Kamis, 26 Juli 2018

[Review] Ban Delium Terra Mania 31 MT, Ban MT Rasa Extreme



Hai brosis……..
Dua bulan yang lalu tepatnya tanggal 21 Mei 2018, Jimny saya punya ‘sepatu’ baru dari pabrikan Delium. ‘Sepatu’ alias ban ini merupakan produk Tanah Deli, Sumatra Utara, Indonesia, negeri kita tercinta. Matching dengan nama tempatnya, Deli-Delium; Delium seri Terra mania 31 MT ini sudah cukup lama menjadi incaran saya, namun perlu diadakan beberapa kali perundingan dan konferensi meja makan dulu dengan masjo hingga terwujud kesepakatan mulia ini. ^^

Sepotong penampakan ban Delium Terra Mania 31 MT


Ide punya ban Terra Mania ini didapatkan dari jipnya Mas Tri toko, teman satu klub di KJFC Yogyakarta. Ya begitulah, risiko nge-klub. Sawang-sinawang dan kompor-komporan sudah merupakan hal yang biasa, yang kadang membuat kita kalap, kalap yang bikin hepi tapi *nyari pembenaran*.

Bang Jim dengan sepatu barunya Delium Terra Mania 31 MT

Okey…. perlu diketahui oleh brosis semua bahwa review ini berdasarkan pengalaman pribadi saya dan masjo. Beberapa komparasi saya buat dengan menyandingkan ban Delium Terra Mania 31 MT ini dengan ban Hankook Dynapro 30 MT yang kemarin dipakai oleh Jimny merah kesayangan, juga dengan ban Komodo Extreme 31 yang banyak dipakai oleh Jimny milik teman-teman kami. Dan satu lagi yang perlu brosis ketahui, review ini murni pengalaman kami, tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang mbayari, alias tidak disponsori oleh siapa pun. Ok… Here we go.

Nama
Dalam situs Urban Dictionary disebutkan sejumlah arti kata "terra" yang matching dengan konsep penamaan ban ini yang di antaranya: merupakan kata sebutan untuk "bumi" dalam ragam ilmiah; berpadanan kata dengan land alias tanah. Adapun kamus daring Inggris-Indonesia menuliskan kata "mania" yang berarti sangat gemar, keranjingan, menggilai. So, dapat saya simpulkan bahwa terra mania berarti gemar akan tanah, keranjingan main tanah, menggilai tanah. Yes brosis, soal penamaan, ban ini 100% cocok dengan peruntukannya yang untuk bermain di tanah, garuk tanah, atau main offroad. Soal semantic interpretation ini, Delium saya acungi jempol dah! Ciamik... 

Harga
Seberapa dalam merogoh kocek merupakan faktor yang krusial yang harus dipertimbangkan dalam pembelian komponen jip. Jangan sampai APBDapur menjadi minus gara-gara beli ban. Saya kan nggak ingin trio brambang-bawang-lombok jadi nggak kebeli gegara belanja ban. Saya pun ogah dong kalau sampe nggak bisa beli sepokat en gombalan, hehe.

Ban Delium Terra Mania 31 MT ini diboyong dari toko ban Widodo Ban, Jl. Brigjen Katamso Selatan, Kota Jogja. Kalau beli satuan, di sana ban ini ditawarkan Rp1.200.000,-. Setelah bernegosiasi, akhirnya turun tipiiis jadi  Rp1.175.000,- (beda toko bisa beda harga). That means, kalau kita beli empat buah, harganya jadi Rp4.700.000,-.

Kami memilih sistem tukar tambah saja supaya lebih irit dan tidak perlu menyimpan barang yang tidak terpakai di rumah. Ban lama Hankook Dynapro 30 MT sebanyak empat buah ditukar dengan ban Delium baru sebanyak empat buah pula, dengan merogoh kocek Rp3.400.000,-. 

