Jumat, 24 Juli 2020

Naik Jimny Jogja-Bledug Kuwu


Ledre itu telah membawa saya dan masjo muter-muter tipis-tipiiiis Jateng-Jatim awal Juli lalu. Buat brosis yang belum tahu ledre, mari saya bilangin: si ledre ini adalah nama makanan, bentuknya gulungan yang satu trah dengan kue semprong, rasanya manis-gurih kombinasi santan dan pisang, dan renyahnya keterlaluan, digoncang sedikit saja remuklah dia kayak hatikuu. Semprong ‘cengeng’ gitu deh, kata saya. Sebelumnya, saya sempat berniat beli daring saja di e-commerce (Shopee), namun hal ini saya urungkan karena melihat banyaknya review pembeli yang kecewa ledrenya dalam kondisi hancur ketika sampai di tangan. Wah, tidak nikmat dong makan ledre remuk, wong yang bikin nikmat itu sensasi “kres”-nya ketika digigit. 

Jogja-Ngawi
Obrol-punya obrol, akhirnya saya dan masjo sepakat buat menggelindingkan ban Jimny ‘88 ke ‘kerajaan ledre’ di Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur; sekalian piknik ke Bledug Kuwu, Kradenan, Grobogan, Jawa tengah karena saya penasaran, sedari cilik indhil-indhil sudah mendengar keberadaan objek wisata ini tapi belum pernah ke sana jua hingga setua ini. Selain itu, kami juga penasaran dengan rute Padangan-Cepu-Blora-Purwodadi yang belum pernah kami lewati. Kebetulan pula ini tanggal muda, hehehe. Plus, saya sejak kopat kopit saurus ini tidak piknik ke mana pun. Jenuh work from home, mental ini berasa tertekan, ide-ide mentok, otak butuh penyegaran….. butuh piknik.

Baik, sehari sebelumnya kami sudah deal, rute sudah disepakati. Pertama, ke Bledug Kuwu terlebih dahulu. Dari situ langsung menuju Padangan, selanjutnya pulang melewati Cepu- Purwodadi. Jadi, rutenya: Jogja-Klaten-Solo-Klaten-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu- warung nasi Padang langganan di Purwodadi- -Solo-Klaten-Jogja. Eeehh lha tau-tau pas saya kriyip-kriyip bangun tidur, masjo langsung bilang, “Adik, ledre disik wae, bar kui lagi Bledug Kuwu.” Hedehh, dalam kondisi nyawa yang belum ngumpul sepenuhnya, otak masih booting, kontan dahi saya berkerut. Dapat ilham apa nih anak dalam tidurnya, kok tiba-tiba mengubah planing. Yo wis, saya pun manut saja tanpa berargumen. Dasarnya saya lagi gabut.

Jadi, rutenya fix berubah menjadi: Jogja-Klaten-Solo-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu-warung nasi Padang langganan di Purwodadi-Solo-Klaten-Jogja.

Tangki bensin sudah dipenuhi kemarin sore. Jumat 3 Juli 2020, pukul 05.14 WIB, sehabis solat subuh, ban Jimny mulai menapak aspal keluar rumah, keluar DIY. Aseeek, akhirnya kita pikniiiiik. You know kan brosis, kalau hati kita hepi, imunitas akan meningkat, kita pun menjadi lebih sehat, dan penyakit-penyakit bakalan minggat. Memang betul kata pak ustad, setelah nikmat iman, nikmat apa lagi yang lebih utama selain nikmat sehat? Begitulah konsep hidup kami. Jangan sampai hidup tidak rileks karena kurang refreshing, lalu penyakit ini-itu menghinggapi, naudzubillah. 

