Sabtu, 23 Mei 2020

Pengalaman Konvoi dengan Jimny


Hai brosis…
Postingan kedua saya di tahun ini nih. Sabtu, 23 Mei 2020. Suara takbir berkumandang di luar sana, ditingkah dengan suara petasan yang bersahut-sahutan. Wuidiih... saya kok mendadak kayak penyair. Kucing saya si Toby pun ikut-ikutan bersuara ngeang-ngeong minta pintu keluar tetapi tak kami izinkan, karena dia belum lama pulang dari opname di klinik hewan akibat sakit liver. Masa karantina dia masih sampai besok Kamis. Ya, kucing pun ternyata bisa sakit liver kayak manusia.

Baik saya maupun kucing saya sama-sama dalam masa karantina. Ini merupakan malam Lebaran tahun 2020. Puasa dan Lebaran yang penuh keprihatinan karena ibadah menjadi serba dibatasi oleh aturan pencegahan virus corona alias copitsaurus. Besok pagi seharusnya solat Ied, tetapi karena masih dalam masa karantina akibat this f*****g plandemic, tampaknya solat Ied pada tidak diselenggarakan. Mata saya masih 100Watt, sudah mencoba tidur tetapi belum bisa, malah jadi pegal nih badan. Jam biologis saya selama sebulan berpuasa terlebih ditambah work from home memang seperti ini, melek malam, tidur pagi-siang. Ya uwis, lanjutin melek saja buat ngedit draft yang sudah saya tulis sekian lama ini saja. Topiknya seputar pengalaman bepergian dengan konvoi. Nah, brosis enjoy atau tidak nih dalam berkonvoi?

Konvoi terakhir sebelum covid-19, dengan teman-teman SKIn Banjar menuju Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa barat, 30 Februari 2020. Ini foto saat konvoi berhenti sejenak buat beristirahat dan makan di wilayah Sumedang.

Solo on-road
Cukup sering bepergian solo dengan Jimny tua kesayangan ke luar kota membuat kami (saya dan masjo) alhamdulillah merasa mulai terbiasa dan lebih pede untuk melakukan perjalanan sendirian, ngaspal solo. FYI, dulu kami enggan solo on-road karena tidak pede,  takut, dan khawatir keluar dari zona aman kampung halaman. Tidak pede karena harus berada di jalur yang tidak familiar, rasanya clingak-clinguk wagu gitu; takut ntar kalau nyasar-nyasar gimana, dan khawatir kalau ntar mogok gimana cemas kalau ntar diculik orang gimana. Padahal dengan bersolo-ria itu pelajaran yang didapat demikian banyak dan bakalan membuat kita terlatih intuisinya, lebih mandiri, dan lebih pede.

Solo on-road ini awalnya dilakukan dengan terpaksa, karena saat itu kami ingin main ke sebuah event jip di luar kota, tetapi tidak ada teman sesama jip yang berminat ke sana. Alasannya: jauh. Ya, saya sih maklum, memang tidak semua orang suka dolan, terlebih antarkota antarprovinsi. Banyak hal yang harus mereka pertimbangkan. Jadinya terpaksa deh budhal dewek. Eeee… ternyata dari keterpaksaan tersebut berubahlah menjadi enjoyment, rasanya nikmat saja solo on-road. Saya pribadi sebagai navi jadi lebih aware dan lebih banyak belajar. Ibarat kata, semua panca indera bisa bekerja optimal. Begitu pula yang dirasakan oleh masjo.

Meskipun demikian, kami tetap tidak menolak jika ada yang mengajak konvoi, tergantung occasion-nya, dan cocok tidaknya dengan jadwal kami. Ada pengalaman tidak mengenakkan yang membuat kami at least saat ini prefer solo than convoy. Kalau ada yang ngajak konvoi, kami harus berpikir 2x dulu biar tidak KZL.  Anyway, konvoi bagi kami sebetulnya fine-fine saja, asyik-asyik saja asalkan teman-temannya orang-orang yang mudeng dan bisa menjaga etika. Baiklah, here are my stories, my experiences abot convoy.