Ban Delium Terra Mania 31 MT baru tiba dari pengambilan di gudang. Gudangnya di mana? I dunno :)
Brand new tires. Masih ada garis biru dan kuningnya
Ban Delium Terra Mania 31 MT dipompa dulu untuk dipasang
FYI, ban belakang Dynapro yang nglungsur punya teman ini sudah kami pakai selama 4 tahun. Adapun ban depan, kami beli dalam kondisi baru di Widodo Ban 1 tahun 5 bulan yang lalu. Tambahan info, ban kiri depan sudah ada tambalannya satu biji karena belum lama ini kecoblos paku payung. So, menurut saya, harga yang kami dapat ya sepadanlah. Adapun satu ban sisanya (ban serep) masjo lego murmer kepada teman satu klub. Lumayan, bisa buat tambahan modal beli ban serep Komodo Extreme 31 bekas.

Komex nangkring manis, ditangkringi si manis Tobby
 
Sewaktu di toko itu, saya tidak bisa ikut karena lagi sok sibuk sebagai ibu-ibu sosialita…. so suwit dan syantiek djelita… *timpuk sepon ati*. Jadi, masjo sendiri yang kesana. But don’t worry, saya sudah mewanti-wantinya untuk motret beberapa, sehingga bisa saya bagikan di blog ini :)) Eniwei, i am so sorry for the poor image quality, karena kamera hape masjo sudah out of date dan sering nge-hank hiks. Lha ngaboti le tuku ban disik kok.

Adapun foto-foto lainnya, saya bikin sendiri dengan kamera hape saya.

Babaayyy Dynapro...! Tengkiuu sudah menemani kami empat tahun ini
Bang Jim nyeker :D
 
Tongkrongan
Walaupun dari pabriknya tertulis ban MT (mud terrain), menurut saya ban ini malah lebih tepat dikategorikan ke dalam ban extreme. Bilah-bilah mayor atau sirip kembangan sisi bawah-sampingnya besar dan kasar, jarak antarsirip pun renggang-renggang seperti ban extreme. Wuhh  ini membuatnya tampak gahar dan maskulin, dan itulah salah satu alasan kenapa saya mantab jiwa untuk memilikinya.
 
See? "Mud Terrain" here, not extreme... but yeah, it looks and feels like extreme
Bagi saya, jip 4x4 itu memang paling cocok didandani dengan konsep gahar dan maskulin, tentu saja dengan tetap mengedepankan fungsi. Fungsi untuk bisa goin' everywhere tentu saja. Konsep form follows function yang dicetuskan oleh arsitek Louis Sullivan berlaku untuk jip saya ini. Artinya, bentuk mengikuti fungsi. Maksudnya, karena fungsinya untuk blah blah blah.... maka bentuknya ya menyesuaikan blah blah blah itu. Contohnya, soal ban. Biar bisa dipakai blusukan, maka dipakailah ban kasar yang imbasnya bikin tampilan jip jadi 'berotot'.

Pie dab? Satub poya? ahahaha...
Ukuran ban 31 inci ini ketika dipasang pada peleg ber-ring 15 berhasil membuat 'Bang Jim' tampak lebih kekar dan ganteng. Aksen jipnya jadi lebih kental. Impresi adventure 4x4 nya pun jadi lebih kentara. Hmmm…. i luv it!
Syahdu diliputi kabut tipis Kebun Teh Wonosari, Lawang, Jawa Timur
Pas pulang dari toko ban, warna ban ini masih hitam kecoklatan. Ketika dipoles dengan semir ban pun, ban ini tetap tidak bisa hitam legam, dia tetap kecoklatan. Well, saya kurang suka. Saya lebih menyukai warna ban yang hitam bold sebagaimana Dynapro kemarin. Lha tapi ternyata, setelah sekian hari dipakai menggelinding kemudian disemir lagi, tadaaa…. Warna hitam legamnya akhirnya keluar. Hehe. Memang, sabar itu perlu broo. Ibarat makan alpukat yang baru dipetik, ya nggak enak. Kita harus memeramnya dulu beberapa hari hingga matang.

