Ledre itu telah membawa saya dan masjo muter-muter tipis-tipiiiis
Jateng-Jatim awal Juli lalu. Buat brosis yang belum tahu ledre, mari saya
bilangin: si ledre ini adalah nama makanan, bentuknya gulungan yang satu trah
dengan kue semprong, rasanya manis-gurih kombinasi santan dan pisang, dan renyahnya
keterlaluan, digoncang sedikit saja remuklah dia kayak hatikuu. Semprong
‘cengeng’ gitu deh, kata saya. Sebelumnya, saya sempat berniat beli daring saja
di e-commerce (Shopee), namun hal ini
saya urungkan karena melihat banyaknya review pembeli yang kecewa ledrenya dalam
kondisi hancur ketika sampai di tangan. Wah, tidak nikmat dong makan ledre
remuk, wong yang bikin nikmat itu
sensasi “kres”-nya ketika digigit.
Jogja-Ngawi
Obrol-punya obrol, akhirnya saya dan masjo sepakat buat menggelindingkan
ban Jimny ‘88 ke ‘kerajaan ledre’ di Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur; sekalian
piknik ke Bledug Kuwu, Kradenan, Grobogan, Jawa tengah karena saya penasaran,
sedari cilik indhil-indhil sudah mendengar
keberadaan objek wisata ini tapi belum pernah ke sana jua hingga setua ini. Selain
itu, kami juga penasaran dengan rute Padangan-Cepu-Blora-Purwodadi yang belum
pernah kami lewati. Kebetulan pula ini tanggal muda, hehehe. Plus, saya sejak kopat kopit saurus ini tidak piknik ke
mana pun. Jenuh work from home, mental
ini berasa tertekan, ide-ide mentok, otak butuh penyegaran….. butuh piknik.
Baik, sehari sebelumnya kami sudah deal,
rute sudah disepakati. Pertama, ke Bledug Kuwu terlebih dahulu. Dari situ langsung
menuju Padangan, selanjutnya pulang melewati Cepu- Purwodadi. Jadi, rutenya:
Jogja-Klaten-Solo-Klaten-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu- warung nasi
Padang langganan di Purwodadi- -Solo-Klaten-Jogja. Eeehh lha tau-tau pas saya kriyip-kriyip bangun tidur, masjo
langsung bilang, “Adik, ledre disik wae,
bar kui lagi Bledug Kuwu.” Hedehh, dalam kondisi nyawa yang belum ngumpul sepenuhnya,
otak masih booting, kontan dahi saya
berkerut. Dapat ilham apa nih anak dalam tidurnya, kok tiba-tiba mengubah planing. Yo wis, saya pun manut saja tanpa berargumen. Dasarnya saya lagi gabut.
Jadi, rutenya fix berubah
menjadi: Jogja-Klaten-Solo-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu-warung nasi
Padang langganan di Purwodadi-Solo-Klaten-Jogja.
Tangki bensin sudah dipenuhi kemarin sore. Jumat 3 Juli 2020, pukul
05.14 WIB, sehabis solat subuh, ban Jimny mulai menapak aspal keluar rumah,
keluar DIY. Aseeek, akhirnya kita pikniiiiik. You know kan brosis, kalau hati kita hepi, imunitas akan meningkat,
kita pun menjadi lebih sehat, dan penyakit-penyakit bakalan minggat. Memang betul
kata pak ustad, setelah nikmat iman, nikmat apa lagi yang lebih utama selain
nikmat sehat? Begitulah konsep hidup kami. Jangan sampai hidup tidak rileks
karena kurang refreshing, lalu
penyakit ini-itu menghinggapi, naudzubillah.
Perjalanan sangat lancar, kondisi jalanan relatif lebih sepi daripada
biasanya. Sampai Kartasura sekitar 1 jam 15 menitan. Tumbeeen, biasanya dua jam
bahkan lebih. Lalu kami memilih mlipirin kota Solo lewat ring road, agar terhindar dari kemacetan kota. Tampak sebuah pabrik
besar (entah pabrik apa) ramai dengan karyawan yang baru datang. Saya ingat,
tak begitu jauh dari rumah pun ada pabrik yang sejak plandemi ini tampak tetap
ramai dengan karyawan, tidak libur.