Pengalaman konvoi terlalu rapat
Ini kami alami ketika Jimny kami masih 4x2, belum pasang 4x4. Kami konvoi dengan rombongan mobil 4x2 ke daerah pegunungan. Jalanannya naik-turun dan banyak tikungan. Tidak sedikit pula tanjakan panjang yang menikung patah di tengahnya. Saat itu nyaris semua mobil belum pernah dolan rame-rame, pun kualitas mesinnya pada tidak oke. Banyak yang ngempos di tanjakan.

Sebetulnya mobil-mobil sudah berbaris rapi dalam satu lajur, cakeep. Namun sayang, karena kurang pengalaman dalam berkonvoi, jarak mobil satu dengan lainnya terlalu rapat. Keadaan itu masih diperparah dengan tidak familiarnya para sopir dengan jalur tersebut. Padahal jalurnya berisi tanjakan tinggi yang panjang, yang menikung di tengahnya, yang menjadikan ancang-ancang mobil kurang maksimal.

Walhasil, ketika ada satu mobil yang mejen di tanjakan, mobil-mobil lain di belakangnya harus berhenti mendadak di tanjakan tersebut dengan jarak yang sangat rapat. Ini sangat riskan, karena mobil-mobil di belakangnya rawan kunduran dengan efek karambol. “Kunduran?” Ah, apa sih bahasa Indonesianya? Intinya, mobil depan yang drop power rawan lose control lalu menabrak mundur mobil di belakangnya. Saya dan para navigator pada hectic mencari batu di sekitar jalan untuk mengganjal ban mobil masing-masing agar tidak melorot. Apalagi Jimny kami kejatah berhenti tepat di tikungan, yang kemiringannya alamaak…. Ngeri deh! Karena di sekitar situ banyak jurang.

Gotong-royong pun dilakukan untuk melancarkan si mobil mejen biar bisa berjalan lagi. Setelah berhasil, giliran mobil di belakangnya, en so on hingga giliran Jimny kami. Di bawah terik matahari itu para pengguna jalan terpaksa harus mengalah dan menepi, menunggu proses evakuasi ini, dan *terpaksa* memaklumi hal ini. Sungguh tidak nyaman rasanya. Seharusnya, berikan jarak antarmobil agar jika ada yang mejen, mobil-mobil di belakangnya masih mempunyai cukup ruang untuk ancang-ancang nge-loop *makluum, 4x2 ber-cc kecil.*

Pengalaman konvoi acak-acakan
Waktu itu kami hendak menghadiri sebuah acara jip-jipan di dalam provinsi. Jarak dari rumah cukup dekat, hanya beda kabupaten saja. Jimny kami berada dalam sebuah rombongan dengan mobil-mobil yang lain. Ada sekitar 25-30 mobil, mungkin lebih. Yang jadi masalah adalah, konvoi ini jadi 2 baris, pating plethot tak karuan, yang menuh-menuhin jalan. Sudah begitu, ada beberapa yang jalannya zig-zag glelengan, pindah lajur kiri-ganti lagi lajur kanan, seolah-olah jalan tersebuti milik simbahnya. Mobil-mobil outsiders seperti dipaksa maklum dan minggir. Meraka  yang di belakang sampai tidak kebagian ruang untuk nyalip. Ada beberapa yang tampak marah nglaksonin keras-keras.

Duh… betapa malunya saya…. isiiiin tenan :(
Meskipun kami alhamdulillah tahu aturan dan etika, tapi mana orang-orang di luar sana pikirin? Yang mereka lihat kan Jimny merah kami ikut rombongan konvoi koclok itu. Kami jadi bagian mobil-mobil koclok juga.

Harus diakui, konvoi itu memang mengganggu pengguna jalan lainnya, tetapi mbok ya mengganggunya itu diminimalkan to brooo. Bukan malah minta permakluman untuk berbuat yak-yak’an.  Jadi ingat tulisan dalam stiker yang bunyinya “maaf, konvoi kami mengganggu perjalanan anda”. Sebuah sinyal minta permakluman, tetapi setidaknya ada unsur sopan-santunnya. Ini ibarat tetangga kita “dagdog-dagdog” maku dinding, bikin berisik, tetapi kalau sebelumnya dia sudah ngasih tahu dan minta permakluman bahwasanya nanti bakalan ada suara berisik, kita tentu mahfum dan lebih berlapang dada bukan?