Kembangan dan Compound
Kalau brosis familiar dengan kembangan ban Komex alias Komodo Extreme, nah ban Terra Mania ini mirip-mirip itu. Perbedaan signifikan terletak pada guratan sisi bawah yang bersentuhan langsung dengan permukaan jalan. Di Komex, dua guratan kiri-kanan yang bertemu berhadap-hadapan tidak sama panjang; kiri pendek-kanan panjang, kiri panjang-kanan pendek. Di Terra Mania, persis sama panjang. Di Komex, tepi bawahnya bertekstur mirip kuku reptil/komodo; di Terra Mania mirip huruf V. Di Komex, pada bagian sisi terdapat motif bundaran-bundaran besar-kecil bak tekstur kulit kadal komodo; di Terra Mania tidak ada alias polos. Secara fungsi, huruf V tersebut tampaknya akan lebih signifikan dibanding kuku komodo, karena tampak lebih memiliki daya “dayung” untuk berenang di dalam lumpur atau main air. Ini menurut prakiraan saya yang hanya seorang navigator kw12 dan sekedar bojone koncone offroader lho ya. Dan yep, prakiraan, karena belum dicoba buat berenang.

Kembangan samping a la huruf "V"
Soal compound, Terra mania ini lebih lunak dibandingkan Dynapro. Ini mudah dirasakan hanya dengan menekan, mengetuk, atau men-ciwel-nya (mencubit besar-besar). Keempukan ini berimbas positif pada lebih besarnya traksi yang didapat. Imbas negatifnya, masa pakai ban tentu akan lebih singkat karena kembangannya bakalan lebih cepat habis/gundul.  So, kudu siap bila ban ini nantinya lebih boros di pengeluaran dana. Perkiraan saya, untuk penggunaan on-road daily yang tidak daily-daily amat dan blusukan light off-road sebulan sekali, ban ini bisa dipakai selama dua atau tiga tahun. Kita lihat nanti. Catet: penggunaan mulai Mei 2018.

Rasanya
Lalu seperti apakah rasanya naik Jimny dengan ban Delium Terra Mania 31 MT ini? Ternyata pertambahan satu inci dari 30 ke 31 ini cukup signifikan saya rasakan. Saya harus lebih berayun dan bahkan sedikit ngesot untuk bisa naik ke dalam jip dari pintu samping, hingga mencapai posisi duduk di jok… fffiuuhh. Kebayang hebohnya kalau buat ikutan #kikichallenge #kikidoyouloveme yang lagi ngehits itu. Btw, saya belum nemu kikichallenge yang pakai Jimny lho. Brosis mau nyoba? Hihi... tampaknya bakalan awsam dan meriah.

Okeiy, dilanjut. Rasanya berada di dalam kabin pun jadi beda, lebih tinggi. Pertama masuk kabin, pertambahan tinggi  pandangan mata langsung terasa. 

Nambah tinggi dan maskulin kan? Hihi...
Dipakai buat berjalan, saya merasakan sensasi “jeglug-jeglug” atau “jendul-jendul” ekstrimnya, kayak kita naik sepeda beroda segi delapan, wkwkwk.Ini  karena efek kembangan kasar ban yang bersentuhan dengan permukaan jalan; baik itu di jalan tanah, konblok, cor semen, maupun di aspal yang biasa. Adapun di aspal yang halus mulus, untuk berjalan kencang, jeglug-jegluk itu nyaris tidak terasa. 