Memasuki Kota Sragen, jalanan cukup ramai normal. Bablas ke arah Ngawi
jalanan berasa sepiiii. Bahkan di Hutan Mantingan Ngawi yang terkenal akan
polisinya yang galak-galak tegas-tegas itu *hehe, horas Pak Pol!* yang
biasanya antrian kendaraan bisa sepanjang “Carnaval Rio” karena takut ketilang
kalau menginjak garis marka lurus, kali ini kok mamring bin sepi. Hanya ada jip kami, satu-dua mobil pribadi, dan
beberapa truk box. Heiii… kami baru
nyadar juga, sliwar-sliwer. Ini hanya ketemu dua. Sejurus kemudian saya ngeh,
“Owalah, Mas…. Ini kan yang masih gencar diberitakan oleh media mainstream masih masa kopit.
Pantesan jalanan dari tadi sepi ya. Wong
orang-orang masih dihimbau untuk tetap stay
at home.” Anak sekolah dan anak kuliahan pun masih pada libur. Meskipun
demikian, selain pabrik, saya lihat pasar-pasar tetap ramai. Lha iye, edan po nek sepi… kita mau makan apa? Jadi
teringat gempa Bantul Jogja tahun 2006, cari sayur dan bahan makanan susahnya
minta ampun karena warung di mana-mana tidak ada yang buka. Pasar sepiiii.
Banyak warga yang makan dengan meramban apapun yang tumbuh di kebun (sebelum
bantuan datang). Butuh beli batu batre karena listrik mati berhari-hari, tapi
semua toko kehabisan barang. Ibarat kata, percuma saja punya duit, kalau tidak
bisa beli barang. Ekonomi lokal lumpuh.
Dicegat Polisi di Ngawi
Lepas
Terminal Kertonegoro, Ngawi, saya tidak ngeh nama daerahnya, kami dicegat
Polisi, disuruh mlipir kiri melewati semacam tenda posko. Di situ tampak
beberapa bapak-bapak Polisi dan bapak-bapak berpakaian rompi semacam satgas
gitu, yang mengarahkan kamera hapenya ke jip kami. Jip distop, seorang Pak
Polisi yang tampak senior dan berwibawa mendekati jendela masjo di posisi sopir.
Kami bukalah jendela kami masing-masing. Pak Pol menyapa dengan ramah *aseeek*,
meminta kami memakai masker dulu, kemudian menanyakan kami dari mana dan mau ke
mana.
Kami : “Ke Padangan,” jawab kami hampir serentak.
PP : “Emmmm emmmm…. Padangan?”
Kami : “Bojonegoro,” terdengar juga suara bapak
‘satgas’ ikut menjawab.
PP : “Nanti Kota Ngawi langsung saja, Pak,
jangan berhenti.”
Kami : “Oww… kenapa, Pak?”
PP : “Ngawi zona merah.”
Kami : “Oh… iya, Pak.”
PP : “Selamat melanjutkan perjalanan,
hati-hati.”
Kami : “Nggih,
Pak. Terima kasih.”
Dari ‘jagongan’ singkat itu ada beberapa
kesimpulan kecil:
1.
Untung nggak ditanya mau ngapain. Lucu saja kalau kami
bilang mau beli ledre. Palingan beliau nggak percaya, jauh-jauh dari Jogja kok
cuma mau beli ledre…. Kurang gawean po
yo?
2.
Aneh, Padangan itu kota ramai pertama arah utara
setelah Ngawi, kok beliau (yang saat itu sedang dinas di Kota Ngawi) sampai
tidak tahu. Ah, mungkin do’i ini kapolsek setempat, atau, kapolda Jawa Timur,
hehe… atau pejabat baru di kepolisian setempat gitulah, jadi belum hapal
geografis sekitar. Ndilalah tadi saya dan masjo tidak sempat
memperhatikan atribut identitas dan kepangkatannya. Intinya, saya maklum.
3.
