaten Bojonegoro, jalan sempat licin mulus. Masjo pun memuji, “Wah, apik iki, jalan Bojonegoro lebih bagus dibandingkan Ngawi.” Etapii, itu semua di-mansuh-nya karena begitu semakin ke utara kok jalan semakin hancur minah huhuu.

Banyak sekali gronjalan, bolongan, dan aspal  mlendung. Tepian jalannya pada ngombak, mungkin tanah di sini rawan bergeser. Jimny kami sih alhamdulillah terbiasa CR-an, buat kondisi jalan begituan mah hajar sajaa *nggayaa*. Cuma, akan lebih nyaman kalau aspalnya mulus biar bisa sedikit nambah gas. Tapi kasihan mobil-mobil alusan. Bisa cepat jebol suspensinya. 

Selain mobil pribadi, kami banyak ketemu sama bus antarkota dan truk besar. Duhh, kasihan mereka kalau tiap hari harus menelan jalan yang jelek tersebut. 

Semakin ke arah utara, suasana lokal mulai terasa dengan berseliwerannya sepeda motor berplat “S” dan “K”. Yeay….. kita sudah benar-benar masuk teritori Bojonegoro…..

Sepanjang jalan Ngawi-Padangan, pemandangan didominasi oleh hutan dan pohon-pohon jati. Benar, Bojonegoro kaya akan kayu jati seperti Blora tetangga sebelahnya. Kebayang di benak saya, semua rumah di sana tiang dan kusennya kokoh-kokoh dari jati tua, ruangannya pun berisi mebelair jati berkualitas nomor satu. Saya lihat ada pos Perhutani di kanan jalan pertanda hutan jati di sana memang masif dan dikelola dengan serius. Jadi teringat sebuah truk tronton di Pantura Jawa yang membawa tiga gelondong kayu jati berukuran super guede.  Waktu itu saya dalam perjalanan ke Kudus. Excited saya melihatnya. Di Jogja, belum penah saya lihat kayu jati sebesar itu. Bayangin brosis, hanya tiga gelondong saja! Dan bak truk yang tanpa pagar itu sudah terisi penuh. Kebayang kan rupiahnya? Atau dolarnya? Barangkali sampai bilangan milyar itu. Tapi, sayang saja kalau kayu seberkualitas itu harus lari ke luar negeri. Terus, kita bangsa penghasil ini cukup puas dengan membeli jati biasa, jati muda, mebel sisa ekspor yang biasanya cacat produksi, atau…… malah bangga bisa beli mebel kayu partikel dengan embel-embel merk terkenal.^^

Jimny kami melewati wilayah desa yang tampaknya merupakan sentra kerajinan akar kayu jati. Di kiri-kanan jalan di depan rumah-rumah penduduk banyak teronggok bonggol-bonggol atau tunggul jati yang kalau saya  yang sotoy ini  taksir bisa ratusan juta atau milyaran rupiah mungkin. “Waah, bondho niku Mas!” seru saya sembari menunjuk ke arah onggokan-onggokan tersebut yang terkesan dibiarkan begitu saja di pinggir jalan. Nggak takut diangkut orang lewat ‘pa ya? Syukurlah, bila semua orang tidak berjiwa maling.

Ada dua ruas perbaikan jalan yang dijaga oleh para “petugas tiban” orang-orang setempat yang membawa ember penampung recehan. Jalan tersebut telah terbetonisasi. Ah, saya sebel kalau harus lewat jalan beton. Berasa jedug-jedug pas di sambungannya, gelinding ban pun berasa seret bak makan roti tawar. Beda dengan aspal, licin mengalir bak nelen ager-ager. Udah gitu, pantulan cahaya yang jatuh ke permukaan beton putih berasa prampang, panas di mata ketika siang.

Padangan-Kota Bojonegoro: bersisihan dengan rel
Memasuki pusat Kota Padangan, saya lihat ada rumah sakit besar di kiri jalan yang masih tampak baru. Bangunan tinggi menjulang berdesain modern itu terlihat kontras dengan bangunan-bangunan lain yang tampak bersahaja. Mungkin perencana pembangunannya memprediksi, ke depan nanti daerah situ akan ramai dan padat sehingga sedari awal sejak lahan masih pada luas itu perlu dibuat bangunan yang tumbuh ke atas demi efisiensi. Or whatever lah.

Sampai di keramaian Padangan, kami melewati palang pintu kereta api. Di sekitarnya terdapat sejumlah toko yang menjual dan memproduksi sendiri ledrenya. Hahay…. Besok, saya mau mampir situ aah. 
Heiiy.... ada ledre di situ
                                     

Perempatan Padangan, Bojonegoro
Setelah rel, ketemu perempatan. Ke kiri ke arah Cepu, lurus masuk terminal, kanan ke arah Kota Bojonegoro dan kalau diteruskan akan ketemu jalur Lamongan-Surabaya. Kami mengambil kanan. Jarak Padangan-Kota Bojonegoro sekitar 33km kami lalui sekitar 40 menit. Jalan ini lempeng saja tidak belok-belok. Uniknya, sejauh perjalanan itu kami bersisihan dengan rel kereta api double track di kanan jalan. Asyiik, nanti bisa ketemu kereta nih. Betul saja, ada kereta lewat dari arah berlawanan. Excited rasanya, beda dengan melihat kereta yang diam di stasiun. Terlebih jika anda seorang railway fan, tentu lebih excited lagi ya.