Tekanan ban awalnya di-setting pada 20 psi, yang ketika dipakai berjalan berasa glodyakan, berguncang semua seisi jip. Selanjutnya tekanan dikurangi menjadi 18 psi, kok masih glodyakan juga. Akhirnya diputuskan 16 psi sampai sekarang, lumayan… Lha bagaimana kalau 14 atau 12? Kayaknya bakal lebih empuk eyup, namun risikonya jip akan lebih limbung. Jadi, so far kami pilih 16 saja dulu. Pertimbangannya, jip ini kebanyakan dipake on road yang butuh tekanan udara lebih tinggi dibandingkan buat blusukan.

Suara dengung (Noise)
Ketika Jimny mulai berakselerasi, terdengar bunyi dengungan yang lebih bold dibandingkan saat memakai ban Dynapro. Begitu pula ketika Jimny berjalan kencang, tetap mendengung. Dengungannya seperti pesawat latih TNI AU yang pakai baling-baling itu. Saya bahkan sampai perlu make sure dengan melihat ke atas sana, ke langit, dan ternyata tidak ada satu pesawat pun yang sedang latihan terbang 
Ketika gas dilorot, nada dengung terdengar merendah seperti ada kendaraan lain yang sedang membuntuti dari belakang, padahal tidak ada. Awalnya saya sempat tingak-tinguk…. Eh ternyata tidak ada siapa-siapa di belakang. Asli, ini bikin geer sekaligus qeqi. *=*

Saat dibawa on-road Jogja-Bojonegoro, Jogja-Jepara, dan Jogja-Nganjuk pada bulan Februari-Maret-April 2018 yang lalu, ‘Bang Jim masih pakai Dyna Pro 30 MT. Dia berasa ngoyo ketika digas dalam-dalam di jalan raya. Suara erangan mesin jadi amat tinggi, istilah Jawanya: nggereng. Padahal speed-nya berkisar 60-70km/jam saja, paling pol  80km/jam dan itu pun jarang; namun nggereng-nya sudah bikin kuping risih. Adapun suara bising bannya normal-normal saja, mendengung tipis.

Nah, ceritanya berkebalikan dengan awal dan pertengahan Juli 2018 kemarin, ketika dipakai untuk perjalanan Jogja- Kudus dan Jogja-Lawang. Bang Jim sudah ganti sepatu. Kala dipacu di jalan raya, erangan mesin sedikit lebih kalem, tetapi dengungan ban yang bergesekan dengan aspal terdengar lebih kencang. Ngung, ngung, nguuung, nguuuuung……… yeah, mirip suara pesawat latih TNI AU itu tadi. But I don’t give a damn. Anggap saja ini rhythm of joy ride. Lama-kelamaan, setelah berjalan dua bulan ini, saya pun sudah terbiasa bahkan sudah lupa kalau jip kami lebih mendengung.

Laju kendaraan
Perubahan negatif terasa pada saat Jip mulai dijalankan. Masuk gigi satu, lalu go….! Akselerasi lebih lambat dibandingkan si Dyna Pro 30 MT. Hal ini wajar, karena semakin besar diameter ban, semakin berat pula massanya. Semakin kasar kembangan ban, semakin berat pula ditariknya. Untuk pengangkatan awal, memang tarikan ban 31 ini terasa lebih berat; namun setelah berjalan langsam, lebih terasa lajunya. Logikanya, konsumsi BBM pun jadi lebih hemat. Saya belum menghitung secara mendetail.

So, efek positif yang terasa dari ban 31 ini yakni laju kendaraan menjadi bertambah meskipun tidak banyak. Saat pedal gas diinjak sedikit saja, Jimny berasa meluncur lebih jauh dibandingkan dengan ban 30 kemarin. Jadi lebih cepat mencapai top speed.