Owalaaah… sekali lagi kami baru tersadar lagi kalau
ini masih masa kopit. Kok ya kami berasa normal-normal saja. Dasarnya,
pemerintah memang sudah menyatakan ini masa new
normal atau normal baru dengan segala protokol kesehatannya.
4.
Bapak Polisi itu ramah dan tampak wibawanya, saya
senang dengan petugas kepolisian macam begini. Kesannya mengayomi, bukan
menakut-nakuti kayak polisi Londo atau Jepang zaman simbah dulu.
5.
Jip kami dari kejauhan tampak sebagai mobil pribadi,
dan mungkin tampak asing, ah tapi mana kelihatan plat AB-nya dari jarak puluhan
meter? Yang jelas, warnanya abang
melok-melok, ketok. Truk-truk box
berplat luar Ngawi tidak dicegat, mungkin sudah setiap harinya mereka wara-wiri,
jadi sudah dianggap sebagai common
people, not outsiders, yang sudah mengerti kondisi wilayah tersebut.
6. Sekali lagi, perjalanan melalui
Ngawi ini memberikan ‘cerita kecil’ bagi perjalanan kami. Brosis baca saja postingan
“Naik Jimny dari Jogja ke Bojonegoro” untuk mengetahui ‘cerita
kecil’ lainnya tentang Ngawi bagi kami. Hanya cerita kecil kok.
Ngawi-Padangan, Owalah… Ledre!
Kami pun
melanjutkan perjalanan. Dari Kota Ngawi jip belok ke kiri (utara) ke arah
Padangan. Masjo kebelet pee, kemudian
berhenti di pom bensin kanan jalan. Pas nyebrang, seekor badak Jepang abu-abu plat
L dari belakang nglakson-nglakson. Yo’ iiii broo, sumonggo duluan. Palingan
nanti kesusul di jalanan yang jelek itu, hehehe. Dari selepas Sragen tadi
memang ada Jimny di belakang kami. Ya, sesama Jimny, khususnya Jimny yang
tampak “macak” biasanya saling tegur
sapa di jalan dengan klakson atau lampu dim.
Kalau ada yang tidak, biasanya itu yang nyopir perempuan, orang tua ‘rumahan’,
atau orang yang minjem Jimny milik temannya.
Tidak seperti
Ngawi ke arah timur, jalan ke arah utara ini aspal halus. Dua tahun yang lalu,
tepatnya pada Februari 2018, jalan ini hancur bukan main. Bahkan kami masih
ingat salah satu tikungannya dulu kayak kubangan kebo. Kali ini, saya yang sudah
menyiapkan diri buat ajrut-ajrutan lagi melewati jalan ini, ternyata jadi
nyantuy. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah
setempat, eh pemeritah pusat ya? Ini kan jalan negara, yang menghubungkan dua
provinsi yakni Jatim-Jateng.
Baidewei, saya
tidak melihat bus-bus AKAP sebagaimana dua tahun yang lalu itu. Ya, mungkin
karena kopit tadi itu, jadi mereka belum narik. Baidewei lagi, Jimny abu-abu
itu pun sudah tidak tampak sama sekali. Wis
bablas angine karena bisa tancap gas di jalan mulus ini, lagian tadi saya
lihat sekilas bannya pakai yang standar (bukan ban kasar/besar), tambah ngacirlah
dia, hehe. Tidak terkejar sebagaimana perkiraan saya tadi.
Kemulusan aspal
berubah menjadi cor semen/beton mulai kira-kira separuh lebih perjalanan dari
pom bensin tadi. Saya tidak tahu nama daerahnya. Di postingan saya dua tahun
yang lalu saya bercerita bahwa jalanan tersebut sedang ada proyek betonisasi.
Sekarang sudah jadi. Ya iyalah, wong sudah lama. Saya sendiri lebih menyukai
aspal ketimbang semen karena aspal lebih mulus, tidak ada sambungannya.
Sambungan beton terasa jedug-jedug di roda, nggak ngenaki buat berkendara, dan
memperlambat laju kendaraan. Warna putihnya bikin efek silau di mata, juga menambah
rasa panas-sumuk karena bermandikan pantulan
cahaya matahari.
