Holaa!
Postingan
ini merupakan sambungan postingan sebelumnya tentang wadah sikil (alas kaki-red),
yang biasanya saya pakai buat blusukan hunting foto, ngejip, dan CR-an.
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, saya prefer pakai sepatu than sandal, karena faktor keamanan dan kenyamanan. Ada beberapa sepatu yang menjadi andalan saya yang tanpa disengaja berasal dari brand yang berlainan. Nah, kali ini saya akan bercerita tentang satu di antaranya yang menjadi andalan saya banget, yakni sepatu gunung (ada yang bilang sepatu trekking... whatever lah) merk Head seri Dura Dry 100. Sebelumnya, mohon dimaafkan ya brosis, ini foto-fotonya dibuat apa adanya banget. Kondisi sepatu masih luluran lumpur sisa-sisa motret JORC IV bulan Januari lalu hehe.... *ketahuan males nyuci* . Difotonya dengan penuh semangat menggunakan kamera HP Lenovo S 920. Let’s cekidot.....
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, saya prefer pakai sepatu than sandal, karena faktor keamanan dan kenyamanan. Ada beberapa sepatu yang menjadi andalan saya yang tanpa disengaja berasal dari brand yang berlainan. Nah, kali ini saya akan bercerita tentang satu di antaranya yang menjadi andalan saya banget, yakni sepatu gunung (ada yang bilang sepatu trekking... whatever lah) merk Head seri Dura Dry 100. Sebelumnya, mohon dimaafkan ya brosis, ini foto-fotonya dibuat apa adanya banget. Kondisi sepatu masih luluran lumpur sisa-sisa motret JORC IV bulan Januari lalu hehe.... *ketahuan males nyuci* . Difotonya dengan penuh semangat menggunakan kamera HP Lenovo S 920. Let’s cekidot.....
Sepatu Anak-anak yang Belinya Dibungkus
Kresek
Saya beli ankle boot seharga Rp 400.000,- ini di tahun
2006. Hehe... udah lama yak. Sekarang berarti sudah 10 tahun. Sebelumnya, yang
ada di dalam benak saya, Head itu merk perlengkapan yang identik dengan tenis.
Dulu, ayah saya punya beberapa raket tenis merk Head ini. Saya mengira, kalaupun
ada item sepatu, paling-paling sepatu tenis juga, atau sepatu olahraga pada
umumnya. Ketika berada di toko X itu, saya baru ngeh bahwa Head ternyata juga punya
sepatu gunung. Hahaha.... sayanya aja yang kuper. Lagian, 10 tahun yang lalu Mbah Google yang jenius dan serba tahu itu belum semudah sekarang untuk
ditemui dan ditanya-tanyai, jaim dia. Kudu ke warnet atau nyari
wifi gretongan dulu di
kantor. Henpon saya pun masih tipe candy
bar yang hanya mampu buat nelpon, SMS, dan MMS (fitur ini susah dan nyaris
tidak pernah saya pakai). Internet mobile dengan smartphone? Hahaiii.... masih di angan-angan :D
Tadinya
saya pingin nyari merk lokal macam Eiger yang sudah saya punyai yang terbukti cukup
nyaman, tetapi setelah mencari kesana-kemari kok tidak nemu ukuran yang pas,
38. Nemunya yang ukuran geday-geday, tipikal ukuran kaki cowok. Mmmm... mungkin
waktu itu produk beginian masih jarang dilirik sama cewek, at least di Jogja. Jadi, para pedagang pun tidak mau gambling nyetok banyak-banyak ya? I dunno exactly, just IMO.
Okay,
dilanjut. Sewaktu beli, sepatu ini sukses membuat saya qeqi, nyengir, mesem
aneh, campur mengernyitkan kening. Rasa nano-nano deh. Kalau divisualisasikan
secara komik, di atas kepala saya ada balloon
yang berisi tanda tanya jejer lima. Mengapa? Karena keluar dari toko, saya seperti
nyangking bakwan dari angkringan. Loose
pack, tidak pakai kardus, paper bag,
atau apa lah sebagai wadah resminya. Si mas-mas bakul hanya ngasih kantong
kresek item doang ke saya. Padahal belinya bukan di pasar klithikan lho, tapi
di toko perlengkapan khusus outdoor.
