Selasa, 14 Juni 2016

Blusukan di Nglinggo, Menjajal Trek Baru






Haiii semua.....
Akhirnya saya posting lagi nih setelah sekian bulan vakum. Brosis, sudah pernah ke desa wisata Nglinggo belum? Itu tuh, sebuah tempat adem di Perbukitan Menoreh Kulonprogo yang ada kebun tehnya. Satu-satunya wisata kebun teh yang ada di DIY.

Saya kemarin ikut dolan blusukan atau CR-an (country road-an) kesana bersama KJFC (Katana Jimy Fans Club), hari Minggu, 5 Juni 2016, sehari sebelum puasa 1437 H. Sebenarnya, KJFC sudah sering CR-an kesana, bahkan sejak masjo tercinta belum bergabung dengan klub ini. Setelah bergabung, kami sendiri sudah 4 kali kesana; 2 kali untuk blusukan, 1 kali untuk nonton teman-teman yang ngetrek di trek pendek muteri sungai, dan 1 kali sekedar mampir piknik dari CR-an di Suroloyo. Sebelumnya, saya juga pernah kesana duluuuuu banget di tahun 2000-an awal, sewaktu tempat ini belum ramai seperti sekarang ini. Rasanya aneh-aneh-seneng, di Jogja kok ada tempat tinggi yang adem, berliku-liku, dan ada kebun tehnya kayak di Wonosobo.

Nah, pada kesempatan ke 5 ini, medan blusukannya lain lagi. Kami belum pernah nyemplung. Konon, trek ini pendek tapi membuat kemringet.... waduuh. Masjo sendiri sih ogah kalau ntar pake ngewinch-ngewinch segala, bukan kelasnya. Lha wong jip kami cuma jip culun yang dipakai glidig harian, kok mau macem2. Emangnya JORC? Atau IOX Adventure? Hihihi.... Ngilo githok :D

Selamat datang di kawasan wisata Nglinggo. (Dokumentasi. Foto di atas ini saya ambil pas CR-an tahun 2015 lalu).

Dua minggu sebelumnya, wacana CR-an kesini memang sudah direncanakan, dengan “semangat penasaran” ingin menjajal trek baru, namun beberapa hari sebelum hari-H saya dengar rencana ini gagal karena diinfokan bahwa trek ini berkategori ekstrim. Yaa harus ngewinch segala. Wedew.... ya sudahlah, kalau dibatalkan ya tak apa-apa. Setujulah saya, wong saya niatnya pingin piknik thok kok. Tidak mencari yang ekstrim-ekstrim. Yo uwis, tidak jadi piknik.

Kumpul di depan baliho peta wisata Desa Nglinggo.
Eh lha.... besoknya dikabari lagi kalau CR-an tetap jadi diadakan tetapi dengan trek lama yang pernah saya lewati itu. Trek tersebut cukup panjang, sampai tembus ke wilayah Purworejo. Hmmm.... sebenarnya agak males sih, karena saya sudah 2 kali kesana, tapi okelah.... yang penting piknik. FYI, saya ini penyuka dolan dan piknik. Terlebih lagi ke alam bebas berhawa sejuk, cozy, dan tidak crowded.

Eniwei, mendengar kata “mau CR-an di Nglinggo” dan ini besoknya sudah masuk puasa Ramadhan, saya teringat akan kolang-kaling dan gula aren.... wkwkwk dasar emak-emak! Yang dipikirin tidak jauh-jauh dari dapur. Biar sekalian bisa nyetok untuk dibikin minuman berbuka dan dibikin manisan kolang-kaling untuk lebaran.Haiyah.... masih lama, cuiiint +__+.

12 jip plus 1 motor
Singkat cerita, berangkatlah rombongan yang terdiri atas 10 jip 4x4 Suzuki Katana dan Jimny menuju Nglinggo di pagi yang super cerah itu. 1 jip datang menyusul ketika rombongan sudah masuk ke dalam hutan.

Seperti CR-CR-an yang bersifat fun lainnya, anak-istri juga pada ikut. Para anak tersebut terdiri atas beberapa remaja cowok-cewek, beberapa abege cowok-cewek, bocah-bocah cowok, balita, dan batita. Bocah-bocah cowok seumuran TK dan SD kelas 1 adalah yang tampak paling antusias dan berbinar-binar wajahnya. Mereka ini paling “jago” kalau disuruh mbahas CR-an. Saya perhatikan, perbendaharaan kata mereka di bidang offroad ngalah-ngalahin orang dewasa *emaknya*. Fasih banget mereka ngomongin “empat kali dua”, “empat kali empat”, bahkan lapan empat satu (4x2, 4x4, 8:41). itu bukti bahwa mereka memang interested ke bidang ini. Hehee.... Kelak jika dewasa, mereka mungkin jadi pengamat atau komentator offroad yang handal ya.

Weh, mana bersemi profesi macam itu di sini? Yang ada dan buanyak mah pengamat dan komentator bola. Padahal, maen bola aja kagak pernah. Wkwkwkk. Komentator makanan juga ada, kerjaannya enak bingits, makan ini-itu, dibayari, dapat honor pula. Komentator wisata juga bersemi di era cyber media ini. Kerjaannya dolaaaaaan muluk, kemenong-menong.... terus ngomentarin tempat tujuannya, lalu dapat honor. Hehehe. Asyik ya... 

Apapun bidang komentarnya minumnya teh bodol sosor, eh...  asalkan dilakoni dengan hepi dan with passion, inshaallah akan mendatangkan hasil. Minimal hasil itu berupa manfaat batin bagi dirinya sendiri. Jika batin sehat, jiwa dan raga pun inshaallah akan ikut sehat juga. Begitu kata-kata bijak yang acap kali saya dengar dari mubaligh dan mubalighot pas ngaji.