Alhamdulillah, sekitar
pukul 10.15 sampai juga di Padangan. Saya langsung mborong ledre dengan
kalapnya, hihihi, dendam telah terbalaskan. Selain buat dimakan sendiri,
niatnya sebagian buat tetangga, teman-teman mburuh, dan teman mbengkel. FYI, satu kotak ledre harganya Rp18.000.
Isinya 2 plastik yang masing-masing berisi 15 batang. Jadi, satu kotak berisi
30 batang.
Di jalan, saya
buka satu kotak. Dari plastik pertama yang berjumlah 15 batang itu blas tidak
sebatang pun yang terasa pisangnya. Padahal kami ingat betul belinya di tempat
yang sama dengan dua tahun yang lalu, namun rasa ledrenya sudah berbeda.
Sama-sama ledre pisang original, tetapi kali ini rasa pisangnya saya cari-cari
kok tidak terasa. Yaaa, sekedar kayak kue semprong yang ekstra tipis saja, atau
kayak kue leker kosongan. Saya coba membuka plastik kedua, masih dari kotak
yang sama… eh, lumayan ada rasa pisangnya tapi walaaah minimalis banget, kayak
cuma pakai esens pisang. Padahal di kotaknya ada pernyataan klaim “lebih banyak
pisangnya”. Mbuh kok dekadensi begini
ya? Sudah jauh-jauh kudatangi, tapi kau mengecewakanku. Owalah… ledre!
Padangan-Bledug Kuwu dan Jalan Ngetril
Pukul 10.31 jip
sudah melaju lagi, langsung menuju Bledug Kuwu. Dari kota kecil Padangan ke
arah kiri ini tak berapa lama berselang ketemu dengan gapura selamat datang
Jawa Tengah. Hei, sudah masuk Kabupaten Blora saja. Kemudian maju sedikit lagi untuk
melintasi jembatan Sungai Bengawan Solo. Di sisi kirinya terbentang dua
jembatan kereta api, tampaknya ini jalur double
track; di sisi kanan tampak sebuah jembatan tua yang aspalnya sudah
bolong-bolong parah, dan besinya karatan, tetapi fotogenik! Terlebih di bawah
sana saya lihat sebuah sampan jadul yang tampaknya dipakai untuk mencari pasir.
Kalau kena cahaya pagi, saya yakin pemandangan ini akan indah banget, romantic-nostalgic. Jadi ingin hunting
foto ke sini kapan-kapan, semoga.
Padangan dan
Cepu ternyata gandengan just like close
friends. Yang saya lihat, dari keramaian ke keramaian nyambung terus tanpa
jeda persawahan atau hutan. Sekitar 5 menit (mungkin kurang) saja dari toko
ledre tadi jip sudah sampai Cepu. Setelah itu, rute kami: Kedungtuban-Randublatung-Doplang-Sulursari-Gabus-Bledug
Kuwu. Jip ngisi Pertamax Rp200 ribu satu kali di pom bensin kiri jalan. Maaf brosis,
saya lupa nama daerahnya.
Secara umum, jip
dominan melewati jalan-jalan kabupaten yang di kiri-kanannya tampak
berselang-seling perkampungan dan persawahan, ditingkah pasar dan toko-toko
kecil atau ruang usaha jasa. Tidak ada pemandangan alam yang memukau hati saya.
Rata-rata hamparan biasa saja. Kamera pun sama sekali tidak keluar untuk satu
bidikan pun. Yang lumayan menarik, rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan
yang rata-rata terbuat dari kayu. Ah, jelas saja, wong daerah sekitar sini (Bojonegoro, Blora, Purwodadi) terkenal
akan kekayaan alamnya berupa kayu jati. Ketinggian terasnya rendah amat, khas
rumah joglo zaman dulu. Untuk orang dengan tinggi badan 180cm tampaknya harus
merunduk untuk melewatinya. Angan saya melayang ke rumah simbah di tahun 80’an
sebelum direnovasi. Sayang, kini rumah itu sudah “dimoderniasi” dengan tembok
semen, bentuknya pun sudah common
seperti rumah-rumah tetangga. Nothing
special anymore.
