Hai brosis…
Postingan kedua saya di
tahun ini nih. Sabtu, 23 Mei 2020. Suara takbir berkumandang di luar sana,
ditingkah dengan suara petasan yang bersahut-sahutan. Wuidiih... saya kok mendadak kayak penyair. Kucing saya si Toby pun ikut-ikutan
bersuara ngeang-ngeong minta pintu keluar tetapi tak kami izinkan, karena dia
belum lama pulang dari opname di klinik hewan akibat sakit liver. Masa karantina
dia masih sampai besok Kamis. Ya, kucing pun ternyata bisa sakit liver kayak
manusia.
Baik saya maupun kucing saya sama-sama dalam masa karantina. Ini merupakan malam Lebaran
tahun 2020. Puasa dan Lebaran yang penuh keprihatinan karena ibadah menjadi
serba dibatasi oleh aturan pencegahan virus corona alias copitsaurus. Besok pagi
seharusnya solat Ied, tetapi karena masih dalam masa karantina akibat this f*****g plandemic, tampaknya solat Ied
pada tidak diselenggarakan. Mata saya masih 100Watt, sudah mencoba tidur tetapi
belum bisa, malah jadi pegal nih badan. Jam biologis saya selama sebulan
berpuasa terlebih ditambah work from home
memang seperti ini, melek malam, tidur pagi-siang. Ya uwis, lanjutin melek saja buat ngedit draft yang sudah saya tulis sekian
lama ini saja. Topiknya seputar pengalaman bepergian dengan konvoi. Nah, brosis enjoy atau tidak nih dalam berkonvoi?
Solo on-road
Cukup sering
bepergian solo dengan Jimny tua kesayangan ke luar kota membuat kami (saya dan
masjo) alhamdulillah merasa mulai terbiasa dan lebih pede untuk melakukan perjalanan sendirian, ngaspal solo. FYI, dulu kami
enggan solo on-road karena tidak
pede, takut, dan khawatir keluar dari
zona aman kampung halaman. Tidak pede karena harus berada di jalur yang tidak
familiar, rasanya clingak-clinguk wagu gitu; takut ntar kalau nyasar-nyasar
gimana, dan khawatir kalau ntar mogok gimana cemas kalau ntar diculik orang
gimana. Padahal dengan bersolo-ria itu pelajaran yang didapat demikian
banyak dan bakalan membuat kita terlatih intuisinya, lebih mandiri, dan lebih
pede.
Solo on-road ini awalnya dilakukan dengan
terpaksa, karena saat itu kami ingin main ke sebuah event jip di luar kota, tetapi tidak ada teman sesama jip yang
berminat ke sana. Alasannya: jauh. Ya, saya sih maklum, memang tidak semua
orang suka dolan, terlebih antarkota antarprovinsi. Banyak hal yang harus mereka
pertimbangkan. Jadinya terpaksa deh budhal
dewek. Eeee… ternyata dari keterpaksaan tersebut berubahlah menjadi enjoyment, rasanya nikmat saja solo on-road. Saya pribadi sebagai navi jadi
lebih aware dan lebih banyak belajar.
Ibarat kata, semua panca indera bisa bekerja optimal. Begitu pula yang dirasakan oleh masjo.
Meskipun demikian, kami
tetap tidak menolak jika ada yang mengajak konvoi, tergantung occasion-nya, dan cocok tidaknya dengan
jadwal kami. Ada pengalaman tidak mengenakkan yang membuat kami at least saat ini prefer solo than convoy. Kalau ada yang ngajak konvoi, kami harus
berpikir 2x dulu biar tidak KZL. Anyway, konvoi bagi kami sebetulnya
fine-fine saja, asyik-asyik saja asalkan teman-temannya orang-orang yang mudeng
dan bisa menjaga etika. Baiklah, here are
my stories, my experiences abot convoy.
Pengalaman konvoi terlalu rapat
Ini kami alami ketika
Jimny kami masih 4x2, belum pasang 4x4. Kami konvoi dengan rombongan mobil 4x2
ke daerah pegunungan. Jalanannya naik-turun dan banyak tikungan. Tidak sedikit
pula tanjakan panjang yang menikung patah di tengahnya. Saat itu nyaris semua
mobil belum pernah dolan rame-rame, pun kualitas mesinnya pada tidak oke. Banyak
yang ngempos di tanjakan.