Ruas jalan ini kombinasi. Kadang beton, kadang aspal. Kadang mulus kadang gronjalan. Kadang si Jimny bisa menggelincir tenang, tetapi lebih seringnya terguncang-guncang. Jalan ini merupakan jalan vital ke arah kota metropolitan Surabaya, dengan ditandai oleh lebarnya yang legaa, juga kendaraan yang melintas yang besar-besar seperti truk tronton, trailer, dan bus besar. Berasa Pantura saja nih.

Jalan tol melintang di atas sana, memotong jalan utama antara Padangan-Kota Bojonegoro
Oiya, jalan ini juga dilintasi oleh calon jalan tol di atasnya, sebuah entitas yang tidak saya jumpai di Jogja. Anyway, I don’t like jalan tol. Banyak banget deh alasan ketidaksukaan saya ini. Wew… tidak usah dibahas. Syukurlah Pak Sri tidak mengizinkan adanya jalan tol di DIY.

Gapura "Wong Jonegoro" ini sedikit mengingatkan saya akan Majapahit
Kota Bojonegoro-Dander: susahnya nemu warung Padang
Jam 4.20 tibalah kami di Kota Bojonegoro. Di depan ada tugu “globe” yang kalau ke kanan ke arah Dander, kiri ke arah kota. Karena hari masih terang maka kami ambil kiri dulu untuk melihat-lihat kota, sesuai dengan plan A (plan B-nya langsung menuju Dander andai kata sampai sana hari sudah gelap). Jimny pun masuk  ke kawasan kota. Penasaran, kami pingin melihat-lihat kota Bojonegoro seperti apa, minimal alun-alunnya. Sayang saja kalau sudah pergi jauh tapi tidak sekalian tahu pemandangan kotanya.

Truk merah ini mendadak lepas 'pagarnya' dan nyelonong ke tengah jalan. Untung si Jimny sudah jaga jarak aman
Sampai di tugu "globe". Kalau ke kiri, masuk kota Bojonegoro; ke kanan ke arah Dander dan bablas Nganjuk
Jimny berjalan pelan, sembari melihat-lihat kota, sembari mencari warung Padang. Perut saya sebetulnya belum keroncongan tapi ini memang sudah lewat bablas dari waktu maksi, masuk maklam *aneh ya, maklam... Mak Lampir po?* Pelan banget Jimny berjalan biar kami bisa clingak-clinguk nyari warung Padang,  hingga zonk sampai di alun-alun. Di sana malah tampak berderet bakul-bakul pentol dengan motor dan gerobag rombongnya. Rame betul. Ada pentol tusuk doang, pentol kuah, dan pentol bakar. Weeh, tampak bikin penasaran, kayak apa sih pentol sini? Mau berhenti tapi ah nanti dululah, warung Padang belum ketemu nih. Kami hanya mlipir sisi barat kota saja, lalu kembali ke jalan yang tadi ke arah tugu “globe”, kemudian memutuskan langsung ambil arah Dander saja. Siapa tahu nemu warung Padang di ruas jalan ke luar kota sana. Eee ternyata masih zonk! Gilee, susyeh amir nemu warung Padang di sini. Lha di Jogja, di sembarang jalan rasanya ada saja tuh warung.
Jalan masuk ke arah Kota Bojonegoro
Yo wis, akhirnya kami putuskan makan ayam geprek. Yang penting makan nasi, spicy, pedes, dan kenyang. Dasar orang Indonesia tulen, tak kuasa berpisah dari nasi hihi. Jimny kami pun berhenti di warung kiri jalan yang tampak masih baru itu. Ternyata ‘geprek’ di sini hanya ikutan istilah jaman now saja brosis, karena ayamnya tidak digeprek campur sambel. Sambelnya dipisah dari ayamnya, sehingga tidak bikin masalah bagi orang yang tak doyan pedes. Ayam gepreknya lumayan recommended, gurih, empuk, dan sambelnya cocok di lidah saya. Cuma, porsi sambelnya sedikit banget. Untunglah masjo tak doyan sambelnya, terlalu pedes katanya, terus dihibahkan ke saya. Porsi nasinya terlalu sedikit bagi kaum lelaki, masjo perlu nambah satu porsi. Bagi perut saya sih cukupan kenyangnya. Seporsi ayam kampung geprek plus nasi, sambal, dan lalapan dihargai 20ribu. 