Saya sudah
mbatin sebelumnya, bahwa nanti banyak melewati jalanan beton. Kan Jawa Tengah sedang
getol betonisasi. Jadi, sedari rumah saya sudah nyiapin mental bakalan
menikmati perjalanan yang tidak nikmat, eh… maksudnya, merasakan perjalanan
yang tidak nyaman. Dan betul saja. Jalanan didominasi oleh beton nangka semen yang bikin silau mata, apa lagi di siang
hari yang terik. Sungguh tidak enak… dan efek panas pantulan sinar matahari
menambah tidak nyaman kabin jip. AC sudah dipolkan pun masih keringetan nih
badan. Terlebih, sambungan antarsegmen beton membuat efek “jeglig-jeglig” di
dalam kendaraan, nggak enaaak. Beda
dengan aspal yang tanpa sambungan, muluuus saja tanpa efek hambat. Yang bikin
ilfil, banyak sekali ruas jalan yang gronjalan, bolong-bolong, rusak parah
cukup panjang dan lebar, yang memperlambat jalannya kendaraan, mana debunya
tebal pula…. kasihan para pengendara roda dua. Anehnya, banyak ruas beton yang
sudah rusak dan tampak ditambal, dan nambalnya dengan aspal. WTF! Lha, geneo isih butuh aspal. Kalau memang aspal itu dipandang lebih
baik, lha kenapa tidak aspalisasi saja seperti sedia kala? Ah embuhlah.
Jip yang
waras-waras saja sedari rumah, jadi mengeluarkan suara berisik “klotak-klotek”.
Suara ini semakin lama semakin keras dan semakin sering terdengar. Sumbernya
dari arah kiri kursi navi a.k.a saya. Pikir saya, itu dari daerah pintu. “Biasa…
barang tuo, Mas,” ucap saya
menenangkan masjo yang semakin gusar. Saya pun sebenarnya sudah gusar dari
tadi, tapi ya mau gimana lagi. Ntar deh dicek di bengkel, apa penyebab
suaranya. Nggak nahan dengan gangguan itu, sampai di jalan yang diapit hamparan
sawah, kami berhenti. Cek punya cek, ternyata ketemu! Kursi saya! Jadi, bagian
kaki ada sekrup yang kendor, nyaris lepas. Keesokan harinya pas dibawa ke
bengkel, mas montir bilang bahwa ada bagian lantai yang retak sekitar 2 mm. Edyan! Gara-gara jalan jelek. Solusinya, dibuatkan
dudukan sekrup baru, biar kenceng. Masalah alhamdulillah tersolusikan.
Okei, kembali ke
jalan *yang jelek*. Beberapa jembatan, catet: beberapa, artinya lebih dari satu
jembatan, bahkan mengajak jip jumping
bak permainan akrobat. Serius….! Jadi, di ujung dan pangkal jembatan itu
kondisi jalannya lebih rendah dan curam. Pas jip mau masuk, kaget deh saya….
kok penuh hentakan. Tambah kaget lagi pas mau keluar jembatan, jalan mendadak
turun-patah. Jip pun terbang ulalaaa….. dan mendarat dengan keras tanpa ampun. Wedyaaan! Balung iso remek nek ngene iki. Pengalaman
kecut dengan jembatan pertama barusan, maka ketika hampir memasuki
jembatan-jembatan lainnya, saya sebagai navi selalu mengingatkan masjo untuk
pelan-pelan saja. Jangan sampai terbang lagi nih jip. Sekali lagi, kasihan para
pengendara roda dua khususnya sepeda motor, bisa terbang dan jatuh terguling
mereka, terlebih kalau mereka perdana melalui jalan tersebut. Tahun 2020 brooo,
era milenia saja sudah lewat pakai banget. Kok ini di Jawa, yang notabene
banyak pelintasnya, di tengah keramaian ini, masih ada (dan banyak) jalan raya
yang amsyong gini.
Fix deh, jalur ini saya black list. Tidak berniat lewat sana lagi *kalau tidak amat sangat kepepet*.