Perjalanan sangat lancar, kondisi jalanan relatif lebih sepi daripada biasanya. Sampai Kartasura sekitar 1 jam 15 menitan. Tumbeeen, biasanya dua jam bahkan lebih. Lalu kami memilih mlipirin kota Solo lewat ring road, agar terhindar dari kemacetan kota. Tampak sebuah pabrik besar (entah pabrik apa) ramai dengan karyawan yang baru datang. Saya ingat, tak begitu jauh dari rumah pun ada pabrik yang sejak plandemi ini tampak tetap ramai dengan karyawan, tidak libur.

Memasuki Kota Sragen, jalanan cukup ramai normal. Bablas ke arah Ngawi jalanan berasa sepiiii. Bahkan di Hutan Mantingan Ngawi yang terkenal akan polisinya yang galak-galak tegas-tegas itu *hehe, horas Pak Pol!* yang biasanya antrian kendaraan bisa sepanjang “Carnaval Rio” karena takut ketilang kalau menginjak garis marka lurus, kali ini kok mamring bin sepi. Hanya ada jip kami, satu-dua mobil pribadi, dan beberapa truk box. Heiii… kami baru nyadar juga, sliwar-sliwer. Ini hanya ketemu dua. Sejurus kemudian saya ngeh, “Owalah, Mas…. Ini kan yang masih gencar diberitakan oleh media mainstream masih masa kopit. Pantesan jalanan dari tadi sepi ya. Wong orang-orang masih dihimbau untuk tetap stay at home.” Anak sekolah dan anak kuliahan pun masih pada libur. Meskipun demikian, selain pabrik, saya lihat pasar-pasar tetap ramai. Lha iye, edan po nek sepi… kita mau makan apa? Jadi teringat gempa Bantul Jogja tahun 2006, cari sayur dan bahan makanan susahnya minta ampun karena warung di mana-mana tidak ada yang buka. Pasar sepiiii. Banyak warga yang makan dengan meramban apapun yang tumbuh di kebun (sebelum bantuan datang). Butuh beli batu batre karena listrik mati berhari-hari, tapi semua toko kehabisan barang. Ibarat kata, percuma saja punya duit, kalau tidak bisa beli barang. Ekonomi lokal lumpuh. 

Dicegat Polisi di Ngawi
Lepas Terminal Kertonegoro, Ngawi, saya tidak ngeh nama daerahnya, kami dicegat Polisi, disuruh mlipir kiri melewati semacam tenda posko. Di situ tampak beberapa bapak-bapak Polisi dan bapak-bapak berpakaian rompi semacam satgas gitu, yang mengarahkan kamera hapenya ke jip kami. Jip distop, seorang Pak Polisi yang tampak senior dan berwibawa mendekati jendela masjo di posisi sopir. Kami bukalah jendela kami masing-masing. Pak Pol menyapa dengan ramah *aseeek*, meminta kami memakai masker dulu, kemudian menanyakan kami dari mana dan mau ke mana.
Kami    : “Ke Padangan,” jawab kami hampir serentak.
PP        : “Emmmm emmmm…. Padangan?”
Kami    : “Bojonegoro,” terdengar juga suara bapak ‘satgas’ ikut menjawab.
PP        : “Nanti Kota Ngawi langsung saja, Pak, jangan berhenti.”
Kami    : “Oww… kenapa, Pak?”
PP        : “Ngawi zona merah.”
Kami    : “Oh… iya, Pak.”
PP        : “Selamat melanjutkan perjalanan, hati-hati.”
Kami    : “Nggih, Pak. Terima kasih.”