Olrait, kembali ke cerita awal. Sampai di Nglinggo, Mas Melky yang penduduk sana sudah siap memandu atau istilah beliau “maen bareng” KJFC dengan odong-odong Jimny warna baby blue-nya. Odong-odongnya ini full house, eh full odong-odong dink, dengan adik lelakinya, anak-anak balitanya, dan adik iparnya yang membawa infant. Wuiih rame bener.... dan sepertinya adik-adik kecil unyu dan ibu muda itu pun sudah sangat terbiasa blusukan di sana. Jadi, tidak masalah kalau harus naik jip oblongan beramai-ramai begitu. 
Mas Melky dan anak balitanya yang selalu menggeleyot.
Mas Melky dengan Jimny odong-odongnya yang tangguh.
Full.
Oh iya, Mas Melky ini seorang offroader yang sudah hapal seluk-beluk Nglinggo. Ya iyalah, kan beliau penduduk sana. Kemarin waktu JORC IV beliau juga terlibat sebagai panitia yang berjaga di Trek B kawasan Nglinggo.

Setelah permisi kulonuwun dengan pengelola Nglinggo, suasana hati pun sudah saya sesuaikan ke mode mblusuk trek yang panjang dan lama itu. Besar kemungkinan trek tersebut baru tertuntaskan hingga malam. Bekal makanan, minuman, cemilan, alat solat, alat masak, dan baju ganti pun sudah menuh-menuhin 2 box peluru hijau army produksi PT Pindad itu. But, then.... diinfokan oleh beliau bahwa trek yang mau kita lewati itu sedang dicor beton di sisi sana. Hwadohh!!! What the,,,,,+)# %^&*()_+@##,,,,, Akhirnya diputuskan, treknya sesuai dengan rencana pertama. Iyaah, trek baru yang konon bikin kemringet ituuh! Oke deh, Om. Siap-siap towing ini, mengingat ban depan saya sudah mulai gundul. Ntar kalau tidak kuat, ya balik kanan. Yang penting ada plipiran, beres.

Seperti CR-an yang sudah-sudah, Mas Kukuh, salah satu pengelola Wisata Desa Nglinggo pun ikut memandu dengan mengendarai motor bebeknya. Iya betul, motor bebek, tapi ini khusus motor bebek pengelola yang sudah hapal medan lho ya. Selain itu, hanya motor trail dan jip 4x4 lah yang diperbolehkan masuk ke medan. Medan hutan pinus ini berbahaya, brosis. Jangan dibayangkan seperti Hutan Pinus Mangunan yang biasa untuk piknik itu lho ya. Ini jauh berbeda. Satu pesan saya: Don’t ever make a stupid try with your on-road vehicle, or you are going to get lost even die. I mean it.

Kolang-kaling dan gula aren asli Nglinggo
Subjudul ini hanya membahas bahan makanan. So, jika brosis tidak tertarik, monggo silahkan di-skip saja. Langsung meluncur ke subjudul berikutnya ya :D

Seperti yang sudah diniatkan sedari kemarin, begitu ketemu Mas Kukuh, saya pun nanyain ketersediaan kolang-kaling dan gula aren. Hihi. Kemudian beliau langsung tanggap darurat ngontak seseorang di seberang sana dengan pesawat HT-nya. Jawabannya pun “positive, captain!”. Syiiip tenan.... dan saya pun langsung pesan 5 kg kolang-kaling. Byuuuh.... mboten sak kwintal sisan, mbak? Wekekekekk. Mboten, Mbokde. Segini saja sudah cukup kok buat cadangan devisa seabad. LOL. Saya paham masjo tercinta itu pecinta kolang-kaling. Jadi, ntar pingin saya bikinin dia manisan kolang-kaling, kolak dengan campuran kolang-kaling, dan es campur bertabur kolang-kaling yang banyak :)

Selain itu, saya pun pesan gula aren sebanyak 3 tangkep. Satuan gula aren di sini bukan ons atau kilo gram, melainkan “tangkep”. Bukan tangkep nangkep maling lho ya, melainkan tangkep ditelangkepin di atas permukaan gula yang lain, alias dipasangkan. Setangkep berarti sepasang. Dicetak menggunakan batok kelapa yang bentuknya seperti mangkuk itu, sebiji gula berarti 1 cetakan, atau setengah tangkep. Gula aren setangkep ini bentuknya mirip UFO *tanpa alien tentu saja*. Kalau brosis beli setengah tangkep, maka bayangin aja UFO yang ½ bagian doang, tidak pakai atap :D.

Ini asli lho.... Asli buatan penduduk sekitar Nglinggo dan asli gula aren. Lah, emang ada yang palsu? Buanyakkk! Gula aren dan gula jawa yang sering saya beli di warung itu sering tidak asli, banyak campuran bahan-bahan yang ajaib. Teksturnya pun kadang keras mirip batu padas. Dipukul pakai hammer, yang kontal malah hammer-nya. Ewww.

Ah, ngomongin bab keaslian-kepalsuan, apa sih yang tidak bisa dipalsukan di negeri kita tercinta Indonesia ini? Yang saya tidak habis pikir itu telur ayam, kok ya ikut dipalsu. Tepok jidat kuat-kuat. Lha wong telur lho ya, yang strukturnya, komposisi bahannya, dan warnanya yang sedemikian rupa kayak gitu itu.... ada cangkang, ada putihan, ada kuningan, kok ya kober-kobernya dipalsuin. Hadeeeh. Apalagi cintamu, palsu buanget.