Long story
short, jam 12.30 kami sampailah di Bledug Kuwu. Alhamdulillah, akhirnya saya
bisa menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri fenomena njeblug-nya tanah dari dalam bumi itu, meskipun hanya dari jauh, dari
dalam kendaraan. Pun jeblugan-nya
kecil-kecil saja. Saya baca di Google dan nonton di Youtube, katanya memang ada
letupan yang kecil dan besar. Dan tampaknya, untuk melihat letupan yang besar,
kami harus jalan kaki masuk ke lokasi, jip harus diparkirkan. Ah, saya males
banget turun. Masjo pun setali tiga uang. Lha panasnya minta ampun kayak di
gurun! *padahal belum pernah ke gurun*. Saya migren pula, dan tampaknya darah
rendah juga kumat. Wadidaw… komplit!
Situs ini cukup luas menghampar di dataran yang dikelilingi pagar kawat
berduri. Sayang, sebagian kawat tersebut sudah putus dan tampak tak terurus. Dari
kejauhan saya lihat ada dangau-dangau untuk menyaksikan the ‘jeblugan’ show, juga ada beberapa menara yang tinggi bagi
pengunjung yang ingin menyaksikannya dari atas. Di pinggir-pinggir pagar dekat
parkiran banyak pedagang makanan dan minuman, khususnya degan. That’s all yang bisa saya ceritakan. Saya
mbatin, objek wisata alam yang langka ini kalau berada di Singapura jadinya
kaya apa ya? Hmmm…. Mungkin akan sangat
cantik, tidak pernah sepi pengunjung, dan menjadi ikon wisata negeri itu. Lha wong parit cuilik saja bisa jadi tempat
yang keren dan menjual je.
Nasi Padang yang Berubah
Akhirnya, jip
putar balik dan cabut. Kali ini kami menuju warung Padang yang biasanya kami mampiri
kalau bepergian ke Jawa Tengah sisi timur. Kebetulan, sama dengan kasus ledre
yang saya idamkan tadi, saya pun sudah sejak beberapa bulan lalu kangen pingin
maem masakan warung ini yang cocok di lidah saya. bahkan, terbilang ‘recommended’.
Sebelum sampai warung, kami solat jamak-qoshor Dhuhur-Ashar dulu di pom
bensin kiri jalan di wilayah Kota Purwodadi, sekalian noilet. Kondisi
mushollanya siang itu sangat panas. Ada kipas angin berdiri, tapi saya baru
ngeh seusai solat. Jadi, solat saya tadi kurang khusyuk karena badan kepanasan.
*Mending, Piet…. di neraka nanti nggak akan ada tubuh yang tahan dengan
panasnya, kalau kamu nyengaja nggak solat*.
Seperti kata GN’R, “Nothing last
forever…. Even cold November rain,” nasi Padang kali ini pun sudah berubah,
tidak lagi recommended seperti yang
dulu. Dalam kepala ini langsung terngiang-ngiang saja lagu tahun 80an “Aku
masih Seperti yang Dulu” kesukaan bulik-bulik saya yang kala itu masih pada
remaja, Dian Piesesha penyanyinya.
Padahal, menu yang saya pesan sama, lauk ayam goreng. Begitu pula masjo
yang selalu setia dengan telur dadar. Ayamnya keras dan mengecil, dengan bumbu
yang tidak segurih dulu. Sambel ijonya seuprit, hedehh, kok jadi pelit gini
sih. Sayur dan kuahnya tidak spicy
lagi. Dan, baru kali ini saya maem nasi Padang yang jemek, kaya bubur karena masaknya kebanyakan air. Jadi, bisa
kebayang kan. Jauh-jauh dikangenin, tapi dia sudah berubah, huhuu. Entahlah,
kok bisa begini, apa tukang masaknya kurang perhatian, minta gaji naik tapi
nggak dikasih, sedang bad mood? Ataukah,
manajemennya sudah ganti? Entah.