Sebetulnya mobil-mobil sudah
berbaris rapi dalam satu lajur, cakeep. Namun sayang, karena kurang pengalaman
dalam berkonvoi, jarak mobil satu dengan lainnya terlalu rapat. Keadaan itu
masih diperparah dengan tidak familiarnya para sopir dengan jalur tersebut.
Padahal jalurnya berisi tanjakan tinggi yang panjang, yang menikung di
tengahnya, yang menjadikan ancang-ancang mobil kurang maksimal.
Walhasil, ketika ada
satu mobil yang mejen di tanjakan, mobil-mobil lain di belakangnya harus
berhenti mendadak di tanjakan tersebut dengan jarak yang sangat rapat. Ini sangat
riskan, karena mobil-mobil di belakangnya rawan kunduran dengan efek karambol. “Kunduran?”
Ah, apa sih bahasa Indonesianya? Intinya, mobil depan yang drop power rawan lose control
lalu menabrak mundur mobil di belakangnya. Saya dan para navigator pada hectic mencari batu di sekitar jalan
untuk mengganjal ban mobil masing-masing agar tidak melorot. Apalagi Jimny kami
kejatah berhenti tepat di tikungan, yang kemiringannya alamaak…. Ngeri deh!
Karena di sekitar situ banyak jurang.
Gotong-royong pun
dilakukan untuk melancarkan si mobil mejen biar bisa berjalan lagi. Setelah
berhasil, giliran mobil di belakangnya, en
so on hingga giliran Jimny kami. Di bawah terik matahari itu para pengguna
jalan terpaksa harus mengalah dan menepi, menunggu proses evakuasi ini, dan *terpaksa*
memaklumi hal ini. Sungguh tidak nyaman rasanya. Seharusnya, berikan jarak antarmobil
agar jika ada yang mejen, mobil-mobil di belakangnya masih mempunyai cukup
ruang untuk ancang-ancang nge-loop
*makluum, 4x2 ber-cc kecil.*
Pengalaman konvoi acak-acakan
Waktu itu kami hendak
menghadiri sebuah acara jip-jipan di dalam provinsi. Jarak dari rumah cukup
dekat, hanya beda kabupaten saja. Jimny kami berada dalam sebuah rombongan
dengan mobil-mobil yang lain. Ada sekitar 25-30 mobil, mungkin lebih. Yang jadi
masalah adalah, konvoi ini jadi 2 baris, pating
plethot tak karuan, yang menuh-menuhin jalan. Sudah begitu, ada beberapa
yang jalannya zig-zag glelengan,
pindah lajur kiri-ganti lagi lajur kanan, seolah-olah jalan tersebuti milik simbahnya.
Mobil-mobil outsiders seperti dipaksa
maklum dan minggir. Meraka yang di
belakang sampai tidak kebagian ruang untuk nyalip. Ada beberapa yang tampak
marah nglaksonin keras-keras.
Duh… betapa malunya
saya…. isiiiin tenan :(
Meskipun kami
alhamdulillah tahu aturan dan etika, tapi mana orang-orang di luar sana
pikirin? Yang mereka lihat kan Jimny merah kami ikut rombongan konvoi koclok itu. Kami jadi bagian mobil-mobil
koclok juga.
Harus diakui, konvoi
itu memang mengganggu pengguna jalan lainnya, tetapi mbok ya mengganggunya itu
diminimalkan to brooo. Bukan malah minta permakluman untuk berbuat yak-yak’an. Jadi ingat tulisan dalam stiker yang bunyinya
“maaf, konvoi kami mengganggu perjalanan anda”. Sebuah sinyal minta
permakluman, tetapi setidaknya ada unsur sopan-santunnya. Ini ibarat tetangga
kita “dagdog-dagdog” maku dinding, bikin berisik, tetapi kalau sebelumnya dia
sudah ngasih tahu dan minta permakluman bahwasanya nanti bakalan ada suara berisik,
kita tentu mahfum dan lebih berlapang dada bukan?
Pengalaman konvoi tetapi dikacangin
Suatu hari kami solo on-road ke
sebuah acara jip di Jawa Tengah, yang waktu tempuhnya sekitar 6 jam dari Jogja.