Oh iya, mungkin brosis penasaran berapa harga komoditas asli Nglinggo yang saya beli itu. Kolang-kaling alias buah atep Rp10.000 /kg. Beda Rp2.000 sama warung dekat rumah yang dijual Rp12.000. Gula aren Rp8.000/tangkep, yang sesampainya di rumah saya timbang ternyata 1 kg lebih dikiit.

Semua itu saya beli dengan pasrah, tidak pakai tawar-menawar karena menurut saya sudah murah. Apalagi jika teringat proses pengunduhannya, pembakarannya, pengupasannya, pemukulan sampai gepengnya, penggodokannya, dan perendamannya yang ribet.... sejak dari buah atep berkulit hijau hingga menjadi butiran gel putih yang memberikan sensasi asyik kenyal kala dikunyah. Wah, tambah tidak tega untuk menawar. Persis setahun yang lalu kami kesini, pas menjelang bulan puasa pula, harga kolang-kaling masih Rp9.000/kg. Naik seribu Rupiah, ya wajarlah.

Pintu masuk trek
Kalau brosis pernah ngetrek di Nglinggo, tentu sudah tahu letak jalan masuknya yang ditandai dengan plang “4x4 only” di tepi jalan aspal itu. 
Pintu masuk yang biasanya itu, tapi kali ini bukan dari situ masuknya. (Foto ini saya buat saat CR-an tahun 2015).
Dalam CR-an kali ini, pintu masuknya bukan dari situ lho ya, melainkan naik ke arah kebun teh tapi sedikit saja, jangan jauh-jauh, kemudian masuk kiri ke gang mungil menuju ladang yang waktu itu di mulutnya terdapat banyak tumpukan kayu. Eww.... belum apa-apa kok sudah disuguhi yang beginian yak. Sebuah welcome greeting.... Firasat ane ude kagak enak aje. Kebayang di sononya ntar tambah ngeri. Ane kan super cemen, offroader gadungan, levelnya cuma fun CR, pun cuma ngenek’i dan nyotret doang. Hiks, ora popolah. Pokoke joget.

Gang masuk ke arah hutan. Sempit njepit.

Pemandangan dari arah dalam gang. Jip Pak Lurah yang sudah lama tidak ikut blusukan, mblusuk juga di gang masuk yang sempit ini.

Baru beberapa meter masuk eeiiy.... sudah ketemu handycap kedua yang berupa “gapura sempit” dengan sebatang pohon di kiri, dan tanggul ladang di kanan. Tanggul ini pun ada pohonnya juga walaupun kecil. Kedua pohon itu sungguh membikin ilfil, sodara-sodara. Jangkrik ijo yang mungil itu pun kejepit di situ. Saya yang berada di barisan agak belakang pun penasaran. Turunlah saya dari jip terus berjalan ke depan. Oww penahan tempias hujannya ternyata nyerempet pohon! Aksesoris ini membuat dimensi si Jangkrik menjadi bertambah lebar. Pohon di sebelah kiri pun tetap tegar, pantang mengalah. Ceritanya, si Jangkrik ijo ini tetap berusaha memaksa masuk, walaupun menurut cerita si sopir, di dalam kabin sudah terdengar suara ngeres serempetan yang nggak ngenakin hati.

Lalu, kok 3 jip di depan berhasil lolos ya? Ya, karena mereka itu tanpa aksesoris jendela samping. Polosan saja, jadinya lebih slim. Paling depan Mas Melky pembuka jalan dengan odong-odong Jimny, diikuti Jimny Jangkrik kanvas semi odong-odong, dan 1 nya lagi Jimny Jangkrik standar tetapi tanpa penahan tempias hujan (opo sih istilahe?).

Dipaculi
Seorang mas-mas yang tadinya saya kira petani yang sedang menggarap ladang eh... ternyata adik Mas Melky itu pun turun tangan membereskan rintangan. Dipaculinya sebagian tanggul supaya jalan melebar, namun tetap saja si Jangkrik Ijo gagal masuk. Apalagi Katana Jimny di belakang-belakangnya yang bodinya lebih lebar, bakalan nyentel semuanya dong.
Adik Mas Melky berinisiasi memaculi tanggul ladang. Tadinya saya kira dia petani lokal :))
Satu-satunya jalan kontraproduktif terpaksa ditempuh: mencabut pohon kecil di sisi kanan. dicabut rame-rame kok tidak berhasil. Akhirnya winch si orange juice bekerja dengan trengginas. Ya, ibarat kata penyakit, jalan penyembuhan terakhir adalah dengan dioperasi. *Hiks, sedih melihat akar pohon yang sudah banyak dan berserabut lebat itu harus tercerabut dari tanah tempat tinggalnya. Tentulah pohon itu sudah berjuang hidup bertahun-tahun untuk menghasilkannya.*
Asli, ngeres dan pilu hati saya melihat ini... tapi, tidak ada jalan lain. Terpaksa harus begini :(
Satu demi satu jip berhasil masuk. Itu pun dengan penjagaan yang ketat. Ada yang berjaga di dekat pohon untuk memberikan aba-aba. Saya sendiri tidak merasakan sensasi slusupan di “gapura” itu karena sok sibuk jadi fotografer gadungan. Di depan sana sudah terdengar raungan jip-jip yang sudah duluan lewat. Suaranya menggelegar memecah kesunyian hutan. Wuiih.... treknya macam apa itu ya? Kok kayaknya terdengar ngeyel. Ah... seru nih sepertinya. Saya pun bisa merasakan adrenalin teman-teman di sekitar saya yang pada mulai naik.
Jangkrik ijo akhirnya bisa masuk, dan itu pun masih mepet.
Njepit. Jika posisi pohon tidak doyong, jip akan lebih mudah masuk.


