Naik Jimny Jogja-Bojonegoro
Haiii... nyempatin posting lagi di tahun 2018 ini. Sekedar pengalaman kecil menempuh perjalanan darat naik Jimny Jogja-Bojonegoro yang saya lalui pada awal bulan Februari lalu. Jangan tanya kenapa baru saya posting sekarang yee, hehe. Blogger langka saya mah... langka posting, ckikikik.
Bojonegoro? Yang terlintas di benak saya kota kecil yang ada alun-alunnya, tipikal kota-kota di Jawa. Selain itu, terlintas makanan khas sana yang mirip kue semprong, yang bernama ledre. Terlintas pula tanah kapur, juga pohon-pohon jati. Selain itu, saya belum punya gambaran.
Bojonegoro? Yang terlintas di benak saya kota kecil yang ada alun-alunnya, tipikal kota-kota di Jawa. Selain itu, terlintas makanan khas sana yang mirip kue semprong, yang bernama ledre. Terlintas pula tanah kapur, juga pohon-pohon jati. Selain itu, saya belum punya gambaran.
Jimny '88 guanteng, lagi berjemur di Taman Wisata Dander, Bojonegoro :D |
Lalu, ke
Bojonegoro naik Jimny? Si badak tua yang acap kali
keluar-masuk bengkel? Betuul, Jimny si badak tua yang hampir berumur 30 tahun itu, dan sendirian pula tanpa
jip barengan yang bisa saling nyetrap kalau mogok... hehe. Saya harus jauhkan
sejauuuh-jauhnya bayangan mogok di jalan. Dan yup, saya
berdua dengan masjo saja main ke Bojonegoro, tepatnya di Kecamatan Dander. Btw, namanya itu... semacam “dangdut”:D
Kira-kira sebulan sebelumnya, masjo menginfokan ke saya
bahwa tanggal 4 Februari 2018 akan ada event jip-jipan “Deklarasi Suzuki Katana Jimny Indonesia Chapter
Bojonegoro”, deklarasi berdirinya sebuah klub jip berbasis Suzuki
Katana dan Jimny. Wah, menarik ini, saya dan masjo kan belum pernah ke daerah ini. Terus, ya saya
tandai tanggal yang dimaksud.
Persiapan
Mulailah kami menyusun
rencana, beli apparel pendukung buat
blusukan *saya beli sepatu trekking dong uhuuy*, nyelengi buat sangu, beli logistik, sampai melihat-lihat atlas jadul dan
mengecek Google Map untuk merencanakan jalur perjalanan. Dan yang paling penting, dua hari
sebelum berangkat, Jimny diperiksakan di bengkel langganan terlebih dahulu. Kebetulan dia berasa kurang sehat, kasihan kalau dipaksa buat ke
luar kota. Jangan sampai nanti di jalan atau di tujuan bertambah parah, tambah
repot ntar.
Penyakit
yang dirasakan: setiran berasa ngiri-nganan
sendiri, jip berjalan agak liar.
Dugaan: kalau tidak minta di-spooring-balancing, ya ada laker roda yang error.
Hasil
pemeriksaan: laker roda kiri depan
sudah pada hancur, minta diganti.
Alhamdulillah ketahuan dan segera
tertangani. Jimny pun sehat kembali.
Sehari sebelum berangkat, masjo
menanyakan ini-itu sehubungan dengan
event tersebut ke nomor kontak yang tercantum di poster yang telah
disebarkan di medsos itu. Hari ‘H’ menjelang berangkat, masjo mengabari beliau
tentang keberangkatan kami. Lha sendirian je, perlu itu ngapdet progres
perjalanan biar terpantau dan bisa direkomendasiin atau disaranin gini-ginu bila kenapa-kenapa (naudzubillah).
Perjalanan dimulai: Jogja-Solo ramai lancar
Sabtu pagi, 3 Februari 2018, pukul 09.20
kami mulai bergerak meninggalkan sebuah pom bensin di Jalan Bantul, Jogja.