Ini sama kasusnya dengan roda sepeda mini punya dedek-dedek TK yang berdiameter kecil, yang sekali kayuh hanya bergerak maju sedikit. Beda dengan sepeda onta milik simbah saya yang rodanya berdiameter besar, sekali ongkel, wush, wush, wush!!! sudah sampai ke pos ronda di depan sana. Jadi, kalau dedek balapan dengan simbah, si dedek harus ngoyo mengayuh seratus ongkelan untuk menyamai sepuluh ongkelan santai simbah. Dengan syarat, simbah tidak sedang loro boyok. Begitulah kira-kira analogi gampangnya. Sekali lagi, ini hanya analogi gampangnya.
Lingkaran biru: Dynapro 30 MT. Lingkaran merah: Terra Mania 31 MT. Angka 0,95 lebih mendekati rasio ideal 1,00 (Tabelnya didapat dari chat Facebook masjo dengan teman-temannya. Maaf, kami lupa nama pengirimnya. Yang jelas, maturnuwun sanget untuk pencerahannya, Om)
Saya jadi ingat perkataan Om Agus dari Bengkel Gandem, Bantul, bahwa kalau FG-nya low 8:41, bannya ya sebaiknya ukuran 31. Tadinya saya sangsi, ah masa iya? Bukannya nanti malah keberatan ban ya? Ow tidak, ternyata tidak signifikan kok, hanya pas akselerasi awal. Betul kata si Om *hihihi, offroader dilawan*.

Light Offroad
Saya belum bisa bercerita banyak soal traksi di medan offroad. Awal bulan Juli ini, si Terra Mania baru dicoba buat CRan (country road-an) di kaki Gunung Muria, Kudus, ikut trek unyu-unyu 4x2. Sebetulnya sedari rumah ingin ikut yang 4x4, tapi sejak dari perjalanan di daerah Purwodadi, stir berasa kocak parah. Jalanan selepas Solo ke arah Purwodadi jelek nian brosis. Stir yang sudah sedikit kocak dari rumah pun tambah kocak dihajar di rute tersebut. Mas bengkel langganan yang dihubungi via telfon pun tidak menyarankan kami ikut CRan. Ha njuk arep ngopo no? Energi ini sudah saya siapken untuk blusukan je, hik hiks. Alhamdulillah di tikum, kami dapat bantuan perbaikan minor dari rekan-rekan SKIn Kudus. Big tengkyuh buat SKIn Kudus, sudah menjadi tuan rumah yang begitu peduli akan derita kami heuheuu... Akhirnya kami tetep bisa ikut CRan, meskipun di trek fun yang unyu-unyu saja.

CRan di kaki Gunung Muria, Kudus
3 jip KJFC saat mau CRan di acara Anniversary SKIn Kudus. Kebetulan semuanya pakai ban Delium Terra Mania 31 MT
Namanya juga fun, medan CR yang kami tempuh kata Duke Nukem terbilang piece of cake campur sedikit come get some. Cuma njelajah dusun milangkori, mlipir kebun, dan sedikit nyebrang sungai. Ada trek tanjakan jelek menikung cukup tajam yang permukaannya cukup ambyar, tapi ini pun masih kategori fun. Performa Terra Mania masih belum terasa bedanya dibandingkan Dynapro.

Dan lain-lain
Pas CRan, saya melihat betapa mendominasinya merk Savero Komodo Extreme dari pabrikan Gajah Tunggal (Indonesia). Baguslah, kan “cintailah ploduk-ploduk Endonesa.” Ada juga merk ban extreme lain seperti Simex (Malaysia) dan Maxxis (Taiwan), tapi kalah banyak. Simex dan Maxxis ini saya lihat kebanyakan dipakai oleh odong-odong atau jip kompetisi adventure dan SCS (special competition stage/ lintasan sirkuit).
 