Pengalaman konvoi tetapi dikacangin
Suatu hari kami solo on-road ke sebuah acara jip di Jawa Tengah, yang waktu tempuhnya sekitar 6 jam dari Jogja. Tidak jauh-jauh amat, tapi ya lumayan lama di jalan. Banyak jalan menuju ke sana. Kami memilih lewat, sebut saja: jalur A.

Sesampainya di lokasi, seperti biasa kami kopi darat dengan teman-teman dari klub-klub lain. Setelah itu nenda, istirahat… tidur. Hampir dini hari, 2 jip teman datang menyusul dari Jogja. Mereka lewat jalur B mengikuti petunjuk Google Map yang kata mereka lebih singkat dibandingkan jalur A. Paginya kami grouping, haha-hehe bareng dan menjalani acara.

Singkat cerita, acara pun usai walaupun belum usai-usai amat karena masih ada pembagian door prize. Masih siang, masjo mengajak saya pulang selepas dzuhur supaya tidak terlalu malam sampai di rumah, mengingat besok paginya kami harus glidig.

Perlu dicatat, kami tidak mendambakan pulang bareng alias konvoi dengan 2 jip teman tersebut. Karena yah, sedari awal memang kami dan mereka punya jalan dan jadwal sendiri-sendiri. Tambahan lagi, bukannya berniat sombong atau sok berpengalaman, tapi jauh di lubuk hati saya pribadi nggak yakin mereka “mudeng” konvoi. Ketidakmudengan itu berisiko membuat nggak enak, bahkan menjengkelkan, sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya di atas.

Oke, meskipun demikian, sebagai teman mosok ya kami sampai hati langsung ngacir pulang begitu saja tanpa ada obrolan seandainya mereka mau pulang bareng. Wong ya sudah berada di satu lokasi gitu. Akhirnya kami dan mereka ngobrollah untuk menentukan rute balik ke Jogja. Tidak ada perdebatan sama sekali, apalagi eyel-eyelan, semuanya damai, tenang, santai, dan bahkan saling manut. Masjo manut mereka, mau ngikut jalur mereka. Eh lha merekanya kok manut masjo. Piye to iki…?? Malah mbingungi kabeh. Manutan kabeh.

Dalam hal ini tampaknya semua enggan memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Apakah ini ciri khas orang Indo ya? Ogah memimpin, maunya dipimpin. Ogah memimpin karena takut disalahin, maunya dipimpin karena sah kalau nggrundel. Mereka terdengar pasrah bongkokan, dan bener-bener manut. Baiklah, akhirnya diputuskan lewat jalur A. Everybody deal, sepakat! Perjalanan pulang dengan konvoi mini pun dimulai. Jimny merah kami awalnya memimpin di depan, namun selanjutnya salip-salipan juga dengan 2 jip lainnya, tergantung sikon, dan itu normal.

Baru kira-kira 1 jam perjalanan, di persimpangan jalan kami ambil lurus. Kami yang pada saat itu di posisi paling depan, kehilangan visual 2 jip yang kami suangat yuakin masih berada di belakang. Jimny digas selow, tambah selow, dan sangat selooow agar bisa mereka susul, tapi kok tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti, menepi di bawah pohon untuk menunggu.

Da da da… du du du…. Kayak lagunya Sting. Lima menit berlalu, masih zonk. Kok ya tidak kunjung nongol. Tunggu tunggu kutunggu, nanti nanti kunanti…. Kayak lagunya mbuh sopo kae penyanyi tahun 80-an. Sampai 20 menitan, masih tidak nongol. Waduh…. Jangan-jangan, kenapa-kenapa nih di belakang sana. Duh…. Semoga tidak. Komunikasi hanya lewat henpon saja karena mereka tidak ada yang bawa pesawat HT (handy talkie).

Akhirnyaaaa, “kluthiiik…!” Masuk kabar dari mereka via Whatsapp. Dan apa yang dikabarkan? Ternyata di persimpangan jalan tadi mereka belok kanan, ambil keputusan sendiri lewat jalur B. Alasannya sama seperti yang mereka ceritakan tadi pagi: jalur B lebih singkat!
Saya dan masjo geleng-geleng kepala. Lha tadi yang bilang “manut”,  siapa? Yang bilang “mau pulang bareng”, siapa?
Speechless. Nek oleh misuh saya pingin misuh.