 Setelah jip yang dikendarai masjo berhasil lewat, saya bergegas naik ke dalamnya untuk ikut menyusuri jalan tanah yang ampuun sempitnya, berbumbu sedikit ajrut-ajrutan dan banyak ketegangan karena ban depan kami yang mulai gundul. Jip rasanya berjalan dengan gleyat-gleyot tidak stabil.

Trek tanah yang keras tapi licin
Brosis sudah pernah berjalan di atas lantai yang disabuni belum? Kalau belum, yaa bayangin saja deh, tidak usah dicoba. Licin pokoknya. Nah, trek di Nglinggo kali ini ya ibaratnya seperti itu. Menurut Mas Kukuh, hujan sudah tidak turun selama seminggu di Nglinggo. Walaupun demikian, yang namanya hutan pinus itu pintar banget menjaga penguapannya, jadi ya tetap saja tanahnya basah. Hal ini membuat trek menjadi licin, ibarat lantai yang disabuni itu tadi. “Sugeng plosotan, Mas....” Ban yang kurang ngegrip pun akan kesulitan melangkah dan mengendalikan kestabilan kendaraan. Kalau bisa memilih, mendingan berjalan di trek berlumpur seperti bubur karena ban saya masih bisa mendapat gigitan.
Welcome to the jungle, babe!
Kondisi tersebut di atas masih diperparah dengan kontur tanah yang tidak rata karena banyaknya jeglongan panjang seperti parit yang terbentuk dari ban-ban motor-motor trail yang beberapa waktu yang lalu mengadakan event blusukan di situ. Kami harus berhati-hati, terlebih ada banyak jurang di kiri jalan yang kalau dilongok cukup membuat nyali ciut.

Well, kalau saya hanya duduk manis di dalam jip, ya foto-foto yang saya bikin paling cuma menampilken bokong jipnya teman yang berjalan persis di depan jip saya. Monoton..... dan saya pun memilih turun, berjalan kaki saja, supaya bisa memotret jip saya dan jip-jip lainnya dengan lebih leluasa. Itung-itung olah raga, hashing kayak orang kaya. Hahaha.

Beban di tangan saya lumayan berat karena saya sok ribet menenteng-nenteng kamera dan lensa yang total beratnya 2,6 kg, dan itu berlaku sampai pukul 5 sore. Walhasil, saat mengetik postingan ini, kedua lengan saya masih njarem. Jari-jari saya pun masih linu-linu. Lho memangnya mbaknya seksi dokumentasi acara ini apa, kok mau bercapek-capek jalan kaki dan berlinu-linu begindang? Ow, bukan! Saya ini orang bebas, saya motret ya suka-suka saya, sesuai keinginan. Kalau saya pingin motret, ya saya mau melakukan yang susah-susah demikian itu. Kalau saya tidak pingin, ya saya pun pilih duduk manis saja di rumah, meni-pedi-manjangin kuku :D .

"Let's rock!"

Tiba di sebuah pertigaan, atau tepatnya perempatan semu, trek dipilih yang ke arah kanan. Kalau ke arah lurus itu trek JORC IV... bhuahahak! Pantesan dipagari, sejenis warning supaya penggembira-penggembira macam kami ini tidak mencari masalah kesana. Bagaimana tidak, menurut cerita Mas Melky, di JORC kemarin itu hanya ada 5 team saja yang berhasil lolos. Itu pun ngewinch semua. Ekstrim, coy..... Bukan kelas kami. Tahu dirilah. Mlipiiiir.....

Sampai di sebuah tikungan ke kanan yang agak menanjak, kondisi trek bertambah “ajib”. Jeglongan-jeglonganya *i’m sorry for my weird javanese language* semakin besar, dalam, dan bikin para joki harus bersiasat. Tidak semua jip berhasil lewat dengan lancar jaya, rata-rata butuh lebih dari satu kali trial. Beberapa bahkan harus di-strap, termasuk jip saya wkwkwkwk..... Mayuuuu *nutupin muka pake jari-jari megang tisu*. Tak apaaa, daripada kampas kopling ane hangus :)) . Cuma ya risih saja sih, kok di trek kayak gini jip saya gagal lolos iku kepiye sih?
Jeglongan yang panjang dan dalam lagi licin. Kadang harus dicemplungi, kadang harus dikangkangi. Tergantung sikon.
Kambing hitam pun perlu dicari. Kambing pertama ketemu di kembangan ban depan yang memang sudah menggundul dan kehilangan traksi. Kambing kedua ngendon di ruang mesin yang akhir-akhir ini saya rasakan mulai letoy, ngempos mirip ban gembossss. Tampaknya karburatornya harus disetel ulang. Lha biasanya di trek-trek yang lebih berat saja berhasil lolos kok....

Hehe... sotoynya saya. Lha wong saya ini bukan montir, bukan pula offroader, apalagi anak gembala, kok repot nyari-nyari kambing hitam. *padahal adanya cuma kambing krem si wedhus gembel ituh* . Intinya, jika dalam kondisi waras,  inshaallah jip saya mampu melaluinya. Lha wong jip merah standar di depan saya itu saja mampu kok.