Saya paling demen melihat yang begini ini: "made in Indonesia" dan "SNI"
Sekarang, meskipun telat, saya jadi tahu bahwa ada merk lain selain merk-merk lazim di atas, ya Delium Terra Mania ini. Buatan dalam negeri pula. Malah sekarang saya jadi pemakainya. Saya pun menyambut gembira akan bervariasinya merk ban offroad yang beredar di Indonesia. Hal ini memberikan lebih banyak pilihan bagi kita pemakai jip, penghobi blusukan, dan pegiat offroad. Terlebih negeri kita ini kaya akan karet. Menurut thedailyrecords.com (diakses pada 21 Juli 2018), Bumi Nusantara merupakan penghasil karet nomor dua terbesar di dunia setelah Thailand. Jamrud khatulistiwa nan kaya raya ini menyumbang 27,3% produksi karet dunia; di bawah negeri gajah putih (yang dahulu pernah main “sepakbola gajah” dengan kita itu, hiks, SMH) Thailand memproduksi 35,6%. But sadly, 90% panenan karet alam itu bablas untuk diekspor, yep, ekspornya dalam bentuk bahan; bukan barang. Lebih sedihnya lagi kalau kita memilih beli ban merk luar negeri, sedangkan negeri tersebut beli karetnya aja dari kita. Huaaaaa….. pliiizzzzzz…. 

Bai de wei, sebenarnya eike lumayan penasaran juga lho ama ban CST Taiwan. Gimenong dong? Mereka ngimpor karet dari kita je, heuheu. Siap-siap dimarahin Om Alim Markus nih. Wew... tolong bantuin eike nyari alibi dong brosis. Hmmmm... hmmmm... mmmmmmmmmmm... mmm
I've got it!  Kalo eike someday jadi pakai, palingan eike embel-embelin "percobaan''! *getok ledbar*.

So, keinginan saya  lha, emange kamu ini siapa Piet? Mentri? Iya, mentri keuangan republik dapur , karet bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karet-karet itu dipanen dan diolah sendiri oleh anak bangsa dan produknya kembali kepada anak bangsa pula, dengan harga yang murah rah rahhh, namun kualitas nomor satu tentu saja. Karena apa? Karena kita punya semuanya: SDA, SDM, tukang insinyur, peneliti, dan konsumen yang melimpah ruah. Kalau dalam negri sudah tercukupi, baruu sisanya diekspor. Ah, kamu ini Piet… utopia belaka, hitungan keekonomiannya nggak masuk ituu. Lho memangnya segala sesuatu itu harus selalu tentang hitungan ekonomi?!

Belakangan ini, saya baru tahu kalau acara offroad “Thousand Miles” di Trans7 yang dipandu oleh offroader senior Om Syamsir Alam itu salah satu sponsornya ya pabrikan ban Delium ini. Tadinya saya nggak ngeh, wong ya jarang nonton. Dasarnya saya orangnya juga jarang nongkrongin tivi.* nggak ada yang nanyak*.

So, that’s all for now. Kali aja apa yang saya tuliskan ini bermanfaat bagi brosis yang sedang maju mundur syantiek buat ganti ban.

Kesimpulan
Merk: Delium Terra Mania
Jenis: Mud Terrain (MT) rasa Extreme
Diameter: 31 inci
Dibuat di: Sumatra, Indonesia
Asal brand: Indonesia
Harga beli: @ Rp1.175.000,-
Dengung/Noise: kuat
Tampilan: maskulin, gahar
Compound: lunak
Dipakai on-road kering: oke dengan speed terbatas 80km/jam
Dipakai light off-road: oke
Repurchase?: Ya
Nilai sementara (karena belum buat offroad): 4,5 dari 5


Wassalam

~Piet~

Update: 10 Juni 2019
Dipakai di trek batuan cadas, ban ini terasa signifikan ngegripnya. Traksinya lebih baik, lebih mencengkeram dibandingkan si Dynapro MT. Belum dipakai nyemplung lumpur bahagia dan berenang suka ria, karena Bang Jim sekarang mainnya kebanyakan di lokasi camping ceria saja hehehe...