Bensin sudah diisi full tank, Pertamax.
Odometer di-set nol supaya kami bisa
tahu berapa sesungguhnya jarak tempuh Jimny kami dan habis berapa liter
bensinnya. Karena kemarin sudah nyicil diisi, hari ini cukup diisi Pertamax 150
ribu saja sudah penuh menceb-menceb nyaris
luber (indikator empat kotak). Kami memang memilih Pertamax, bukan Premium atau
Pertalite, karena ingin menjaga kebersihan dan kesegaran ruang bakar. Kasihan,
grobag sudah tua ini, ya kami kasih “makan” yang baik supaya dia tetap sehat, kuat
diajakin ke mana-mana, nggak kalah sama kendaraan-kendaraan muda…. karepee hehe.
Menurut peta, jarak Jogja-Bojonegoro via
Ngawi-Padangan adalah 214km. Jalan Jogja-Klaten-Solo saat itu ramai lancar,
sesekali padat merayap, namun tidak macet seperti yang dikhawatirkan seorang teman,
meskipun itu weekend. Jimny kami
berjalan woles, rata-rata 60km/jam. Risiko FG low 8:41. Risiko ban MT
juga, tidak safe untuk berjalan
kencang di aspalan. Risiko ‘Jimny nature’ pula yang ber-ground clearance tinggi sehingga berisiko limbung, tidak cocok buat
banter-banteran di jalan raya. Walhasil, buat berjalan di atas 70km/jam pun kuping
ini berasa mendengung, berisik nian di dalam kabin. Kalau buat ngomong harus
sambi teriak-teriak *lupa kagak bawa TOA* Wew, ini masih menjadi pe-er nih
brosis, membikin si Jimny kedap suara kayak mobil-mobil kekinian.
Jogja-Solo
sampai ke Jawa Timur alhamdulillah perjalanan lancar jaya. Allah sayang pada
saya. Dia berikan langit mendung nyaris sepanjang perjalanan. Ini membuat saya
merasa adem, tidak kegerahan, dan tidak “kesentrong” sinar UV yang bisa bikin
gosong wajah saya *tsaah…*. Meskipun AC Jimny kami alhamdulillah suwejuuuuk,
tapi saya lebih menyukai kondisi langit yang berselimut mendung untuk
perjalanan darat. Itu membuat saya merasa kalem sampai ke lubuk hati hihi, suhu
radiator mobil pun tidak kepanasan. Kadang
mendung abu-abu itu ditingkah dengan mendung gelap; hujan rintik-rintik, hujan sedang,
hingga hujan lebat. Meskipun kadang terasa sengatan matahari, namun paling
hanya sebentar. Nyaman deh pokoknya.
Sampai di Kartasura jam 11.20-an, ketika
memasuki Kota Solo kami beriringan dengan sebuah Jimny biru. Nggak kenal sih,
tapi kami bertegur sapa a la anak jip… jiaah anak jip rek! Jendela saya buka lebar-lebar
biar masjo dan beliau pengemudinya yang entah siapa namanya itu bisa saling
sapa dan ngobrol.
Om:
“Saking Yojo niki?”
Masjo:
“Njih. Badhe ten Bojonegoro!” seru
masjo di belakang setiran. Ngomongnya kudu setengah teriak karena jalanan
berisik :D
Om:
“Monggo pinaraak!”
Masjo:
“Maturnuwuun!” seru saya dan masjo
nyaris berbarengan.
Om:
“Njiiih, ati-atiii!” lanjut si Om,
dan kami pun berpisah haluan.
Ah, serunya naik Jimny! Di mana-mana
kalau ketemu sesama Jimny kayak sudah sohiban akrab saja, padahal kenal pun
tidak, hihi.