Pengalaman konvoi asyik
Ini adalah konvoi yang menurut saya paling baik, beretika, well prepared, dan cerdas. Saat itu kami dalam perjalanan pergi-pulang dari Jogja ke sebuah acara jip di Pantura bersama rombongan yang totalnya sekitar 25 mobil. Konvoi berbaris rapi dalam satu lajur, dengan kecepatan sedang. Ada sejumlah hal yang saya catat.
1.      Semua membawa radio komunikasi HT, dan difungsikan
Yang belum punya HT pun dipinjami. Semua anggota rombongan jadi mengetahui situasi dan kondisi perjalanan secara live. Semua selalu terpantau, juga saling memantau. Hal ini memberikan rasa dekat satu sama lain dan memberikan rasa tenang dalam perjalanan.
2.      Ada ketua rombongan yang jelas
Dia penanggung jawab rombongan. Orangnya berwawasan luas, tegas, bisa mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang singkat.
3.      Ada pemandu jalan di posisi paling depan
Dia paling hapal medan. Terlebih jika rutenya masih asing bagi semua orang, ya yang paling berpengalaman dalam hal kelayapan pula. Dia harus punya kepercayaan diri yang tinggi untuk memutuskan lanjut atau berhenti, lurus atau belok.
4.      Ada sweeper di posisi paling belakang
Bertugas menjaga jangan sampai ada anggota yang tercecer. Mobilnya berkemampuan cukup mumpuni, dengan perlengkapan recovery yang lengkap.
5.      Ada anggota yang berkualifikasi montir
Berfungsi mengatasi trouble pada mobil yang bisa terjadi sewaktu-waktu saat konvoi maupun sampai di lokasi tujuan.
6.      Sering re-grouping
Mobil yang tertinggal di lampu merah atau terjebak kemacetan selalu ditunggu di depan sambil berjalan pelan-pelan. Jika masih belum kelihatan, ya berhenti menepi dulu. Dan ini terus begitu hingga rombongan konvoi tiba di lokasi acara, dan pulang hingga memasuki kota Jogja, lalu berpencar menuju jalan ke rumah masing-masing.

Setiap ada suatu hal, pemandu menginfokannya melalui HT. Misalnya, mengenai kondisi lalu lintas di depan sana dan antisipasinya:
“Hati-hati, ada truk tronton bermuatan kayu di depan, kita salip saja.”
“Gerobak bakso di kiri, hati-hati!”

Ada pula info dari anggota di tengah:
“Di belakang saya ada Avanza hitam mau nyalip, ayo kasih jalan!”

Begitu pula info dari sweeper:
“Mobil si Jon trouble, perlu ke tepi dulu,” dan ikut menepilah semua anggota rombongan menunggu mobil si Jon diperbaiki, itung-itung sambil me-refresh badan, dan merasakah suasana lokal yang asing.

Kesimpulan
Brosis, dari kisah nyata di atas, saya mengajak dan mengingatkan, jagalah etika dan kekompakan kalau anda sedang berkonvoi. Jalan raya itu milik semua orang, jangan kuasai semua lajur, hargailah pemakai jalan lainnya. Berikan mereka ruang. Adapun konvoi itu merupakan sebuah komitmen. Kalau tidak mau berkomitmen satu sama lain ya tidak usah konvoi-konvoian segala. Berangkat dan pulang rasah ajak-ajak, yo rasah mbarengi nek gur arep nyebahi.

Sebagai penutup, lihatlah konvoi bebek di pinggir sawah. Kita bisa belajar dari mereka soal kerapian, kekompakan, dan ketertiban. Lihat pula kepatuhan mereka pada komandan bebek, sekali sang komandan bilang “wek!” maka anak-anak buahnya pun nyaut “wek-wek-wek!” sambil merapikan barisan walaupun mereka jalan-jalan sendiri tanpa kawalan sang sontoloyo.