Mulai bulan Mei lalu hingga hari ini tadi, artinya sudah setahun dari tanggal pembelian, ban depan sudah mulai gompel-gompel di bagian kembangan kasarnya. Imbas negatifnya, ketika dipakai on road saat berada pada kecepatan sekitar 30-40km/jam baik karena proses ngegas maupun proses melepas gas, jip terasa keder dan ada dengungan ekstra yang tambah mengganggu. Masjo bahkan bilang bahwa ini bisa memicu sekrup-sekrup pada kendor atau bahkan copot. Jadi, harus lebih rajin ngecek saja.

Update: 21 Mei 2020
Berarti sudah tepat 2 tahun sejak pembelian, dan ban belum minta ganti... hehehe, aseeek, irit! Itu karena jarang dipakai sih, wakwakwakk. Kondisi ban depan tinggal sekitar 60%, tampak gompel-gompel di kembangan kasarnya (sirip), kembangan tengahnya yang langsung bersentuhan dengan tanah tampak berkurang dan semakin tipis. Ban belakang masih sangat baik, kondisinya masih sekitar 90%. Dalam setahun ini jip lebih sering dipakai buat marut aspal ke luar kota: Majalengka, Banjarnegara, Garut, dan Sumedang. Dipakai CRan tipis-tipis di medan lumpur iya juga, dan ban ngegripnya bagus. Selain itu, cuma dipakai kota-kota biasa dan itu pun tidak setiap hari. Dua bulan ini jip nyaris ngendon di rumah karena pandemi covid-19, ban jadi lebih irit lagi.

Efek keder dan dengungan ekstra pada kecepatan 30-40km/jam alhamdulillah sudah tidak lagi terasa sejak sekian bulan yang lalu, mungkin sudah setengah tahunan ini. Itu karena parutan karet ban sudah merata, tidak tinggi-rendah lagi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini brosis bisa lihat foto-fotonya yang saya ambil dengan henpon Cina pada hari Rabu, 20 Mei 2020, di siang hari yang mendung, persis sepulang saya dari warung sayur di masa karantina covid-19, apaan sih?.

Ban depan kanan (depan sopir), dan itu tangan si sopir nan macho.



Ban depan kiri (depan navigator)


Ban belakang kanan (belakang sopir), masih juga ditunjuk-tunjuk sama sang sopir.
 

Ban belakang kiri (belakang navigator)


Ban dengan si pemakai, masih tampak wangun bukan? Hehe...

Update: 25 Mei 2022
Ini late post yang amat achmad mamat telat. Jadi ceritanya, pada bulan Juli 2021 saat jip kami bawa piknik kecil ke Ancol Kalibawang (Google-ing aja yes) dengan kecepatan lambat hingga sedang, sekitar 25-60km/jam, berasa keder dan bahkan agak ngeleyot nganan-ngiri. Gak enaak! Saya curiga ini karena si ban yang sudah pating growel. Masjo mencoba tenang bahwa ini cuma karena kondisi jalan yang tidak rata saja. Nah, pulangnya, ketika jip dibawa melaju 70km/jam di Jalan Wates ke arah Jogja, kondisi tersebut semakin terasa. Dan yap! Kecurigaan saya terbukti nyata ketika sampai rumah kami ngecek ban depan, tampak detail kembangannya ibarat tebing dan jurang, njomplang. Ini yang membuat berasa ngeleyot tadi, karena tidak stabil di aspal. Ya, memang sudah saatnya diganti. Selain berasa tidak nyaman, bahaya jika ini dibiarkan, alih-alih pengiritan.

So, i'm gonna tell you brosis bahwa kedua ban depan sudah diganti dengan ban baru pada bulan Oktober 2021 lalu. Merk dan tipe ban baru sama dengan ban lama, Delium Terra Mania 31 MT, hanya saja harganya sudah berbeda.. hihihi, ya iyalah, sudah tiga tahun. Oiya, ban baru ini belinya di toko Coan Ban, Jalan Letjen Suprapto, Jogja. Bukan di toko lama Widodo Ban karena sudah tutup, atau pindah entah kemana, kami tidak tahu pastinya. Harganya Rp1,5 juta perbiji. Beli dua biji jadinya Rp3 jeti pas. Lha ditawar tidak mau kasih turun babar blas je si engkoh. 