Selepas
Kota Solo ke arah Sragen, kami mampir di sebuah pom bensin kiri jalan. Ah lupa
saya daerah mana. Kami noilet dulu dan dilanjutkan dengan sholat Dzuhur-Ashar di
musholla pom. Saya suka toiletnya yang luas dan bersih, airnya pun mengalir
lancar sehingga masalah sesuci tidak saya temui di sini.
Wah,
habis ‘ngetap’ lega rasanya. Habis wudhu, wajah dan sebagian badan yang kena
air pun jadi adem, nyaman, terlebih saya orangnya gerahan level platinum. Kelar sholat, hati berasa tenang, satu kewajiban dari "Bos Maha Besar" namun sering saya bilang "nanti, nanti, dan nanti ah!" ini sudah kami tunaikan. Perjalanan dilanjut.
Ngawi: hati-hati marka jalan!
Perjalanan diteruskan. Sedikit mlipir
wilayah Kabupaten Karanganyar, kemudian masuk Kabupaten Sragen dengan Jalan
Sukowatinya di pusat kota itu; akhirnya kami masuk wilayah Jawa Timur, tepatnya
Kabupaten Ngawi. Di sini polisinya terkenal galak-galak. Sedari rumah saya
sudah mewanti-wanti masjo supaya pay
attention more, jangan sampai nginjek marka lurus tak putus. Pokoknya,
cerewet deh emak2 navigator KW 12 ini. Yes,
meskipun masjo juga sudah ngerti daerah ini rawan tilang, tapi tetap perlu saya
ingatkan agar tidak terlena. Terlebih, masjo sudah lama tidak lewat sini. Kasus
penilangan yang sering banget saya dengar sebenarnya ‘sepele’ saja: nginjek marka.
Masjo sempat bergumam, kok sejak tahun
90’an jalanan ini tidak ada perubahan, panceet
ae. Tetap sempit, tidak diperlebar kayak jalan Jogja-Magelang itu.
“Mau tau jawabannya mas? Ituu….” kata saya sambil nunjuk jalan tol di kiri jauh yang masih on progress. Kalau jalan raya ini dibikin lebar, ya ntar jalan tolnya kagak lakuu.^^
“Mau tau jawabannya mas? Ituu….” kata saya sambil nunjuk jalan tol di kiri jauh yang masih on progress. Kalau jalan raya ini dibikin lebar, ya ntar jalan tolnya kagak lakuu.^^
Saya saksikan di kiri-kanan jalan,
sawah-sawah luas yang menguning dan banyak sekali petani yang sedang memanen
padi. Mereka memakai caping yang nyaris sama, berbanjar rapi, dan sama-sama bergerak
maju. Wuiih fotogenik! Tapi sayang saya lagi males ngeluarin kamera, pun
cahayanya flat, tidak berdimensi,
tidak bagus buat motret. Saya sudah cukup bahagia menikmati pemandangan alam yang
mirip lukisan Jelekong tersebut. Saya
pun merasa damai menghirup sayup-sayup aroma jerami segar yang menerobos masuk
jendela Jimny *yang masih bocor itu hiks*. Teringat saat SD dulu saya suka
ngikut simbah ke sawah buat ani-ani. Alamaak, syahdunya masa kecil eike.
Selepas lewat Pondok Pesantren Gontor
Putri, kewaspadaan ditingkatkan. Di kanan jalan saya melihat pos polisi yang di
depannya ada beberapa buah mobil pribadi dihentikan oleh petugas. Waduh,
naga-naganya ketilang tuh.
Untunglah Jimny kami aman dan lancar. Kuncinya,
ikuti aturan dan sabar. Wong bus AKAP
yang terkenal whuz-whuz-whuz itu saja rela antri membuntut dengan rapinya kok,
masak kami nggak. BTW, lucu juga
kalau dipikir-pikir, semua kendaraan yang biasanya yak-yak’an, mendadak alim
dan imut-imut, berbaris panjaaaang nan rapi bak kereta api.
Selepas dari kawasan situ otot badan
berasa agak setel kendho, agak lho ya.