Kesimpulannya, kami sedang memasuki trek yang kalau di game Duke Nukem, difficulty setting-nya “let’s rock”

Ngobrol-ngobrol, brosis termasuk penggemar game ini tidak? Ada 4 difficulty setting dalam game kesayangan saya sewaktu kuliah ini: piece of cake, let’s rock, come get some, serta damn i’m good. Lha biasanya, CR-an saya ya sebatas let’s rock saja. Itu sudah asyik, sesuai dengan tongkrongan jip culun saya. Kalau piece of cake sih ya tidak seru, muluuuus saja yang cuma bikin ngantuk.

Trek jahanam
Habis gelap terbitlah gulita. Itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan trek di depan sana. Di saat teman-teman di barisan belakang masih “mbeker-mbeker” maju mundur syantik menaklukkan tikungan berjeglongan; teman-teman di depan sana sudah menemui handycap lagi. Raungan mesin terdengar lebih nggembor. Saya bergegas ke depan. Jiaaah....!!! Ini mah trek eskrim sodara pemirsa! Tinggal dicampur buah kaleng atau puding... swegerrrr. Wahaha. Ekstrim maksudnya. Wiiiss.... maklum puasa-puasa, bawaannya pingin yang sweger-sweger.

Trek ini berupa tanjakan tanah lembab yang keras, berjeglogan parit bekas ban motor trail, sedikit meliuk-liuk, dan patah ke kiri setelah mencapai 3/4nya. Itu Mas Melky sedang “ngoker-oker” trek dengan odong-odongnya *again, sorry for my alien language*. Sepertinya beliau sedang “membajak” trek supaya jip-jip di belakangnya bisa lewat. Atau mungkin.... beliau sendiri sebenarnya sedang kesulitan lewat sehingga harus maju-mundur syantik juga? Hahaha. Mbuh.
See? Paritnya dalam, kan.....
Sedikit trouble tapi bisa diatasi.
Jip odong-odong berban ekstrim punya Mas Melky berhasil lolos. Berikutnya, Jangkrik semi odong-odong milik WSL (Warung Soto Lesah) yang juga berban ekstrim mendapat giliran naik. Setelah beberapa kali trial, akhirnya ia lolos juga. Saya sempat geli menyaksikan putera kecilnya yang kelas 1 SD berdiri di atas tebing tanjakan, memberikan aba-aba layaknya orang dewasa, walaupun aba-abanya itu diabaikan oleh papanya. Hihihi. Ya, anak-anak memang cepat sekali belajar dan menirukan.
Cangkul terus, Maaang....!
Berikutnya, giliran si Jimny orange juice sweger berban MT itu. Bisa loloskah? Hehe..... sudah saya duga, gagal.... Akhirnya setelah di-winch beberapa kali sesuai liukan tikungan, baru deh ia berhasil naik. Fiuuh.... 
Si orange juice berjuang menaklukkan trek jahanam dengan ngewinch.
Selanjutnya, si Jangkrik biru unyu itu. Bolak-baik, naik-turun, penasaran, ngulang lagi dari bawah... akhirnya pasrah bersandar di pohon. Wakakakak. 
Perjuangan si Jangkrik biru.
Njepit di antara 2 pohon pinus.
Nyandar dulu, Boss.....
Jangkrik ijo penasaran. Nyoba naik, tapi gagal. Nyoba lagi, gagal lagi. Saking licinnya trek, jip jadi berbalik arah, moncongnya menghadap ke bawah. Yang lain pada terpingkal-pingkal nyeletuk, “Arep mulih po yooo...??”
Jangkrik ijo tidak kuat dan berbalik arah turun. Spontan diketawain.
Kalau semua harus memaksakan diri naik dan ngewinch satu demi satu, hwaaah kelarnya ntar solat traweh nih, atau malah pas sahur. Jelas ini treknya odong-odong, bukan buat Katana-Jimny standar. Saya sih berpikir logis saja. Kalau sudah kayak gini mah lebih baik balik kanan dan pulang, tapi para pria itu banyak yang masih penasaran, termasuk masjo. Hallah... Wong yang di trek bawah tadi aja pake nyetrap kok. Huhuuu.
Jip saya mencoba naik, dan bisa ditebak hasilnya. Gagal maning, Son.... hahaha.
Saatnya masjo beraksi dengan jip merah item. Udah dibilangin juga, palingan kagak kuat.... tapi biarinlah, daripada ntar sampai rumah tidurnya ngigau penasaran. Hehehe. Benar saja, jip cuma spinning doang wang wang wanggg..... Walaupun mereka pada dongkol karena gagal, tapi tetap saja pada ngakak menertawakan kegagalan diri sendiri-sendiri.
Pak Lurah dengan jipnya yang 'mriyayeni' itu pun ikut penasaran menjajal trek jahanan lagi kejam.
Hewww.... Jahanam bener ini trek. Ibarat main game Duke Nukem, ini masuk setting-an come get some. Sulit, tetapi masih ada yang bisa lewat normal tanpa ngewinch. Lantas, damn i’m good-nya yang kayak apa? Ya yang kayak di JORC itu. kalau tanpa ngewinch, tidak bisa lewat.

Brosis penasaran? Tunggu apa lagi? Gaaasss.....!!! tapi saya sarankan bawa odong-odong atau jip ber cc besar. Jangan bawa Jimny standar ya.