Selanjutnya, karena toko ini sedang ramai, si engkoh nyuruh masang di tempat lain saja. Lha daripada nunggu antrian, lama juga. Akhirnya ban dicangking pulang, dan searah jalan pulang dipasang di tukang ban pinggir jalan, bayar Rp25 ribu sajo. Sepasang ban baru dipasang di sisi depan. 

Sekilas, jika diperhatikan, tampak agak aneh karena ban depan dan belakang beda ukuran. Diameter ban belakang tampak slightly lebih kecil. Ini karena kembangannya yang sudah mulai menghalus, sedangkan kembangan ban depan masih utuh dan sangar kotak-kotak setahu-tahu fitness. I am so sorry, fotonya entah kemana. Lha sudah setengah tahun berlalu je.

Nah, saat ini, sejak tiga bulan yang lalu, jip sedang opname di bengkel body. Lha diapain, Piet? Pokoknya dibongkar total dah, disehatkan dan dibaguskan. Inshaallah biar tambah aman, nyaman, dan membahagiakan.... uhuuiy. Nah, ban baru pun ditukar posisinya, sekarang dipindah ke belakang. Ban lama dipindah ke depan. Ini agar kalau habis, habisnya depan duluan (lagi), tidak barengan empat-empatnya karena bisa berat di ongkos, hehe. Ya, perlu siap-siap kalau 1 sampai 1,5 tahun lagi kudu ganti ban depan lagi. FYI, ban jip ini secara umum lebih cepat halus yang depan. Beda dengan ban sepeda motor atau ban sepeda engkol yang mana lebih cepat halus yang belakang. Ini karena ban depan jip memikul beban yang lebih berat: mesin, AC, winch, dkk.

Btw, saya sedang males ngedit foto buat ngasih tanda air. Ini saja mau posting butuh effort yang uwaw! Ehehe.... Alhamdulillah ng-update akhirnya terlaksana.

Kamis, 27 Januari 2022, saat jip trondol to the max.
Body-nya sedang di-remove.
Ban baru berposisi di depan.


Kamis, 27 Januari 2022, dengan body baru (tapi lawas) yang sudah terpasang.
Ban baru masih berposisi di depan.


Minggu, 24 April 2022, dengan body baru yang sudah dicat.
Ban baru sudah dipindah ke belakang. 


Minggu, 24 April 2022, aksesoris jip sudah dipasang.
Ban baru berposisi di belakang.
Inshaallah jip bentar lagi siap dibawa bertualang kembali,
dan siap untuk Lebaran minggu depan, hehe.

6 komentar:

  1. Bang, kalo ring 14 ban mt ada ngga ya ?, Trus kalo di pasang bagaimana jadinya, saya penasaran dengan ukuran tersebut hehe, mohon sarannya bang yaaa

    BalasHapus
  2. Bang kalo ban ring 14 mt hasilnya gmna yaa ?, Saya penasaran hehe siapa tau suhu bisa memberikan pencerahan nya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kagak tau saya mah, dan maaf, saya bukan bang apa lagi suhu... hehe

      Hapus
  3. Bgmna suara kasar ban sama mobil Rocky independen

    BalasHapus
  4. Bgimana memacu On Road/aspal dgn jimny pake ban ini pada kecepatan 50-60km/h? Apakah setir terasa gemetar?
    Mohon jawabannya ke Wa: 081342180507
    Salam dri jip jimny trepes 83 di Gorontalo

    BalasHapus
  5. Dalam kondisi ban masih baik, setir aman dan stabil. Bahkan di kecepatan 70km/jam pun tidak bergetar. Di 80km/jam ke atas baru berasa getar di jipnya, bukan di setirnya. Wah.. Gorontalo, Pulau Kelapa nan amat subur. Salam sehat Om :)

    BalasHapus