Wassalam

~Piet~

Kamis, 21 Mei 2020

Mengapa Beli Jimny


Haiii…
Aje gile, nyaris setahun saya tidak nulis buat blog ini. Kemarin ini rasanya ampuuun deh sok sibuknya saya. Sampai-sampai, mau buat rileks sedikit dengan nulis yang ringan-ringan semacam ini kok takut dosa. Takut mengganggu pekerjaan mburuh saya, gitu maksudnya. So, pada kangen kagak sama eike? Kangen pingin nimpuk kanebo kelees? Huahuahaaa.

Baidewei, saat tulisan ini dibuat, negeri kita tercinta Indonesia dan negara-negara lain nyaris di seluruh dunia sedang dilanda pandemi covid-19 alias virus corona. Tepatnya sejak sekitar Februari lalu. Saya sudah dua bulan lebih bekerja dari rumah, dan masih mempraktikkan karantina mandiri. Kalau tidak urgen, saya tidak keluar rumah. Jika harus keluar rumah pun saya harus pakai masker kain untuk proteksi diri dan orang lain di sekitar saya. Meskipun tampaknya di rumah kayak orang libur tetapi ternyata sungguh penat pikiran dan fisik ini karena pekerjaan daring ternyata lebih menyita pikiran dan tenaga dengan cara yang berbeda. Fiuuhhh… semoga pandemi ini segera berlalu ya. Hidup biar kembali normal lagi. Aamiin.

Yuk mari kita cerita-cerita lagi. Saya mau sedikit flash back tentang mengapa saya dan masjo membeli Jimny, bukan mobil lainnya.

Jimny '88 beratap tanggung, tidak trepes dan tidak konde. Sudah dicat ulang dan dimodif sana-sini.


Jimny tahun ‘88
Jimny saya dibuat pada tahun 1988. Di bulan Mei 2020 ini dia sudah berumur 32 tahun, sudah lumayan tua. Kalau diibaratkan manusia, dia sudah menikah, punya dua-tiga anak, nyicil ini-itu, dan secara kematangan sudah cukup dewasa, walaupun kadang masih sering labil, hihihi. Kebetulan kemarin di awal bulan kami baru saja membayar pajak perpanjangan STNK tahunan. Habis berapa? Donwori brosis, cukup terjangkau kok, yakni sekitar 400-500 ribuan.

 
Kondisi awal pas baru saja dibeli, Mei 2014. Hehe... culun ya? Sangat standar.

Sebagaimana manusia, Jimny saya juga punya sejarah masa lalu yang manis-asem-asin-rame rasanya. Tak ketinggalan juga pahit dan sepet. Ya, namanya mobil tua, tentulah tidak asing  dengan yang namanya batuk-pilek, pegal-pegal, encok, meriang, masuk angin, kesemutan, serta tremor. Kadang beberapa bulan sehat-walafiat, kadang masuk puskesmas sekali sebulan, kadang beberapa kali; sering rawat jalan, pernah opname sampai seminggu lebih; berkali-kali ke sangkal putung; sering ke salon dan tukang pijet juga.

Soal pernah menggelindingkan bannya ke mana saja, dia belum jauh-jauh amat; baru seputar DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Belum pernah keluar pulau. Di tahun-tahun awal, dia sering dibawa blusukan ke kebun, sungai, dan hutan. Sekarang, dia lebih sering marut jalan keluar kota untuk dolan camping ceria bersama sesama spesies Jimny-nya.

Jimny atau Katana sih?
Untuk penyebutan, kadang ada yang bilang Katana, kadang Jimny. Sependek pengetahuan saya, Katana itu identik dengan 4x2, Jimy identik dengan 4x4, meskipun ada pula Katana yang 4x4. Mobil saya sendiri di dalam kap mesin yang masih ori tertulis Super Jimny:, sedangkan di STNK tertulis Katana”.