Ketika memasuki kota Ngawi, saya sempat takjub dengan dua sepeda motor yang
memboncengkan damen alias jerami di
depan kami. Busyet dah hebohnya. Masjo sampe bilang kayak reog. Hehe dumeh di Ngawi dekat Ponorogo ini,
lantas kebayang reog.
Yang
jadi masalah, fokus kami terpecah antara ke jalan dan ke mereka. Saya sendiri jadi fokus ingin memotret damen aneh itu, sedangkan masjo dibuat
bingung dengan kendali motor mereka yang tampak mleyat-mleyot tidak seimbang
ketika mau berhenti di lampu merah; dan mereka itu arahnya mau ke mana, kok
kayak mau ke kiri tapi berhentinya mepet di kanan.
Walhasil, baik saya maupun masjo tidak waspada kalau di depan ada lampu merah yang belok kiri jalan terus, ada polisinya pulak! Nah, di ujung depan lajur kiri itu ada Kijang yang berhenti tapi tampak canggung dan ragu-ragu. Lalu…. datanglah polisi yang menyuruhnya belok kiri, kemudian stop di dekat pos. Saya membaca gelagat nggak enak, kayaknya bakal kena tilang deh dia. Di belakang Kijang hanya ada jip kami tapi agak jauh jaraknya, mungkin tujuh meteran. Sambil mengarahkan Kijang, polisi itu melihat ke arah kami dengan tatapan menyelidik. Gercep navi KW 12 ini aba-abain masjo buat riting kiri dan belok kiri masuk tengah kota. Saya lirik Kijang yang distop di dekat pos. Blaik! Kena tuh Kijang. Kami alhamdulillah lolos, meskipun harus sedikit muter jalan, tapi selameeettt. Selanjutnya belok kanan dan kanan tipis saja hingga ketemu jalan raya Ngawi-Surabaya lagi. Selanjutnya maju sedikit, lalu ketemu persimpangan ke kiri arah Cepu/Padangan, kami ambil kiri dan bablas.
Membingungkan... Damen reog itu mau ambil lurus, tapi berjalan di kiri, dan itu membuat kami terus membuntuti dan nyaris 'kena apes' |
Walhasil, baik saya maupun masjo tidak waspada kalau di depan ada lampu merah yang belok kiri jalan terus, ada polisinya pulak! Nah, di ujung depan lajur kiri itu ada Kijang yang berhenti tapi tampak canggung dan ragu-ragu. Lalu…. datanglah polisi yang menyuruhnya belok kiri, kemudian stop di dekat pos. Saya membaca gelagat nggak enak, kayaknya bakal kena tilang deh dia. Di belakang Kijang hanya ada jip kami tapi agak jauh jaraknya, mungkin tujuh meteran. Sambil mengarahkan Kijang, polisi itu melihat ke arah kami dengan tatapan menyelidik. Gercep navi KW 12 ini aba-abain masjo buat riting kiri dan belok kiri masuk tengah kota. Saya lirik Kijang yang distop di dekat pos. Blaik! Kena tuh Kijang. Kami alhamdulillah lolos, meskipun harus sedikit muter jalan, tapi selameeettt. Selanjutnya belok kanan dan kanan tipis saja hingga ketemu jalan raya Ngawi-Surabaya lagi. Selanjutnya maju sedikit, lalu ketemu persimpangan ke kiri arah Cepu/Padangan, kami ambil kiri dan bablas.
Ngawi-Padangan: jalanan berliku-liku, menanjak, dan banyak gronjalan
Jarak Ngawi-Padangan mungkin sekitar
40km, kami tempuh dalam satu jam-an, mungkin kurang. Itu sudah dengan dua kali
berhenti untuk makan cemilan bekal di tepi jalan dan mampir ke toilet pom
bensin. Awalnya kondisi jalan biasa saja tidak begitu halus, tidak pula jelek, lalu
tampak menjelek. Setelah masuk gapura selamat datang di Kabupaten Bojonegoro,
jalan sempat licin mulus. Masjo pun memuji, “Wah, apik iki, jalan Bojonegoro lebih bagus dibandingkan Ngawi.” Etapii,
itu semua di-mansuh-nya karena begitu
semakin ke utara kok jalan semakin hancur minah huhuu.