Dari ‘jagongan’ singkat itu ada beberapa kesimpulan kecil:
1.      Untung nggak ditanya mau ngapain. Lucu saja kalau kami bilang mau beli ledre. Palingan beliau nggak percaya, jauh-jauh dari Jogja kok cuma mau beli ledre…. Kurang gawean po yo?
2.      Aneh, Padangan itu kota ramai pertama arah utara setelah Ngawi, kok beliau (yang saat itu sedang dinas di Kota Ngawi) sampai tidak tahu. Ah, mungkin do’i ini kapolsek setempat, atau, kapolda Jawa Timur, hehe… atau pejabat baru di kepolisian setempat gitulah, jadi belum hapal geografis sekitar. Ndilalah tadi saya dan masjo tidak sempat memperhatikan atribut identitas dan kepangkatannya. Intinya, saya maklum.
3.      Owalaaah… sekali lagi kami baru tersadar lagi kalau ini masih masa kopit. Kok ya kami berasa normal-normal saja. Dasarnya, pemerintah memang sudah menyatakan ini masa new normal atau normal baru dengan segala protokol kesehatannya.
4.      Bapak Polisi itu ramah dan tampak wibawanya, saya senang dengan petugas kepolisian macam begini. Kesannya mengayomi, bukan menakut-nakuti kayak polisi Londo atau Jepang zaman simbah dulu.
5.      Jip kami dari kejauhan tampak sebagai mobil pribadi, dan mungkin tampak asing, ah tapi mana kelihatan plat AB-nya dari jarak puluhan meter? Yang jelas, warnanya abang melok-melok, ketok. Truk-truk box berplat luar Ngawi tidak dicegat, mungkin sudah setiap harinya mereka wara-wiri, jadi sudah dianggap sebagai common people, not outsiders, yang sudah mengerti kondisi wilayah tersebut.
6.      Sekali lagi, perjalanan melalui Ngawi ini memberikan ‘cerita kecil’ bagi perjalanan kami. Brosis baca saja postingan Naik Jimny dari Jogja ke Bojonegoro untuk mengetahui ‘cerita kecil’ lainnya tentang Ngawi bagi kami. Hanya cerita kecil kok.

Ngawi-Padangan, Owalah… Ledre!
Kami pun melanjutkan perjalanan. Dari Kota Ngawi jip belok ke kiri (utara) ke arah Padangan. Masjo kebelet pee, kemudian berhenti di pom bensin kanan jalan. Pas nyebrang, seekor badak Jepang abu-abu plat L dari belakang nglakson-nglakson. Yo’ iiii broo, sumonggo duluan. Palingan nanti kesusul di jalanan yang jelek itu, hehehe. Dari selepas Sragen tadi memang ada Jimny di belakang kami. Ya, sesama Jimny, khususnya Jimny yang tampak “macak” biasanya saling tegur sapa di jalan dengan klakson atau lampu dim. Kalau ada yang tidak, biasanya itu yang nyopir perempuan, orang tua ‘rumahan’, atau orang yang minjem Jimny milik temannya.

Tidak seperti Ngawi ke arah timur, jalan ke arah utara ini aspal halus. Dua tahun yang lalu, tepatnya pada Februari 2018, jalan ini hancur bukan main. Bahkan kami masih ingat salah satu tikungannya dulu kayak kubangan kebo. Kali ini, saya yang sudah menyiapkan diri buat ajrut-ajrutan lagi melewati jalan ini, ternyata jadi nyantuy. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah setempat, eh pemeritah pusat ya? Ini kan jalan negara, yang menghubungkan dua provinsi yakni Jatim-Jateng.

Baidewei, saya tidak melihat bus-bus AKAP sebagaimana dua tahun yang lalu itu. Ya, mungkin karena kopit tadi itu, jadi mereka belum narik. Baidewei lagi, Jimny abu-abu itu pun sudah tidak tampak sama sekali. Wis bablas angine karena bisa tancap gas di jalan mulus ini, lagian tadi saya lihat sekilas bannya pakai yang standar (bukan ban kasar/besar), tambah ngacirlah dia, hehe. Tidak terkejar sebagaimana perkiraan saya tadi.