Saya dan masjo sudah sepakat: belum akan beli mobil kalau belum punya rumah. Yups, kami cukup lama menyandang status “kontraktor”. Setelah cukup kenyang berpindah-pindah tempat tinggal, ya kamar kost, ya rumah kontrakan, ya perumnas sederhana, ya perumahan bersatpam 24 jam, akhirnya di awal tahun 2014 kami bisa menghuni rumah kami sendiri. Alhamdulillah..... Dan alhamdulillah lagi, dana beli rumah plus me-retouch-nya masih menyisakan sedikiiit lembaran merah dua bapak-bapak berpeci. Mulai deh kepikiran beli mobil. Waah nggayaaaa. Wong cuma punya berapa lembar duit aja kok berani ngincer mobil.

Hai Suzuki Satria FU, semoga kamu selalu baik-baik saja di sana dengan juraganmu yang baru ya... hiks, hiks. Motor kesayangan saya yang harus dilego buat "ditambahin rodanya" menjadi empat.

Betul sekali, jumlahnya masih jauh panggang dari api. Jangankan untuk beli mobil baru secara tunai, bahkan untuk DP mobil bekas pun belum cukup. Setelah ditimbang-timbang, untuk tambahan DP, dengan berat hati kami melego sepeda motor kesayangan yang amat sangat terawat, Suzuki Satria FU 150cc. Huaaaa…. Syedih. But, nggak apa-apalah. Seorang teman kami bilang pada masjo saat dia gotong-royong mendorong Jimny kami yang mogok, “Sama-sama Suzukinya, ya mending yang inilah, Pak.” Hehehe… iya deh.