Banyak
sekali gronjalan, bolongan, dan
aspal mlendung. Tepian jalannya pada ngombak, mungkin tanah di sini rawan
bergeser. Jimny kami sih alhamdulillah terbiasa CR-an, buat kondisi jalan
begituan mah hajar sajaa *nggayaa*. Cuma, akan lebih nyaman kalau aspalnya
mulus biar bisa sedikit nambah gas. Tapi kasihan mobil-mobil alusan. Bisa cepat
jebol suspensinya.
Selain
mobil pribadi, kami banyak ketemu sama bus antarkota dan truk besar. Duhh,
kasihan mereka kalau tiap hari harus menelan jalan yang jelek tersebut.
Semakin
ke arah utara, suasana lokal mulai terasa dengan berseliwerannya sepeda motor
berplat “S” dan “K”. Yeay….. kita sudah benar-benar masuk teritori Bojonegoro…..
Sepanjang
jalan Ngawi-Padangan, pemandangan didominasi oleh hutan dan pohon-pohon jati.
Benar, Bojonegoro kaya akan kayu jati seperti Blora tetangga sebelahnya. Kebayang
di benak saya, semua rumah di sana tiang dan kusennya kokoh-kokoh dari jati
tua, ruangannya pun berisi mebelair jati berkualitas nomor satu. Saya lihat ada
pos Perhutani di kanan jalan pertanda hutan jati di sana memang masif dan
dikelola dengan serius. Jadi teringat sebuah truk tronton di Pantura Jawa yang
membawa tiga gelondong kayu jati berukuran super guede. Waktu itu saya dalam perjalanan ke Kudus. Excited saya melihatnya. Di Jogja, belum
penah saya lihat kayu jati sebesar itu. Bayangin brosis, hanya tiga gelondong
saja! Dan bak truk yang tanpa pagar itu sudah terisi penuh. Kebayang kan
rupiahnya? Atau dolarnya? Barangkali sampai bilangan milyar itu. Tapi, sayang
saja kalau kayu seberkualitas itu harus lari ke luar negeri. Terus, kita bangsa
penghasil ini cukup puas dengan membeli jati biasa, jati muda, mebel sisa
ekspor yang biasanya cacat produksi, atau…… malah bangga bisa beli mebel kayu
partikel dengan embel-embel merk terkenal.^^
Jimny
kami melewati wilayah desa yang tampaknya merupakan sentra kerajinan akar kayu
jati. Di kiri-kanan jalan di depan rumah-rumah penduduk banyak teronggok bonggol-bonggol
atau tunggul jati yang kalau saya yang
sotoy ini taksir bisa ratusan juta
atau milyaran rupiah mungkin. “Waah, bondho
niku Mas!” seru saya sembari menunjuk ke arah onggokan-onggokan tersebut
yang terkesan dibiarkan begitu saja di pinggir jalan. Nggak takut diangkut
orang lewat ‘pa ya? Syukurlah, bila semua orang tidak berjiwa maling.
Ada
dua ruas perbaikan jalan yang dijaga oleh para “petugas tiban” orang-orang
setempat yang membawa ember penampung recehan. Jalan tersebut telah
terbetonisasi. Ah, saya sebel kalau harus lewat jalan beton. Berasa jedug-jedug
pas di sambungannya, gelinding ban pun berasa seret bak makan roti tawar. Beda dengan
aspal, licin mengalir bak nelen ager-ager. Udah gitu, pantulan cahaya yang
jatuh ke permukaan beton putih berasa prampang,
panas di mata ketika siang.