Lupa nama tokonya, lokasinya di Jogja utara. Belinya juga dalam kondisi baru,
bukan bekas. Baru sekali seumur hidup beli sepatu tanpa wadah~~~~~~
Selain itu,
ada satu fakta lagi yang membuat saya njenggirat sambil teriak “whattt?!” Sepatu ini ternyata sepatu
anak-anak! Huahahahah... Ora majalah. I
liked it... keep on buying. Di bagian lidah tertempel label yang menyatakan
bahwa sepatu ini berkategori children.
Aneh, children kok desain dan
warnanya serius ya? Tidak imut-imut seperti sepatu anak-anak pada umumnya.
Mungkin karena untuk naik gunung kali ya? Jadi tidak diwarnai colorfull bak pelangi, tidak perlu
ditempeli gambar Donal bebek atau Mickey tikus, diberi lampu kerlap-kerlip bak
UFO, apalagi dikasih towet-towet yang berbunyi ketika diinjek itu ^^. Ya, saya
jadi ingat, saya pernah melihat seorang turis londo yang masih anak-anak pakai
sepatu gunung model begini; dan semodel dengan punya saya, tidak tampak seperti
sepatu anak-anak.
Alasan Beli
Alasan
pertama. Di atas sudah saya jelaskan kenapa saya akhirnya beli sepatu Head ini.
Intinya, saya bukan tipe orang yang brand
minded. Jadi, barang dari merk apapun, jika saya suka dan cocok ya akan
saya beli. Itu kalau saya punya duit. Kalau saya belum punya duit tapi udah
ngidam berat? Ya saya akan menabung, sambil berharap ketika duitnya sudah
terkumpul, barang incaran masih ada.
Alasan
kedua. Dalam perburuan sepatu yang sudah memakan waktu beberapa hari itu, Head
ini merupakan satu-satunya sepatu yang ukurannya pas untuk kaki saya. Dari
sejumlah toko yang saya datangi, ternyata tidak ada pilihan lain bagi saya. Pilihannya
hanya take it or keep your money.
Alasan
ketiga. Kebetulan banget saya suka dengan modelnya yang boot. I love boots. Warnanya juga bagus;
perpaduan beige, abu-abu, hitam, dan
putih. Saya pun menyukai lubang talinya yang etrbuat dari metal, tampak kuat
dan kece. Solnya pun agak tinggi sehingga saya yang imut liliput tidak tinggi ini jadi langsung tambah tinggi
beberapa centi. Hehehe. Perkara peninggi badan instan ini, bisa ditambahkan menjadi alasan yang keempat :- )
Alasan
kelima. Sepatu ini looks sturdy and feels
comfy. Saya mencoba memakainya kiri dan kanan, kemudian dirasakan untuk
berjalan di dalam toko. Rasanya pas banget di kaki saya dan nyaman buat
berjalan. I had no complain about it.
Alasan
keenam. Budget. Harganya yang Rp 400.000,- tidak membikin kantong bolong.
Cukupanlah. Alhamdulillah saya tidak perlu menabung kelamaan untuk memboyongnya
dari toko. Tidak seperti sepatu Docmart saya, yang butuh effort, yang inshaallah akan saya review next time.
Kualitas
Dengan
harga yang menurut saya tidak bisa dikatakan murah waktu itu, aneh saja, kok
tidak ada kardus pembungkusnya. Setelah saya cek di internet, ternyata harga
sepatu Head berkisar satu jutaan... dan lebih. Huahahah..... Pantesan, wajar
kalau yang ini cuma dibungkus kresek. Mungkin colongan dari pabrik barang rijekan kali ya. Hihihi.....
Bahan suede warna beige, kalem |
Jahitan tambahan oleh tukang sol di sekeliling tulisan "Head" merah |
Pepatah
Jawa “ono rego, ono rupo” itu sepertinya mulai terbukti. Setelah beberapa bulan
pemakaian, lem di sebelah atas lis sol tampak mesem. Hmmm..... it’s okay. Terus, saya lem seadanya
dengan nasi lem, beres! Besoknya
dipakai, lha kok mesem lagi. Besok dan besoknya mesemnya kian sumringah, ketawa
malahan. Eeh... ketawanya ngajak-ajak sebelahnya pula. Saya lem lagi, tapi ada
bagian yang ngeyel banget, tidak mempan dilem. Akhirnya dengan desperado
*kebayang Antonio Hujanderas tembak-tembakan pakai gitar*, saya mingkemin pakai
Alteco! dan mingkem coy.... tapi gawat dah, bisa “krekk!” rusak ini sepatu.