Tidak jauh-jauh amat, tapi ya lumayan lama di jalan. Banyak jalan menuju ke sana. Kami memilih lewat, sebut saja: jalur A.
Sesampainya di lokasi, seperti biasa kami kopi darat dengan teman-teman dari klub-klub lain. Setelah
itu nenda,
istirahat… tidur. Hampir
dini hari, 2 jip teman datang menyusul
dari Jogja. Mereka lewat jalur B mengikuti petunjuk Google Map yang kata mereka
lebih singkat dibandingkan
jalur A. Paginya
kami grouping, haha-hehe bareng dan
menjalani acara.
Singkat cerita, acara
pun usai walaupun belum usai-usai amat karena masih ada pembagian door prize. Masih siang, masjo mengajak saya
pulang selepas dzuhur supaya tidak terlalu malam sampai di rumah, mengingat besok
paginya kami harus glidig.
Perlu dicatat, kami
tidak mendambakan pulang bareng alias konvoi dengan 2 jip teman tersebut.
Karena yah, sedari awal memang kami dan mereka punya jalan dan jadwal
sendiri-sendiri. Tambahan lagi, bukannya berniat sombong atau sok
berpengalaman, tapi jauh di lubuk hati saya pribadi nggak yakin mereka “mudeng”
konvoi. Ketidakmudengan itu berisiko membuat nggak enak, bahkan menjengkelkan,
sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya di atas.
Oke, meskipun demikian,
sebagai teman mosok ya kami sampai hati langsung ngacir pulang begitu saja
tanpa ada obrolan seandainya mereka mau pulang bareng. Wong ya sudah berada di
satu lokasi gitu. Akhirnya kami dan mereka ngobrollah untuk menentukan rute balik ke Jogja.
Tidak ada perdebatan sama sekali, apalagi
eyel-eyelan, semuanya damai,
tenang, santai, dan bahkan saling manut.
Masjo manut mereka, mau
ngikut jalur mereka. Eh lha merekanya kok manut masjo. Piye to iki…?? Malah mbingungi kabeh. Manutan kabeh.
Dalam hal ini tampaknya
semua enggan memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Apakah ini
ciri khas orang Indo ya? Ogah memimpin, maunya dipimpin. Ogah memimpin karena
takut disalahin, maunya dipimpin karena sah kalau nggrundel. Mereka terdengar
pasrah bongkokan, dan bener-bener manut. Baiklah, akhirnya diputuskan lewat jalur A. Everybody deal,
sepakat! Perjalanan pulang dengan konvoi mini pun dimulai. Jimny merah
kami awalnya memimpin
di depan, namun
selanjutnya salip-salipan juga
dengan 2 jip lainnya, tergantung sikon, dan itu normal.
Baru kira-kira 1 jam
perjalanan, di
persimpangan jalan kami ambil lurus. Kami yang pada saat itu di posisi
paling depan, kehilangan
visual 2
jip yang kami
suangat yuakin masih berada di belakang. Jimny digas selow, tambah selow, dan sangat selooow
agar bisa mereka susul, tapi kok tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Akhirnya
kami putuskan untuk
berhenti, menepi di bawah pohon untuk menunggu.
Da da da… du du du…. Kayak
lagunya Sting. Lima menit berlalu, masih zonk. Kok ya tidak kunjung nongol. Tunggu
tunggu kutunggu, nanti nanti kunanti…. Kayak lagunya mbuh sopo kae penyanyi tahun 80-an. Sampai 20
menitan, masih tidak
nongol. Waduh…. Jangan-jangan, kenapa-kenapa nih di belakang sana.
Duh…. Semoga tidak. Komunikasi hanya lewat henpon saja karena mereka tidak ada yang
bawa pesawat HT (handy talkie).
Akhirnyaaaa, “kluthiiik…!” Masuk kabar dari mereka via
Whatsapp. Dan apa yang dikabarkan? Ternyata di persimpangan jalan tadi mereka belok kanan, ambil keputusan sendiri lewat jalur
B. Alasannya sama seperti yang mereka ceritakan tadi pagi: jalur B lebih
singkat!
Saya dan masjo geleng-geleng
kepala. Lha tadi yang bilang “manut”,
siapa? Yang bilang “mau pulang bareng”, siapa?