Sembari makan, kami melihat beberapa jip Katana-Jimny ngalor-ngidul. Sedaap….! Hehe. Aroma acara ngejip sudah tercium bersama hembusan angin sore yang sepoi-sepoi. Ada pula yang nglakson begitu melihat Jimny kami yang parkir di tepi jalan, tampaknya itu panitia tuan rumah. Dan rasa-rasanya area tikum event Deklarasi SKIn Bojonegoro sudah dekat. 

Makan di sini kami total habis 62ribu. Itu sudah dengan dua gelas lemon tea anget dan take away french fries yang wujud dan rasanya ajaib, letoy gitu, dan berminyak. Yeah, dengan hanya 8ribu itu saya tak bisa berharap banyak. Yang penting bisa buat membungkam demonstrasi para cacing yang mungkin kelaparan nanti malam.

Kelar makan, perjalanan dilanjut. Kata mas karyawan warung, tinggal sedikit lagi kami sampai lokasi Taman Wisata Dander. Siip. Sekitar tiga ratusan meter saja dari warung, kami berhenti di pom bensin kiri jalan untuk isi Pertamax, 150ribu nyaris full tank. Besok pagi jip sudah siap buat CR-an. Urusan isi-mengisi amunisi pun sudah beres, tinggal menemukan lokasi tikum.

Jam 5.15 sore akhirnya kami sampai di lokasi, sebuah taman wisata di Kecamatan Dander di tepi area hutan jati milik Perhutani. Alhamdulillah…. :) Selanjutnya menuju meja panitia, registrasi, lihat-lihat lokasi, dan pasang tenda, istirahat sampai subuh. 
Jip kecil berfoto dengan pesawat kecil
Untuk pulang ke Jogja besok siangnya kami ngisi Pertamax lagi 100ribu, karena Minggu pagi BBM sudah berkurang buat CR-an keliling hutan jati. Maaf brosis, saya nggak ngitung berapa km CR-annya karena saya banyak ketiduran di trek. Lha kami ikut CR-an 4x2 yang notabene minim guncangan, dasarnya saya ngantuk berat karena semalaman nyaris tidak bisa bobok. Jadi, total beli Pertamax Jimny kami Jogja-Bojonegoro PP sebanyak 370ribu. 

Adapun perjalanan pulangnya not much to tell. Cuma, saya pingin mie ayam sejak dari Ngawi tapi tidak nemu-nemu. Wong warungnya banyak yang tutup/habis, mungkin karena efek hari Minggu jadi banyak orang yang jajan, ada yang buka tapi ‘tidak meyakinkan’, buka tapi di kanan jalan dan males nyebrang, buka tapi sudah keblandhangen dan nggak minat mbalik lagi. Walhasil  karena saya orangnya lagi super riwil kami tidak nemu-nemu mie ayam sampai di Klaten. Akhirnya, ketimbang sami mawon amsyoong bikin Indomie di rumah, kami putuskan makan bakmi di wetan Prambanan, wkwkwk. Selesai mbakmi, sisa perjalanan pulang dilanjutkan. Masuk wilayah Jogja tercinta, eee kayak sulapan, bermunculanlah warung mie ayam….. dan warung Padang pun ikut-ikutan berseliweran….. Iiihh Njelehi! Ini sungguh menyebalkan.

So, berangkat pulang terhitung dari pom bensin Dander sekitar jam 11.30 siang, kami tiba di rumah jam 07.00 malam dengan empat kali berhenti yakni satu kali buat beli ledre, dua kali ke toilet, dan satu kali ke masjid. Kecepatan rata-rata 60km/jam. Konsumsi BBM:jarak tempuh sekitar 1:9-10km. Yep, tidak irit memang, karena faktor ban ukuran 30 tipe mud terrain, final gear 8:41, dan setelan jip mungil 1000cc ini memang diprioritaskan untuk kuat di tanjakan ( ‘digas dikit langsung ngacir’.... karep-nya).

Oks, segini dulu cerita kali ini. Mohon dimaklumi foto-foto hasil jepretan HP butut yang alakadar *ngeles*.  Saya mau lanjutin mburuh... See you kapan-kapan :)

Wassalam

~Piet~

Update: 18 Juli 2020
Tanggal 3 Juli 2020 kami melewati lagi rute Kota Ngawi ke Padangan, dan jalan yang saya ceritakan jelek tersebut di atas sudah diaspal halus. Perjalanan pun jadi lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih lancar. Adapun kondisi ruas utara rute ini, yakni jalan yang 2 tahun lalu sedang dalam proses betonisasi itu pun sudah selesai dibeton. Jadi, tidak kami temui lagi jalan buruk di sepanjang jalur ini. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah setempat :)



5 komentar:

  1. Petualangan bersama Si Badak yang hebat ini Mas,salut sesama penunggang Badak 😄👍🇮🇩

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun :) Maaf, saya mbak, bukan mas hehe. Cuma dekat-dekat situ aja kok

      Hapus

  2. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q

    BalasHapus
  3. Pertama kali ketemu,,,awal nya tanya rak heheheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaa...! ini mesti Om Agus SKIn AG ya? Salam satukan jangan pisahkan :)

      Hapus