Alasan beli Jimny
Ada sejumlah alasan mengapa kami membeli Jimny, bukan mobil lain.
1. Harganya murah
Yang ini pastilah menjadi alasan pertama: harga. Dengan uang 34,5 juta, kami sudah bisa memboyong kereta besi Jepang bekas ini ke rumah. Kalau jeli dan telaten hunting, brosis bahkan bisa nemu yang lebih murah dibandingkan itu; atau harga sama tapi kondisinya lebih bagus, pun speknya lebih tinggi. Ketika beli di tahun 2014, kami masih culun soal perjipan sehingga harga segitu dikira sudah murah, padahal…… ternyata barangnya amsyong parah, bobrok! Sekilas tampak lumayan waras sih, tetapi ternyata kami seperti baru beli bahan. Bahan yang selanjutnya harus dioprek sana-sini dulu hingga bisa berjalan normal. Tapi tak apalah. Dari situ kami justru jadi belajar banyak hal tentang body, mesin, dan lain-lain.
2. Irit BBM
Ini relatif sih, tetapi bisa dikatakan bahwa konsumsi BBM Jimny tidak boros. 1 liter bisa untuk 10-12 km, bahkan kalo disetel irit bisa lebih dari itu. Waktu masih standar ya bisa belasan km/jam, tetapi saat ini setelan Jimny kami dibuat untuk siap blusukan fun. Artinya, butuh tenaga ekstra dibandingkan hanya untuk berjalan di jalanan aspal datar normal. Dengan teknologi jadul noninjeksi, Jimny kami rata-rata minum Pertamax 9-10 km/liter.
3. Onderdilnya murah
Ya, realistis lah, namanya mobil sampun sepuh itu biasanya banyak penyakitnya. “Banyak” tersebut dikalikan sekian rupiah, sama dengan “banyak rupiah”. Walaupun banyak rupiah, namun itu relatif terjangkau karena sudah ngabehi atau meliputi banyak item. Merogoh kocek tak perlu dalam-dalam, hati pun jadi tenang. Misalnya, kaca spion pecah, gantinya hanya 250 ribu atau bahkan ada yang 45 ribu saja. Demikian halnya dengan urusan modifikasi, harga komponen-komponennya relatif masuk hitungan RAPBNyaik. Kendhil di dapur terlindungi untuk tegak berdiri. So, kalau ada rusak-rusakan, biaya perbaikan atau penggantian onderdilnya tidak membuat kendhil mengkurep.
4. Onderdilnya banyak dan beraneka macam
Apalah artinya murah jika tidak ada barangnya. Walaupun bukan mobil muda tetapi onderdil Jimny ini banyak beredar di pasaran. Onderdilnya juga bisa dipertukarkan dengan mobil jenis lain seperti Suzuki Carry yang banyak beredar sebagai angkot. So, walaupun mobil tua, tenang saja deh bab ketersediaan suku cadang. Rakyat Indonesia pun dari sononya sudah memiliki gen kreatif, rajin bikin ini-itu. Bila sulit ditemukan original SGP-nya, kita bisa membeli buatan lokal (juga Taiwan tentu saja, hehe), dan mobil pun bisa kembali berjalan tanpa harus menunggu lama karena harus inden onderdil terlebih dahulu.
5. Body tebal dan kuat
Dibandingkan dengan mobil-mobil baru keluaran “zaman now” yang tipis, body metal Jimny jauh lebih tebal sehingga relatif lebih menjamin keamanan dan keselamatan penumpang. Sasisnya pun kokoh. Overall kekokohan dan kekuatan Jimy tergambar pada build-nya tersebut *dan ikon badak itu:)*
6. Perbaikannya mudah
Saya bandingkan dengan mobil Eropa teman saya yang sama-sama beli seken, yang dia bilang “canggih”, apa-apanya terkomputerisasi deh pokoknya. Mobil itu seakan menjadi kebanggannya, tapi dia kerepotan sendiri pas mbetulin ini-itu karena harus ditangani oleh mekanik khusus, dengan cara khusus; harus disambungin ke komputer dululah, dan tarif perbaikannya bikin dia geluh. Hadehh! Ente ‘menggali kubur’ente sendiri kalo gitu, Om!
7. Bisa dimodif sesuai selera.
Eksterior dan interior Jimny mudah sekali di-custom sesuai selera. Mobil bisa tampil secara “kita banget”, tergantung berapa dana yang kita punya. Dalam hal ini, brosis perlu waspada sama virus modif Jimny yang bikin ketagihan. Terkhusus untuk para bro, jangan sampai ada aksi ngumpetin nota bengkel aja ya.
8. Ukurannya kecil, kompak
Carport rumah kami kecil mungil, sekitar 4x3 meter saja. Sebelum memutuskan beli mobil apa, kami butuh mengukur-ukur space tersebut dan size para kandidat yang bakal menghuninya. Kami membayangkan, dan selanjutnya memastikan, mobil apa saja yang bisa masuk dengan kondisi pintu pagar bisa ditutup. Kami tidak ingin mengganggu kenyamanan tetangga dengan parkir abadi di jalan depan rumah. Kami juga ingin mobil kami parkir di dalam pagar rumah sehingga keamanannya lebih terjamin. Jimny short pas banget untuk carport kami, bukan yang long.
9. Ada pintu belakang, dan jok belakangnya menghadap ke samping
Ini memudahkan saya memasukkan karya siap pamer yang berukuran besar, juga barang-barang segede Bagong lainnya, seperti kardus-kardus barang dan barang belanjaan.
10. Ground clearance tinggi, aman dari banjir dan jalanan jelek
Ground clearance yang tinggi membuat Jimny aman melibas banjir, aman buat menyeberangi sungai kecil, santai melewati jalanan berbatu atau jalanan jelek lainnya. Terlebih saya dan masjo menyukai memotret ke alam lepas yang kadang lebih seru kalau pakai blusukan, cocik dah.

Saat main di Sumedang dengan sesama spesies badak Jepang, 1 Februari 2020.

Jadi, begitulah ceritanya kenapa we prefer Jimny to any others. Sebagai bonusnya, setelah miara badak Jepang ini ternyata banyak keseruan yang kami dapatkan. Di Indonesia khususnya Jawa, klub jip dan klub Jimny-Katana itu banyak sekali brosis. Nah, acara-acara yang klub-klub tersebut adakan dapat menjadi destinasi main yang asyik, karena dekat dengan alam. Selain itu, kita juga jadi punya banyak teman di mana-mana.

Saran saya bagi brosis yang berniat beli Jimny, cobalah bersabar, ikutilah dulu forum-forum Jimny-Katana di medsos. Pelajari info-info seputar Jimkat agar tidak blank seperti kami dulu, sehingga pas fix beli, uang yang brosis keluarkan benar-benar sebanding dengan kualitas barang yang didapat.

Okey, semoga sedikit tulisan ini bisa bermanfaat bagi brosis yang masih maju-mundur dalam  memutuskan beli Jimny-Katana.

Wassalam.

~Piet~