Speechless. Nek oleh misuh saya pingin misuh.
Pengalaman konvoi asyik
Ini adalah konvoi yang
menurut saya paling baik, beretika, well
prepared, dan cerdas. Saat itu kami dalam perjalanan pergi-pulang dari
Jogja ke sebuah acara jip di Pantura bersama rombongan yang totalnya sekitar 25
mobil. Konvoi berbaris rapi dalam satu lajur, dengan kecepatan sedang. Ada
sejumlah hal yang saya catat.
1.
Semua
membawa radio komunikasi HT, dan difungsikan
Yang belum punya HT pun dipinjami. Semua anggota rombongan
jadi mengetahui situasi dan kondisi perjalanan secara live. Semua selalu terpantau, juga saling memantau. Hal ini
memberikan rasa dekat satu sama lain dan memberikan rasa tenang dalam
perjalanan.
2.
Ada
ketua rombongan yang jelas
Dia penanggung jawab rombongan. Orangnya berwawasan luas, tegas,
bisa mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang singkat.
3.
Ada
pemandu jalan di posisi paling depan
Dia paling hapal medan. Terlebih jika rutenya masih asing
bagi semua orang, ya yang paling berpengalaman dalam hal kelayapan pula. Dia
harus punya kepercayaan diri yang tinggi untuk memutuskan lanjut atau berhenti,
lurus atau belok.
4.
Ada
sweeper di posisi paling belakang
Bertugas menjaga jangan sampai ada anggota yang tercecer.
Mobilnya berkemampuan cukup mumpuni, dengan perlengkapan recovery yang lengkap.
5.
Ada
anggota yang berkualifikasi montir
Berfungsi mengatasi trouble
pada mobil yang bisa terjadi sewaktu-waktu saat konvoi maupun sampai di lokasi
tujuan.
6.
Sering
re-grouping
Mobil yang tertinggal di lampu merah atau terjebak kemacetan
selalu ditunggu di depan sambil berjalan pelan-pelan. Jika masih belum
kelihatan, ya berhenti menepi dulu. Dan ini terus begitu hingga rombongan
konvoi tiba di lokasi acara, dan pulang hingga memasuki kota Jogja, lalu
berpencar menuju jalan ke rumah masing-masing.
Setiap ada suatu hal,
pemandu menginfokannya melalui HT. Misalnya, mengenai kondisi lalu lintas di depan
sana dan antisipasinya:
“Hati-hati, ada truk
tronton bermuatan kayu di depan, kita salip saja.”
“Gerobak bakso di kiri,
hati-hati!”
Ada pula info dari anggota
di tengah:
“Di belakang saya ada
Avanza hitam mau nyalip, ayo kasih jalan!”
Begitu pula info dari sweeper:
“Mobil si Jon trouble, perlu ke tepi dulu,” dan ikut menepilah
semua anggota rombongan menunggu mobil si Jon diperbaiki, itung-itung sambil me-refresh badan, dan merasakah suasana
lokal yang asing.
Kesimpulan
Brosis, dari kisah nyata di atas, saya mengajak dan mengingatkan, jagalah
etika dan kekompakan kalau anda sedang berkonvoi. Jalan raya itu milik semua orang,
jangan kuasai semua lajur, hargailah pemakai jalan lainnya. Berikan mereka
ruang. Adapun konvoi itu merupakan sebuah komitmen. Kalau tidak mau berkomitmen
satu sama lain ya tidak usah konvoi-konvoian segala. Berangkat dan pulang rasah ajak-ajak, yo rasah mbarengi nek gur
arep nyebahi.
Sebagai penutup,
lihatlah konvoi bebek di pinggir sawah. Kita bisa belajar dari mereka soal
kerapian, kekompakan, dan ketertiban. Lihat pula kepatuhan mereka pada komandan
bebek, sekali sang komandan bilang “wek!” maka anak-anak buahnya pun nyaut “wek-wek-wek!”
sambil merapikan barisan walaupun mereka jalan-jalan sendiri tanpa kawalan sang
sontoloyo.
Wassalam
~Piet~
BalasHapusNumpang promo ya Admin^^
ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.CLUB :-*
add Whatshapp : +85515373217 ^_~