Purwodadi-Solo
Kami
tinggalkan warung sekitar jam 14.00 untuk melanjutkan perjalanan, pulang,
melalui jalur Purwodadi-Solo. Kami terakhir lewat sini pada
Juli 2018, kondisi jalan ini masih aspal ambyar yang sukses membuat kendor
stir. Sekarang sudah diperbaiki dengan betonisasi, namun sebagian beton sudah rusak
dan berimbas pada gronjalan lagi. Sebagian
juga tampak sudah ada upaya perbaikan yakni ditambal dengan aspal, sama seperti
jalan-jalan selepas Cepu tadi. Dan sekali lagi, saya harus menahan
ketidaknyamanan berkendara di jalan beton itu.
Suasana jalan ramai-lancar, sesekali macet dan harus ngantri. Banyak
truk segede Bagong yang membawa muatan berat. Heran saya, jalan kayak gini kok
yang lewat kendaraan-kendaraan ‘heavy
metal’. Iya memang, mereka limpahan dari pantura yang mau ke Jawa bagian dalam. Tapi, maksud saya, kalau yang lewat itu "simbol-simbol perekonomian" macam begitu, ya selayaknyalah jalan dibuat halus mulus agar tidak wasting time. Bukankah dalam dunia ekonomi kita sudah hapal jargon time is money?
Tidak ada yang bisa saya nikmati di jalur ini. Beruntung, saya banyak tertidurnya. Tahu-tahu jip sudah sampai Solo, di perlintasan kereta api yang tadi pagi kami lewati dari arah sebaliknya itu. Maaf lagi, saya nggak tahu nama daerahnya.^^
Tidak ada yang bisa saya nikmati di jalur ini. Beruntung, saya banyak tertidurnya. Tahu-tahu jip sudah sampai Solo, di perlintasan kereta api yang tadi pagi kami lewati dari arah sebaliknya itu. Maaf lagi, saya nggak tahu nama daerahnya.^^
Solo-Jogja
Alhamdulillah memasuki Kota Solo, kemudian Klaten, dan masuk wilayah DIY jalanannya notabene aspal mulus kabeh. Sangat signifikan perbedaan rasa berkendaranya. Badan lebih anteng, less guncangan. Sebagai warga DIY, saya berharap DIY terus mempertahankan jalan beraspalnya. Syukur-syukur dibikin lebih mulus lagi mengingat Jogja itu destinasi wisata utama wisnu. Tidak ikut-ikutan betonisasi. Asli, jalan beton itu tidak enak. Beda dengan beton rebus.
Jalur ini ramai lancar, terkadang sedikit macet. Tidak ada hal menarik untuk saya ceritakan karena saya banyak ketiduran pula, hehehe, turuuu wae. Biarin saja si sopir melek sendirian, sudah hapal jalan kok. Sampai di rumah pukul setengah enam sore, pas adzan Magrib. Jadi, total waktu tempuh dari berangkat hingga sampai rumah 12 ¼ jam. Total bensin Pertamax yang dibeli Rp500 ribu, dua kali ngisi, dengan harga Pertamax Rp9.000/liter.
Jalur ini ramai lancar, terkadang sedikit macet. Tidak ada hal menarik untuk saya ceritakan karena saya banyak ketiduran pula, hehehe, turuuu wae. Biarin saja si sopir melek sendirian, sudah hapal jalan kok. Sampai di rumah pukul setengah enam sore, pas adzan Magrib. Jadi, total waktu tempuh dari berangkat hingga sampai rumah 12 ¼ jam. Total bensin Pertamax yang dibeli Rp500 ribu, dua kali ngisi, dengan harga Pertamax Rp9.000/liter.
Dolan ini
tadi lebih banyak menyebalkannya dibanding menyenangkannya. Mulai dari kondisi
jalan yang remuk, jok yang berisik, ledre yang ingkar janji, sampai nasi Padang
yang sudah tak seperti yang dulu. Meskipun demikian, selalu ada hal-hal yang
bisa saya ambil dan pelajari. Wis, ngono
ae yo postingan kali ini, simpulno
dewe. Sepurane, ra ono potone. Hiks.
Wassalam.
~Piet~
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusbosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~