Kemulusan aspal berubah menjadi cor semen/beton mulai kira-kira separuh lebih perjalanan dari pom bensin tadi. Saya tidak tahu nama daerahnya. Di postingan saya dua tahun yang lalu saya bercerita bahwa jalanan tersebut sedang ada proyek betonisasi. Sekarang sudah jadi. Ya iyalah, wong sudah lama. Saya sendiri lebih menyukai aspal ketimbang semen karena aspal lebih mulus, tidak ada sambungannya. Sambungan beton terasa jedug-jedug di roda, nggak ngenaki buat berkendara, dan memperlambat laju kendaraan. Warna putihnya bikin efek silau di mata, juga menambah rasa panas-sumuk karena bermandikan pantulan cahaya matahari.

Alhamdulillah, sekitar pukul 10.15 sampai juga di Padangan. Saya langsung mborong ledre dengan kalapnya, hihihi, dendam telah terbalaskan. Selain buat dimakan sendiri, niatnya sebagian buat tetangga, teman-teman mburuh, dan teman mbengkel. FYI, satu kotak ledre harganya Rp18.000. Isinya 2 plastik yang masing-masing berisi 15 batang. Jadi, satu kotak berisi 30 batang.

Di jalan, saya buka satu kotak. Dari plastik pertama yang berjumlah 15 batang itu blas tidak sebatang pun yang terasa pisangnya. Padahal kami ingat betul belinya di tempat yang sama dengan dua tahun yang lalu, namun rasa ledrenya sudah berbeda. Sama-sama ledre pisang original, tetapi kali ini rasa pisangnya saya cari-cari kok tidak terasa. Yaaa, sekedar kayak kue semprong yang ekstra tipis saja, atau kayak kue leker kosongan. Saya coba membuka plastik kedua, masih dari kotak yang sama… eh, lumayan ada rasa pisangnya tapi walaaah minimalis banget, kayak cuma pakai esens pisang. Padahal di kotaknya ada pernyataan klaim “lebih banyak pisangnya”. Mbuh kok dekadensi begini ya? Sudah jauh-jauh kudatangi, tapi kau mengecewakanku. Owalah… ledre!

Padangan-Bledug Kuwu dan Jalan Ngetril
Pukul 10.31 jip sudah melaju lagi, langsung menuju Bledug Kuwu. Dari kota kecil Padangan ke arah kiri ini tak berapa lama berselang ketemu dengan gapura selamat datang Jawa Tengah. Hei, sudah masuk Kabupaten Blora saja. Kemudian maju sedikit lagi untuk melintasi jembatan Sungai Bengawan Solo. Di sisi kirinya terbentang dua jembatan kereta api, tampaknya ini jalur double track; di sisi kanan tampak sebuah jembatan tua yang aspalnya sudah bolong-bolong parah, dan besinya karatan, tetapi fotogenik! Terlebih di bawah sana saya lihat sebuah sampan jadul yang tampaknya dipakai untuk mencari pasir. Kalau kena cahaya pagi, saya yakin pemandangan ini akan indah banget, romantic-nostalgic. Jadi ingin hunting foto ke sini kapan-kapan, semoga.

Padangan dan Cepu ternyata gandengan just like close friends. Yang saya lihat, dari keramaian ke keramaian nyambung terus tanpa jeda persawahan atau hutan. Sekitar 5 menit (mungkin kurang) saja dari toko ledre tadi jip sudah sampai Cepu. Setelah itu, rute kami: Kedungtuban-Randublatung-Doplang-Sulursari-Gabus-Bledug Kuwu. Jip ngisi Pertamax Rp200 ribu satu kali di pom bensin kiri jalan. Maaf brosis, saya lupa nama daerahnya.