Padangan-Kota Bojonegoro: bersisihan dengan rel
Memasuki pusat Kota Padangan, saya lihat
ada rumah sakit besar di kiri jalan yang masih tampak baru. Bangunan tinggi
menjulang berdesain modern itu terlihat kontras dengan bangunan-bangunan lain
yang tampak bersahaja. Mungkin perencana pembangunannya memprediksi, ke depan
nanti daerah situ akan ramai dan padat sehingga sedari awal sejak lahan masih
pada luas itu perlu dibuat bangunan yang tumbuh ke atas demi efisiensi. Or whatever lah.
Sampai
di keramaian Padangan, kami melewati palang pintu kereta api. Di sekitarnya
terdapat sejumlah toko yang menjual dan memproduksi sendiri ledrenya. Hahay….
Besok, saya mau mampir situ aah.
Setelah
rel, ketemu perempatan. Ke kiri ke arah Cepu, lurus masuk terminal, kanan ke
arah Kota Bojonegoro dan kalau diteruskan akan ketemu jalur Lamongan-Surabaya. Kami
mengambil kanan. Jarak Padangan-Kota Bojonegoro sekitar 33km kami lalui sekitar
40 menit. Jalan ini lempeng saja tidak belok-belok. Uniknya, sejauh perjalanan
itu kami bersisihan dengan rel kereta api double
track di kanan jalan. Asyiik, nanti bisa ketemu kereta nih. Betul saja, ada
kereta lewat dari arah berlawanan. Excited
rasanya, beda dengan melihat kereta yang diam di stasiun. Terlebih jika
anda seorang railway fan, tentu lebih
excited lagi ya.
Ruas
jalan ini kombinasi. Kadang beton, kadang aspal. Kadang mulus kadang gronjalan. Kadang si Jimny bisa
menggelincir tenang, tetapi lebih seringnya terguncang-guncang. Jalan ini
merupakan jalan vital ke arah kota metropolitan Surabaya, dengan ditandai oleh lebarnya
yang legaa, juga kendaraan yang melintas yang besar-besar seperti truk tronton,
trailer, dan bus besar. Berasa Pantura saja nih.
Oiya,
jalan ini juga dilintasi oleh calon jalan tol di atasnya, sebuah entitas yang
tidak saya jumpai di Jogja. Anyway, I don’t like jalan tol. Banyak banget deh alasan ketidaksukaan saya ini. Wew… tidak usah dibahas. Syukurlah Pak Sri tidak mengizinkan adanya jalan tol di DIY.
Gapura "Wong Jonegoro" ini sedikit mengingatkan saya akan Majapahit |
Kota Bojonegoro-Dander: susahnya nemu warung Padang
Jam 4.20 tibalah kami di Kota
Bojonegoro. Di depan ada tugu “globe” yang kalau ke kanan ke arah Dander,
kiri ke arah kota. Karena hari masih terang maka kami ambil kiri dulu untuk
melihat-lihat kota, sesuai dengan plan A (plan B-nya langsung menuju Dander
andai kata sampai sana hari sudah gelap). Jimny pun masuk ke kawasan kota. Penasaran, kami pingin melihat-lihat
kota Bojonegoro seperti apa, minimal alun-alunnya. Sayang saja kalau sudah
pergi jauh tapi tidak sekalian tahu pemandangan kotanya.