Yang bener itu gimana sih?
Ada yang mengganjal ketika melihat posisi ngewinch si orange juice, yang dalam pandangan saya itu aneh serta tidak aman. Ia ngewinch dengan posisi menyamping, objek tarik berada di sisi kanannya, bukan di depannya.
Posisi ngewinch yang mengganjal menurut hemat saya, CMIIW.
Maafkan saya jika saya keliru, tetapi sependek pengetahuan saya, posisi mobil yang ngewinch itu seharusnya lurus terhadap objek yang diwinch. Posisi lurus akan membuat energi tersalurkan dengan optimal. Jika menyamping, tali winch akan mengumpul pada satu sisi yang akan mengurangi pulling efficiency dan bahkan berisiko merusak tali. Sumber yang saya baca, “Warn, Basic Guides to Winching Techniques” halaman 13-14, yang dirilis oleh Warn Industries Off-Road Products menerangkan tentang hal tersebut lengkap dengan ilustrasinya. Jika winching dilakukan dengan kondisi seperti ini, maka seharusnya dicarilah satu titik tumpu baru. Mobil yang ngewinch diposisikan lurus dengan titik tumpu tersebut, lalu dari titik tumpu ini tali winch dibelokkan ke objek.
Teknik winching yang benar dengan posisi objek yang menyamping menurut buku panduan keluaran Warn.


Kalau saya sekedar ikutan CR-an saja, duduk manis di jok, menikmati ajrut-ajrutan di trek dan tidak ngepoin apa-apa yang ada di trek, terlebih tidak mau baca-baca; mungkin ganjalan ini tidak akan muncul. Mungkin saya akan merasa biasa saja, anteng-anteng saja, tidak merasa ngeri, gusar, atau gimana. 

Ada hal mengganjal lainnya yang saya lihat ketika winching, yaitu orang yang narik seling kok tidak memakai sarung tangan. Hal ini sepertinya sepele dan sejauh ini memang baik-baik saja, namun ini adalah sebuah kesalahan dalam aktivitas offroad yang aman. Pada halaman 5 buku panduan keluaran Warn tersebut di atas disebutkan, "Glove wire rope, through use, will develop 'barbs' which can slice skin. It is extremely important to wear protective gloves while operating the winch or handling the wire rope." Penggunaan sarung tangan itu penting, karena seiring pemakaian, seling atau tali winch bisa rusak dan membentuk duri-duri kawat yang bisa mengiris kulit. Hiiiii.... kebayang kan, duri dari kawat baja mengiris kulit tangan, atau.... daging tangan. Ngeri! 

Look at the bare hands! It is extremely dangerous! Don't do it this way, friends.
Pantas saja.... saya pernah melihat seorang offroader senior memarahi abege anak buahnya habis-habisan manakala ia memegang (catat lho ya: memegang, bukan menarik) seling tanpa memakai sarung tangan. "Gila, galak bener itu bapak, masalah begitu saja kok ya pake dimarahin," pikir saya waktu itu, tetapi ternyata memang benar demikianlah aturan keselamatannya. Sayanya saja yang waktu itu kurang wawasan Lha emangnye sekarang kagak?? hwehee.... same ajeee. Yang penting kagak katrok yeee... , tapi setelah melihat itu, saya jadi kepo dan ingin tahu lebih banyak tentang dunia jip. Sampai akhirnya nulis di blog ini. Hihihi... asikin ajaa. Sesuatu yang baru itu memang mengasyikkan dan seru bagi saya :)

We’ve got company.... and the “PTO”
Ternyata tidak hanya kami saja yang CR-an di situ. Ada rombongan lain juga yang terdiri atas 3 jip Jimny LJ80, SJ410, dan odong-odong. Sambil mengantri trek, mereka ikut menyaksikan jip-jip kami yang berusaha menaklukkan trek jahanam itu. Mereka bahkan ikut membantu me-rescue dengan teknik “PTO” (Pake Tenaga Orang, seharusnya Power Take-Off/pakai winch yang tenaganya diambilkan langsung dari mesin mobil). Di sinilah kekhasan anak-anak jip yang saya sukai. Mereka punya brotherhood bond yang kuat. Meskipun tidak kenal, mereka lazim saling menyapa dan tolong-menolong, bahkan maen bareng. Bukan jaim-jaiman, bukan pula songong-songongan.

Towing "Pake Tenaga Orang" sebisa mungkin dihindari. Tidak aman, brosis. Pakailah jip anda atau jip teman anda.
Soal PTO yang diapit tanda kutip itu? Wkwkwk... ibarat mencoba ndagel ngelucu tapi tidak lucu sebenarnya, malah satir jadinya. Tidak safe, man.... membahayakan keselamatan. Kalau jatuh, gimana? Kalau keinjak, gimana? Kalau ketabrak jip yang sedang gas pol, gimana? 

Saya pribadi sebagai kenek yang nyambi tukang poto ini sering mengamati itu di lapangan dan di hasil bidikan saya, yang kesimpulannya saya tidak setuju dengan "PTO"! Ada jip nganggur terparkir di depan itu buat apa? Tinggal kaitkan strap di jip tersebut dan di jip yang stuck dan tarikk... itulah teknik yang aman. Kalau tidak ngangkat juga, ya pakai winch duong. Hmmmm.... tapi siapalah saya, kok mau memberi saran segala, saya kan hanya seorang istri biasa dari seorang suami yang bukan offroader, hanya temannya offroader. Ya sudahlah, yang penting saya tidak setuju dengan hal itu.
Ngumpul unyu Jimny-Jimny standar yang tidak mampu menaklukkan trek jahanam di depan itu. Sambil ngobrol dengan teman baru (berkaos biru).
Olrait... dilanjutken ceritanya. Berhubung kami sudah cukup lama berkutat di situ, kasihan jika mereka harus kelamaan menunggu. Ini kan trek umum, bukan milik satu klub. Akhirnya diputuskanlah untuk mengakhiri trek dan putar haluan, menepi, lalu memberikan jalan masuk buat jip-jip mereka. Dasarnya kami memang sudah pada give up, hahaaa... namun mereka ternyata memutuskan untuk ikut balik kanan juga. Mungkin ikutan muntir setelah melihat kegagalan jip-jip kami ya. Hihihi.