Alteco kan lem keras, yang bukan dimaksudkan untuk ngelem sepatu.
Dari
ngobrol dengan seorang teman, akhirnya sepatu ini saya jahitkan di tukang sol
sepatu ngider langganannya. Pada sejumlah titik terutama pada sol atas, saya
minta dilem terlebih dahulu baru dijahit. Pertahanan ganda, brosis. Hahaa. Saya
perhatikan cara kerja si tukang, wedew.... ternyata dia kurang berhati-hati,
sepatu saya dijahitnya dengan tidak cermat. Hampir saja dia meng-cut tulisan merk untuk memudahkannya
menjahit, sudah mepet banget itu.
Saya yang tadinya ada di situ untuk menunggui akhirnya
perlu mengawasi lebih ketat. Bukannya gila merk, tapi label merk itu merupakan
identitas sekaligus bagian dari estetika sepatu je. Saya pun jadi senewen
hingga perlu memperhatikan detail demi detail proses menjahitnya. Fiuuuh....
penat bercampur dag dig dug. Alhamdulillah, setelah dijahit, sepatu pun menjadi
kuat dan siap diajak jalan-jalan lagi. Lis sol yang tadinya ketawa dan mesem
pun jadi pada mingkem semua.
Kenyamanan
Sepatu ini
pas banget di kedua kaki saya. Untuk melangkah, menapak, jinjit, dan menekuk
pun terasa nyaman. Yang paling saya sukai adalah sol bawahnya yang ngegrip
*mungkin dia bertipe MT merk Maxxis Mudzilla ya*. Diajak nginjak apapun do’i
oke saja. Batu berlumut terendam air sungai, semak belukar, rumput basah nan
licin, duri putri malu, duri bambu, ubin, pasir, aspal.... semuanya no problemo. Bobotnya 1.100 gram
(1,1 kg), dengan pembagian berat yang merata, menjadikannya terasa ringan untuk
melangkah. Tidak berasa seperti ada yang menggelayuti dan menggondeli kaki.
Sesuai dengan
namanya “Dura Dry”, sepatu ini pun cepat kering. Pernah saya pakai nyemplung
sungai untuk mendapatkan momen dan angle
yang baik saat CR-an. Ketika mentas, rasanya tidak nyaman karena basah kuyup.
Digunakan untuk beraktivitas, tau-tau do’i kering sendiri.
Sol
bawahnya sekelas ban MT *atau extreme yah?
Xixixi...* Untuk segala medan, sepatu ini siap-trabas. Medan halus, kasar,
kering, basah; ayoook saja. Sangat kooperatif deh, nyenengin.
Kekurangan
Nyaris tidak ada. Kerusakan kecil hanya
dijumpai pada ngelupasnya sebagian sol atas efek dijahit
sama tukang sol sepatu dan retak kecil sol atas dekat jahitan bawaan pabrik. Itu pun baru muncul belakangan ini, setelah memasuki usia 10 tahun sejak dibeli.
Cuwil bin ngelupas dikit, but it's still okay |
Retak dikit di dekat jahitan pabrik. Mungkin karena dia sudah mulai tua... |
Retak di bagian belakang, dekat jahitan tukang sol |
Kesimpulan
I love it. Ini adalah sepatu andalan yang paling
sering saya pakai CR-an, karena paling nyaman dan paling oke diajak bantingan.
Awet pula, sudah 10 tahun masih bagus dan nyaman. Bagaimana dengan brosis sekalian? Punyakah pengalaman
seru tentang sepatu andalan?
Merk: Head
- Dura Dry 100
Lokasi
pembuatan: Indonesia
Jenis: trekking shoes-ankle boots
Kategori: children
Ukuran: 38
Bahan utama:
suede dan kanvas.
Jumlah
lubang tali: 4 pasang + 2 pasang kaitan metal
Berat:
1.100 gram
Harga: Rp 400.000,-
Tahun pembelian: 2006
Nilai: 4,5
dari 5
~Piet~
Gw beli taon 2003 pas lulus SMA itu jg nabung dlu beda ya dpt bungkus ya gak pake kresek hahaha price ya 700k itu pun bikin garuk" kepala pengangguran beli sepatu sampai harga segitu hahaha dan sepatu masih perawan tingting langsung gaspol d ajak ke Rinjani dan enak banget di pake ya betul mau jalan kaya gimana pun tetep nyaman dan sekarang masih d pake tu sepatu Kya istri kedua hahahaha
BalasHapus