Truk merah ini mendadak lepas 'pagarnya' dan nyelonong ke tengah jalan. Untung si Jimny sudah jaga jarak aman |
Sampai di tugu "globe". Kalau ke kiri, masuk kota Bojonegoro; ke kanan ke arah Dander dan bablas Nganjuk |
Jimny
berjalan pelan, sembari melihat-lihat kota, sembari mencari warung Padang. Perut
saya sebetulnya belum keroncongan tapi ini memang sudah lewat bablas dari waktu
maksi, masuk maklam *aneh ya, maklam... Mak Lampir po?* Pelan banget Jimny berjalan biar kami bisa clingak-clinguk
nyari warung Padang, hingga zonk sampai
di alun-alun. Di sana malah tampak berderet bakul-bakul pentol dengan motor dan
gerobag rombongnya. Rame betul. Ada pentol tusuk doang, pentol kuah, dan pentol
bakar. Weeh, tampak bikin penasaran, kayak apa sih pentol sini? Mau berhenti
tapi ah nanti dululah, warung Padang belum ketemu nih. Kami hanya mlipir sisi
barat kota saja, lalu kembali ke jalan yang tadi ke arah tugu “globe”,
kemudian memutuskan langsung ambil arah Dander saja. Siapa tahu nemu warung
Padang di ruas jalan ke luar kota sana. Eee ternyata masih zonk! Gilee, susyeh
amir nemu warung Padang di sini. Lha di Jogja, di sembarang jalan rasanya ada saja
tuh warung.
Yo wis, akhirnya kami putuskan makan ayam geprek. Yang penting makan nasi, spicy, pedes, dan kenyang. Dasar orang
Indonesia tulen, tak kuasa berpisah dari nasi hihi. Jimny kami pun berhenti di warung
kiri jalan yang tampak masih baru itu. Ternyata ‘geprek’ di sini hanya ikutan
istilah jaman now saja brosis, karena
ayamnya tidak digeprek campur sambel. Sambelnya dipisah dari ayamnya, sehingga tidak
bikin masalah bagi orang yang tak doyan pedes. Ayam gepreknya lumayan recommended, gurih, empuk, dan sambelnya
cocok di lidah saya. Cuma, porsi sambelnya sedikit banget. Untunglah masjo tak doyan
sambelnya, terlalu pedes katanya, terus dihibahkan ke saya. Porsi nasinya
terlalu sedikit bagi kaum lelaki, masjo perlu nambah satu porsi. Bagi perut saya
sih cukupan kenyangnya. Seporsi ayam kampung geprek plus nasi, sambal, dan
lalapan dihargai 20ribu.
Sembari
makan, kami melihat beberapa jip Katana-Jimny ngalor-ngidul. Sedaap….! Hehe.
Aroma acara ngejip sudah tercium bersama hembusan angin sore yang sepoi-sepoi. Ada pula yang
nglakson begitu melihat Jimny kami yang parkir di tepi jalan, tampaknya itu panitia
tuan rumah. Dan rasa-rasanya area tikum event
Deklarasi SKIn Bojonegoro sudah dekat.
Makan
di sini kami total habis 62ribu. Itu sudah dengan dua gelas lemon tea anget dan take away french fries yang wujud dan rasanya ajaib, letoy gitu,
dan berminyak. Yeah, dengan hanya 8ribu itu saya tak bisa berharap banyak. Yang
penting bisa buat membungkam demonstrasi para cacing yang mungkin kelaparan
nanti malam.
Kelar
makan, perjalanan dilanjut. Kata mas karyawan warung, tinggal sedikit lagi kami
sampai lokasi Taman Wisata Dander. Siip. Sekitar tiga ratusan meter saja dari
warung, kami berhenti di pom bensin kiri jalan untuk isi Pertamax, 150ribu
nyaris full tank. Besok pagi jip
sudah siap buat CR-an. Urusan isi-mengisi amunisi pun sudah beres, tinggal
menemukan lokasi tikum.
Jam
5.15 sore akhirnya kami sampai di lokasi, sebuah taman wisata di Kecamatan
Dander di tepi area hutan jati milik Perhutani. Alhamdulillah…. :) Selanjutnya
menuju meja panitia, registrasi, lihat-lihat lokasi, dan pasang tenda,
istirahat sampai subuh.