Akhirnya balik kanan
Sudah hampir pukul setengah tiga. Setelah pada mencoba naik untuk sekedar menuntaskan rasa penasaran, kami pun melambaikan bendera putih, lempar handuk, gantung sepatu, gulung tikar, bongkar lapak, tutup buku, nglaminating duit, atau apalah istilahnya.... you name it. Pokoknya kalah besar-besaran. Yang murni bisa naik hanya 2 jip; 2 jip lainnya naik dengan ngewinch, sisanya yang 8 itu “standing dan terbang” a la Oemar Bakrie. Sadar diri akan kekurangan yang dimiliki, itu lebih mulia, iya to? Hwehehe.... Alibi!
Selain jipnya Mas Melky, cuma si biru WSL ini yang sanggup naik tanpa winching. Congratulation!
Kami pun berniat balik saja, menyusuri jalan yang tadi dilewati, tetapi adik Mas Melky menyarankan untuk mengambil arah kanan pada perempatan semu tadi. Kalau ke kiri, hanya akan sama persis dengan berangkatnya tadi. Lagian, trek ke kanan ini tidak sulit kok. Begitu katanya. Ya, kami pun manut.
 
Si konde sebelum klontang juga ikut balik kanan.
Ketemu Supra "offroad" di pertigaan.
Bwahh!!! Kirain treknya mendatar dan mudah beneran, ternyata: tetap sempit, berliku, menurun, miring, dan licin. Di sisi kiri pun ada jurang. Hiiiiii. Cuma saja tidak ada tanjakan.

Sampai di pertigaan, bertemulah kami dengan 4 jip “jawara” yang berhasil naik tadi. Kami pun re-grouping. Ceritanya, dari trek jahanam tadi, mereka bablas ke kiri, lalu tembus di pertigaan ini.
Re-grouping di sini.
Turunan licin dan persneling mundur
Pertigaan itu membawa kami pada turunan panjang yang sedikit berkelok ke kanan dan ke kiri. Ujungnya berupa trek gembur berlumpur yang dipotong oleh parit kecil. Dari atas, ujung turunan itu tidak kelihatan. Saya memilih turun dari jip untuk melihat kondisi sekitar dan jeprat-jepret.

Wah, jip-jip harus berjalan pelan dengan ekstra hati-hati ini. Kalau jalan menurun sih sudah sering saya jumpai, tapi ini ditambah parah dengan unsur licin, miring, sempit, dan jeglong-jeglong. Intinya, sama dengan yang tadi, efek lantai disabuni; tetapi menurun... dan jurang di kiri jalan itu beneran membikin nervous.
Tepi jurang
Teknik yang diterapkan yakni mesin tetap dihidupkan, maju perlahan-lahan, mepet kanan ke tebing, injak rem sesekali, dan yang amat penting: gunakan persneling mundur. 
Mepet tebing
Sebagian besar penumpang jip turun. Ya untuk safety, ya untuk memberikan pengarahan mendetail kepada joki; sebab jika tidak, melenceng sekian derajat saja bisa berakibat fatal. Saya masih harus melaksanakan tugas mulia mengabadikan momen, sehingga masjo pun harus meminta bantuan pengarahan dari navigator jip lain, dan itu perlu. Tidak usahlah sok-sokan jago nyetir offroad tanpa aba-aba. Wong para adventure offroader profesional sekelas JORC dan IOX kemarin itu saja tetap perlu aba-aba dari para navigator dan crew-nya. Demikian halnya dengan speed offroader yang kebut-kebutan di sirkuit SCS, mereka juga butuh dan wajib didampingi navigator yang memberikan aba-aba dan pengarahan. Mau mbalap sendirian? Jadilah pembalap F1. Moto GP juga bisa. Atau.... yaa setidaknya pembalap pasar senggol.
Minta digaetin... dan itu perlu, brosis.
Klontang........!
Momen apa yang paling seru dari acara jip-jipan? Klontang! Yep, anda betul... tapi klontang kali ini beda. Semua tampak prihatin, susah. Tidak ada tawa jenaka dan cengengesan-ria seperti halnya di SCS-SCS itu. Klontang di sini merupakan sebuah kecelakaan seperti halnya kecelakaan di jalan raya. Mengapa demikian? Karena jip yang klontang ini jip “rumahan” yang tidak siap dengan klontang; sebuah Katana ber-body tidak ringan, tidak ceper, tidak ber-seatbelt 4 titik, dan tidak ada rollbar/roll cage-nya. Terlebih dengan model “konde”nya, jip Katana GX standar ini tampak tinggi menjulang bak pakai egrang. Dia terlihat lebih berisiko limbung, tidak stabil daripada jip-jip rendah dan berkaki ngangkang.... dan setahu saya, jip ini dan jokinya bahkan baru kali ini ikutan CR-an di trek 4x4, dan langsung bertemu dengan medan yang sulit pula. 
Trek menurun dan licin itu membuat jip ini kehilangan keseimbangan dan klontang!

Jip konde ini berada di urutan kedua ketika menuruni trek licin itu. Menurut si joki, dia sudah mepet tebing kanan seperti yang sianjurkan, tetapi ban kanannya naik dan akhirnya kehilangan keseimbangan. Ditambah dengan trek yang licin, pengereman pun menjadi gagal. Kurang lebihnya begitu itu cerita yang saya dengar. Jip merah di depannya tidak klontang, tapi sesampai di ujung turunan kedua gardannya nancep di tanah gembur. Stuck! Benar-benar gagal bergerak. Harus ditarik dengan strap.
Si merah menuruni trek dengan sangat berhati-hati. Penumpangnya turun dan memberikan pengarahan.
Si merah temangsang, nancep di tanah.
Yang klontang, yang nancep, dan yang lanjut.