Secara umum, jip dominan melewati jalan-jalan kabupaten yang di kiri-kanannya tampak berselang-seling perkampungan dan persawahan, ditingkah pasar dan toko-toko kecil atau ruang usaha jasa. Tidak ada pemandangan alam yang memukau hati saya. Rata-rata hamparan biasa saja. Kamera pun sama sekali tidak keluar untuk satu bidikan pun. Yang lumayan menarik, rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan yang rata-rata terbuat dari kayu. Ah, jelas saja, wong daerah sekitar sini (Bojonegoro, Blora, Purwodadi) terkenal akan kekayaan alamnya berupa kayu jati. Ketinggian terasnya rendah amat, khas rumah joglo zaman dulu. Untuk orang dengan tinggi badan 180cm tampaknya harus merunduk untuk melewatinya. Angan saya melayang ke rumah simbah di tahun 80’an sebelum direnovasi. Sayang, kini rumah itu sudah “dimoderniasi” dengan tembok semen, bentuknya pun sudah common seperti rumah-rumah tetangga. Nothing special anymore.

Saya sudah mbatin sebelumnya, bahwa nanti banyak melewati jalanan beton. Kan Jawa Tengah sedang getol betonisasi. Jadi, sedari rumah saya sudah nyiapin mental bakalan menikmati perjalanan yang tidak nikmat, eh… maksudnya, merasakan perjalanan yang tidak nyaman. Dan betul saja. Jalanan didominasi oleh beton nangka  semen yang bikin silau mata, apa lagi di siang hari yang terik. Sungguh tidak enak… dan efek panas pantulan sinar matahari menambah tidak nyaman kabin jip. AC sudah dipolkan pun masih keringetan nih badan. Terlebih, sambungan antarsegmen beton membuat efek “jeglig-jeglig” di dalam kendaraan, nggak enaaak.  Beda dengan aspal yang tanpa sambungan, muluuus saja tanpa efek hambat. Yang bikin ilfil, banyak sekali ruas jalan yang gronjalan, bolong-bolong, rusak parah cukup panjang dan lebar, yang memperlambat jalannya kendaraan, mana debunya tebal pula…. kasihan para pengendara roda dua. Anehnya, banyak ruas beton yang sudah rusak dan tampak ditambal, dan nambalnya dengan aspal. WTF! Lha, geneo isih butuh aspal. Kalau memang aspal itu dipandang lebih baik, lha kenapa tidak aspalisasi saja seperti sedia kala? Ah embuhlah.

Jip yang waras-waras saja sedari rumah, jadi mengeluarkan suara berisik “klotak-klotek”. Suara ini semakin lama semakin keras dan semakin sering terdengar. Sumbernya dari arah kiri kursi navi a.k.a saya. Pikir saya, itu dari daerah pintu. “Biasa… barang tuo, Mas,” ucap saya menenangkan masjo yang semakin gusar. Saya pun sebenarnya sudah gusar dari tadi, tapi ya mau gimana lagi. Ntar deh dicek di bengkel, apa penyebab suaranya. Nggak nahan dengan gangguan itu, sampai di jalan yang diapit hamparan sawah, kami berhenti. Cek punya cek, ternyata ketemu! Kursi saya! Jadi, bagian kaki ada sekrup yang kendor, nyaris lepas. Keesokan harinya pas dibawa ke bengkel, mas montir bilang bahwa ada bagian lantai yang retak sekitar 2 mm.  Edyan! Gara-gara jalan jelek. Solusinya, dibuatkan dudukan sekrup baru, biar kenceng. Masalah alhamdulillah tersolusikan.

Okei, kembali ke jalan *yang jelek*. Beberapa jembatan, catet: beberapa, artinya lebih dari satu jembatan, bahkan mengajak jip jumping bak permainan akrobat. Serius….! Jadi, di ujung dan pangkal jembatan itu kondisi jalannya lebih rendah dan curam. Pas jip mau masuk, kaget deh saya…. kok penuh hentakan. Tambah kaget lagi pas mau keluar jembatan, jalan mendadak turun-patah. Jip pun terbang ulalaaa….. dan mendarat dengan keras tanpa ampun. Wedyaaan! Balung iso remek nek ngene iki. Pengalaman kecut dengan jembatan pertama barusan, maka ketika hampir memasuki jembatan-jembatan lainnya, saya sebagai navi selalu mengingatkan masjo untuk pelan-pelan saja. Jangan sampai terbang lagi nih jip. Sekali lagi, kasihan para pengendara roda dua khususnya sepeda motor, bisa terbang dan jatuh terguling mereka, terlebih kalau mereka perdana melalui jalan tersebut. Tahun 2020 brooo, era milenia saja sudah lewat pakai banget. Kok ini di Jawa, yang notabene banyak pelintasnya, di tengah keramaian ini, masih ada (dan banyak) jalan raya yang amsyong gini.