Untuk
pulang ke Jogja besok siangnya kami ngisi Pertamax lagi 100ribu, karena Minggu
pagi BBM sudah berkurang buat CR-an keliling hutan jati. Maaf brosis, saya nggak
ngitung berapa km CR-annya karena saya banyak ketiduran di trek. Lha kami ikut CR-an
4x2 yang notabene minim guncangan, dasarnya saya ngantuk berat karena semalaman
nyaris tidak bisa bobok. Jadi, total beli Pertamax Jimny kami Jogja-Bojonegoro
PP sebanyak 370ribu.
Adapun perjalanan pulangnya not
much to tell. Cuma, saya pingin mie ayam sejak dari Ngawi tapi tidak
nemu-nemu. Wong warungnya banyak yang tutup/habis, mungkin karena efek hari
Minggu jadi banyak orang yang jajan, ada yang buka tapi ‘tidak meyakinkan’,
buka tapi di kanan jalan dan males nyebrang, buka tapi sudah keblandhangen dan nggak minat mbalik
lagi. Walhasil karena saya orangnya lagi super riwil kami tidak nemu-nemu mie ayam sampai di Klaten. Akhirnya, ketimbang
sami mawon amsyoong bikin Indomie di rumah, kami putuskan makan bakmi di wetan
Prambanan, wkwkwk. Selesai mbakmi, sisa perjalanan pulang dilanjutkan. Masuk
wilayah Jogja tercinta, eee kayak sulapan, bermunculanlah warung mie ayam….. dan
warung Padang pun ikut-ikutan berseliweran….. Iiihh Njelehi! Ini sungguh menyebalkan.
So, berangkat pulang terhitung dari pom bensin Dander sekitar jam 11.30 siang, kami tiba di rumah jam
07.00 malam dengan empat kali berhenti yakni satu kali buat beli ledre, dua kali ke toilet,
dan satu kali ke masjid. Kecepatan rata-rata 60km/jam. Konsumsi BBM:jarak
tempuh sekitar 1:9-10km. Yep, tidak irit memang, karena faktor ban ukuran 30 tipe mud
terrain, final gear 8:41, dan setelan jip mungil
1000cc ini memang diprioritaskan untuk kuat di tanjakan ( ‘digas dikit langsung
ngacir’.... karep-nya).
Oks,
segini dulu cerita kali ini. Mohon dimaklumi foto-foto hasil jepretan HP butut yang alakadar *ngeles*. Saya mau lanjutin mburuh... See you kapan-kapan :)
Wassalam
~Piet~
Update: 18 Juli 2020
Tanggal 3 Juli 2020 kami melewati lagi rute Kota Ngawi ke Padangan, dan jalan yang saya ceritakan jelek tersebut di atas sudah diaspal halus. Perjalanan pun jadi lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih lancar. Adapun kondisi ruas utara rute ini, yakni jalan yang 2 tahun lalu sedang dalam proses betonisasi itu pun sudah selesai dibeton. Jadi, tidak kami temui lagi jalan buruk di sepanjang jalur ini. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah setempat :)
Update: 18 Juli 2020
Tanggal 3 Juli 2020 kami melewati lagi rute Kota Ngawi ke Padangan, dan jalan yang saya ceritakan jelek tersebut di atas sudah diaspal halus. Perjalanan pun jadi lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih lancar. Adapun kondisi ruas utara rute ini, yakni jalan yang 2 tahun lalu sedang dalam proses betonisasi itu pun sudah selesai dibeton. Jadi, tidak kami temui lagi jalan buruk di sepanjang jalur ini. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah setempat :)
Petualangan bersama Si Badak yang hebat ini Mas,salut sesama penunggang Badak 😄👍🇮🇩
BalasHapusMatur nuwun :) Maaf, saya mbak, bukan mas hehe. Cuma dekat-dekat situ aja kok
Hapus
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q
Pertama kali ketemu,,,awal nya tanya rak heheheheh
BalasHapusAhaa...! ini mesti Om Agus SKIn AG ya? Salam satukan jangan pisahkan :)
Hapus