Memang, berada di barisan depan apalagi paling depan itu tidak gampang. Kita tidak punya referensi untuk dipelajari dan diikuti. Kita harus mikir sendiri, memutuskan langkah sendiri, kalau luput ya risiko ditanggung sendiri. Jip saya berada di urutan keempat, dan sejak mengetahui treknya licin, masjo langsung minta “dikawal” sama navigator lain. Bener-bener minta dipandu dan diaba-abai. Dia tidak mau merisikokan keselamatan. Ah... bersyukur punya misoa yang taktis kayak gini ini, Bhihihi.
Dari turunan, langsung mendarat di lumpur.
Lha si konde ini untung saja berjalan pelan sehingga imbas benturannya tidak parah. Ketika klontang terguling, dia tertahan oleh pohon pinus yang tetap kokoh berdiri. Kerusakan paling parahnya adalah penyok di bagian atap depan. Alhamdulillah, masih untung joki dan ketiga penumpangnya selamat. Ketika kejadian, para penumpang memang berjalan kaki mengikuti jip, tidak naik ke dalamnya. Jip pun masih bisa dikendarai ketika pulang. Tidak ada kerusakan di bagian mesin dan kelistrikan. 
Menit-menit menjelang klontang. Untunglah penumpangnya pada berjalan kaki semua. Note: rok, tidak cocok untuk acara beginian ya, sista. Gunakanlah celana panjang yang nyaman dan menunjang safety di lapangan.
Ya. Jip-jip kami memang bukan jip kompetisi offroad yang sudah dipersiapkan untuk klontang, baik di alam lepas maupun di sirkuit Special Competition Stage (SCS). Walaupun demikian, dengan adanya kejadian ini, saya seperti diingatkan jikalau sudah bermain di trek offroad (walaupun kami bukan berstatus offroader, hanya temannya ofroader) ya harus semaksimal mungkin melengkapi standar keamanan ber-offroad. Betul, niatnya hanya fun CR, bukan eskrim-eskriman, tapi yang namanya kondisi alam kan kadang susah diprediksi. Manusia hanya bisa merencanakan dan mengira-ira. Oleh sebab itu, sudah seharusnyalah safety diupayakan semaksimal mungkin. Semoga jip saya segara dipasangi roll cage dan seatbelt 4 titik ya, guys.... Amiin :)) 
Salah perhitungan, ya fatal akibatnya.

Evakuasi jip klontang
Sebelum evakuasi dilakukan, area dibikin clear terlebih dahulu. Semua jip yang masih di atas disuruh turun duluan. Setelah area clear, baru si jip klontang diberesi. 
Turun dengan ditahan strap dari belakang, dan diarahkan dari depan.

Bahan bakar ditap habis, kaca depan dilepas, semua barang bawaan dikeluarkan dan diamankan. 2 jip menarik dengan winch dan strap dari 2 arah. Jip naas yang tampak bulky dan berat ini pun bisa berdiri lagi dan dipindahkan, ditarik dengan jipnya Mas Melky sampai ke parkiran di tepi jalan aspal.
Mengamati posisi dan mengevakuasi barang terlebih dahulu.
Evakuasi dilakukan dengan dua winch dan satu strap.


Bahu-membahu hingga si konde bisa berdiri lagi.
Ditarik sampai ke parkiran di luar hutan sana.
Sesampai di parkiran, actually tepi jalan tempat ngumpul di depan warung Mas Kukuh, jip ini diparkir di sisi kanan, baris paling depan. Di depannya ada tanjakan. Saat itu kami sedang santai-santai ngobrol. Jalan crowded oleh sepeda motor, lalu sebuah Toyota Avanza yang dikendarai abege cowok menabrak jip yang sudah penyok ini dari depan. “Kraakkks.....!!” suara benturannya mirip krupuk diremes. Jipnya sih kagak ape-ape, Bang.... tapi si Avanza, bolong tuh hidung kirinya. Dia menabrak bemper kiri jip. Hedeew.... nasib..... si konde ini, ibarat sudah babak belur kena pukul, masih dijitak pula. Untung pas dijitak dia pakai helm. Hufttt..... tapi kali ini tidak tampak ada yang prihatin, yang ada malah pada ketawa semua.
Toyota Avanza nyosor si konde, bolong hidungnya di atas lampu sein kiri itu. Difoto dengan snapshot, foto agak blur tapi lumayanlah, momen tabrakan itu masih sempat saya abadikan hihi....
Pukul 5 sore lebih sedikit kami cabut pulang. Tidak capek sih, hanya penat pikiran. Mungkin karena perasaan empati itu ya, brosis. Kasihan si empunya jip konde. Mau Lebaran, eh malah harus ngopname-in jipnya di bengkel. Ya, sekali lagi, semuanya tetap masih harus disyukuri. Tidak ada satu pun yang terluka dalam kejadian klontang tadi. Banyak pelajaran yang bisa saya petik dalam blusukan di Hutan Nglinggo kali ini, terutama masalah safety yang memang harus ditingkatkan dan dimaksimalkan.

Gulung strap dan bersiap pulang.
That’s all, brosis, cerita kali ini. Panjang bak seling winch diolor-olor ya. Bikin capek bacanya. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya. Wassalam.

~PIET~












Tidak ada komentar:

Posting Komentar