Fix deh, jalur ini saya black list. Tidak berniat lewat sana lagi *kalau tidak amat sangat kepepet*.

Long story short, jam 12.30 kami sampailah di Bledug Kuwu. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri fenomena njeblug-nya tanah dari dalam bumi itu, meskipun hanya dari jauh, dari dalam kendaraan. Pun jeblugan-nya kecil-kecil saja. Saya baca di Google dan nonton di Youtube, katanya memang ada letupan yang kecil dan besar. Dan tampaknya, untuk melihat letupan yang besar, kami harus jalan kaki masuk ke lokasi, jip harus diparkirkan. Ah, saya males banget turun. Masjo pun setali tiga uang. Lha panasnya minta ampun kayak di gurun! *padahal belum pernah ke gurun*. Saya migren pula, dan tampaknya darah rendah juga kumat. Wadidaw… komplit!

Situs ini cukup luas menghampar di dataran yang dikelilingi pagar kawat berduri. Sayang, sebagian kawat tersebut sudah putus dan tampak tak terurus. Dari kejauhan saya lihat ada dangau-dangau untuk menyaksikan the ‘jeblugan’ show, juga ada beberapa menara yang tinggi bagi pengunjung yang ingin menyaksikannya dari atas. Di pinggir-pinggir pagar dekat parkiran banyak pedagang makanan dan minuman, khususnya degan. That’s all yang bisa saya ceritakan. Saya mbatin, objek wisata alam yang langka ini kalau berada di Singapura jadinya kaya apa ya?  Hmmm…. Mungkin akan sangat cantik, tidak pernah sepi pengunjung, dan menjadi ikon wisata negeri itu. Lha wong parit cuilik saja bisa jadi tempat yang keren dan menjual je.

Nasi Padang yang Berubah
Akhirnya, jip putar balik dan cabut. Kali ini kami menuju warung Padang yang biasanya kami mampiri kalau bepergian ke Jawa Tengah sisi timur. Kebetulan, sama dengan kasus ledre yang saya idamkan tadi, saya pun sudah sejak beberapa bulan lalu kangen pingin maem masakan warung ini yang cocok di lidah saya. bahkan, terbilang ‘recommended’.

Sebelum sampai warung, kami solat jamak-qoshor Dhuhur-Ashar dulu di pom bensin kiri jalan di wilayah Kota Purwodadi, sekalian noilet. Kondisi mushollanya siang itu sangat panas. Ada kipas angin berdiri, tapi saya baru ngeh seusai solat. Jadi, solat saya tadi kurang khusyuk karena badan kepanasan. *Mending, Piet…. di neraka nanti nggak akan ada tubuh yang tahan dengan panasnya, kalau kamu nyengaja nggak solat*. 

Seperti kata GN’R, “Nothing last forever…. Even cold November rain,” nasi Padang kali ini pun sudah berubah, tidak lagi recommended seperti yang dulu. Dalam kepala ini langsung terngiang-ngiang saja lagu tahun 80an “Aku masih Seperti yang Dulu” kesukaan bulik-bulik saya yang kala itu masih pada remaja, Dian Piesesha penyanyinya. 

Padahal, menu yang saya pesan sama, lauk ayam goreng. Begitu pula masjo yang selalu setia dengan telur dadar. Ayamnya keras dan mengecil, dengan bumbu yang tidak segurih dulu. Sambel ijonya seuprit, hedehh, kok jadi pelit gini sih. Sayur dan kuahnya tidak spicy lagi. Dan, baru kali ini saya maem nasi Padang yang jemek, kaya bubur karena masaknya kebanyakan air. Jadi, bisa kebayang kan. Jauh-jauh dikangenin, tapi dia sudah berubah, huhuu. Entahlah, kok bisa begini, apa tukang masaknya kurang perhatian, minta gaji naik tapi nggak dikasih, sedang bad mood? Ataukah, manajemennya sudah ganti? Entah.

Purwodadi-Solo
Kami tinggalkan warung sekitar jam 14.00 untuk melanjutkan perjalanan, pulang, melalui jalur Purwodadi-Solo. Kami terakhir lewat sini pada Juli 2018, kondisi jalan ini masih aspal ambyar yang sukses membuat kendor stir. Sekarang sudah diperbaiki dengan betonisasi, namun sebagian beton sudah rusak dan berimbas pada gronjalan lagi. Sebagian juga tampak sudah ada upaya perbaikan yakni ditambal dengan aspal, sama seperti jalan-jalan selepas Cepu tadi. Dan sekali lagi, saya harus menahan ketidaknyamanan berkendara di jalan beton itu.

Suasana jalan ramai-lancar, sesekali macet dan harus ngantri. Banyak truk segede Bagong yang membawa muatan berat. Heran saya, jalan kayak gini kok yang lewat kendaraan-kendaraan ‘heavy metal’. Iya memang, mereka limpahan dari pantura yang mau ke Jawa bagian dalam. Tapi, maksud saya, kalau yang lewat itu "simbol-simbol perekonomian" macam begitu, ya selayaknyalah jalan dibuat halus mulus agar tidak wasting time. Bukankah dalam dunia ekonomi kita sudah hapal jargon time is money?

Tidak ada yang bisa saya nikmati di jalur ini. Beruntung, saya banyak tertidurnya. Tahu-tahu jip sudah sampai Solo, di perlintasan kereta api yang tadi pagi kami lewati dari arah sebaliknya itu. Maaf lagi, saya nggak tahu nama daerahnya.^^

Solo-Jogja
Alhamdulillah memasuki Kota Solo, kemudian Klaten, dan masuk wilayah DIY jalanannya notabene aspal mulus kabeh. Sangat signifikan perbedaan rasa berkendaranya. Badan lebih anteng, less guncangan. Sebagai warga DIY, saya berharap DIY terus mempertahankan jalan beraspalnya. Syukur-syukur dibikin lebih mulus lagi mengingat Jogja itu destinasi wisata utama wisnu. Tidak ikut-ikutan betonisasi. Asli, jalan beton itu tidak enak. Beda dengan beton rebus. 

Jalur ini ramai lancar, terkadang sedikit macet. Tidak ada hal menarik untuk saya ceritakan karena saya banyak ketiduran pula, hehehe, turuuu wae. Biarin saja si sopir melek sendirian, sudah hapal jalan kok. Sampai di rumah pukul setengah enam sore, pas adzan Magrib. Jadi, total waktu tempuh dari berangkat hingga sampai rumah 12 ¼ jam. Total bensin Pertamax yang dibeli Rp500 ribu, dua kali ngisi, dengan harga Pertamax Rp9.000/liter.

Dolan ini tadi lebih banyak menyebalkannya dibanding menyenangkannya. Mulai dari kondisi jalan yang remuk, jok yang berisik, ledre yang ingkar janji, sampai nasi Padang yang sudah tak seperti yang dulu. Meskipun demikian, selalu ada hal-hal yang bisa saya ambil dan pelajari. Wis, ngono ae yo postingan kali ini, simpulno dewe. Sepurane, ra ono potone. Hiks.

Wassalam.

~Piet~

1 komentar:

  1. Izin promo ya Admin^^
    bosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
    mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
    mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
    ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
    add Whatshapp : +85515373217 ^_~

    BalasHapus