Ini adalah
postingan yang tertunda. Untung bukan
postingan yang tertukar, kayak judul sinetron. ^^ tertundanya satu setengah tahun pula. Wedeh.... dasar saya, sok sibuk muluk.
So, langsung saja ke topik yang sesuai dengan judul. Pada bulan Januari 2019 di hari Jumat-Sabtu-Minggu saya dan
masjo melakukan perjalanan dari Jogja ke Bogor Utara
naik Jimny melalui jalur selatan Pulau Jawa, jalur yang tampaknya kurang popular di kalangan mudiker karena selain nontol, juga
naik-turun dan berliku-liku yang notabene membuat para pengendara males. But, as we are not big fans of jalan tol,
maka kami memilih jalur selatan ini. Btw,
ini merupakan perjalanan pertama kami melalui jalur ini. Ini pun merupakan
perjalanan pertama kami naik Jimny ke wilayah Jawa Barat, dan ya, solo riding pula. Solo di sini
maksudnya, tanpa konvoi atau tanpa mobil lain
yang menjadi teman seperjalanan dan setujuan.
Sebelum ini, saya sudah sekian kali ke
Jakarta melalui jalur ini, namun ya gitu deh… karena naik bus besar dan berada
dalam rombongan besar, saya jadi males mikir dan ogah mengingat jalan. Walhasil,
untuk mengatakan “sehabis perempatan ini terus kemana lagi”, saya nggak mudeng blas. Karena sebagai penumpang
murni, saya jadi kayak kambing congek. Adapun masjo, sudah lamo nian tidak
bepergian ke arah barat ini. Duluuu sewaktu masih remaja pernah sekali-dua,
itupun naik bus umum atau kereta api.
Jadi, perjalanan dengan Jimny ini layaknya
perjalanan perdana bagi saya dan masjo yang mau tak mau harus mikir dan
mengingat-ingat semua detail rute, karena posisi saya sebagai navigator, dan
masjo sebagai sopir. Hal seperti inilah yang saya sukai, karena ‘memaksa diri menjadi
pinter’. Setidaknya, lebih pinter dikitlah. Hehe. Bagaimana tidak brosis, otak
dipaksa harus mikir agar tidak kesasar, pancaindera bekerja semua, begitu pula
dengan intuisi…. Tsaaahhh, embeer.
Oiya, ini pun merupakan perjalanan
terjauh Jimny kami selama ini, dengan jarak tempuh Jogja-Bogor 495km alias
990km pulang-pergi. Nyaris 1000km. BBM Pertamax yang dikonsumsi pulang-pergi sebanyak
108 liter (seratus delapan liter) senilai Rp1.100.000 (satu juta seratus ribu
rupiah) dengan harga Pertamax Rp10.200/liter. Konsumsi rata-rata BBM adalah
9,1km/liter. Boros? Hehe… siapa bilang Jimny-Katana ngirit? Itu mah duluu,
sewaktu masih standar. FYI, Jimny 4x4
kami ini keluaran tahun 1988, FG 8/41, ban MT ukuran 31 yang menurut saya lebih seperti ban extreme, busi racing Denso, pengapian koil Blue Fire,
kabel Blue Thunder, setelan karburator normal (tidak boros, tidak irit). Kalau
sudah dimodif gini ya jangan berharap ngirit. Skala prioritas kami memang bukan
cari irit BBM tapi cari kemampuan yang “biar tidak ngrepoti teman” di trek off-road, dan tidak ngos-ngosan sewaktu
nyalip truk gandeng di jalan raya.
Persiapan
Sebagaimana solo riding kami yang sudah-sudah, sebelum berangkat, kami melakukan
sejumlah persiapan. Terlebih, ini
menempuh jarak yang panjang dan rutenya masih asing. Hal ini sangat penting
brosis, mengingat armada kami sudah tua, kayak orangnya…. hihihi. Biarin, yang
penting jiwa tetap muda dan hati bahagia : )
1.
Pengecekan kendaraan
Seminggu sebelumnya, Jimny merah kami perlu diperiksakan di “dokter” langganan. Tindakan
yang dilakukan berupa penggantian karet wiper,
pengecekan rem, pengecekan laker roda, dan pengecekan karburator. Karet wiper
sebenarnya belum lama diganti, baru beberapa bulan tetapi entah kenapa kok
bunyi “gruut gruuut gruuuttt….” kalau pas bekerja. Bikin
risih di
telinga. Apalagi ini musim hujan,
kesehatan wiper tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Adapun rem, roda, karburator baik-baik saja, just make sure saja ke pak
dokter.
2.
Logistik
Sehari sebelumnya kami belanja aneka macam makanan
ringan baik yang manis maupun asin. Kebanyakan didominasi oleh yang asin supaya
tidak eneg. Ini penting terutama bagi saya sebagai navi bin kenek yang
cenderung pasif, karena kepasifan itu menjemukan, memegalkan, bahkan
memusingkan yang parah-parahnya bikin mabuk. Buah-buahan yang relatif gampang
dan simpel dimakan pun tak ketinggalan. Anggur merah dan pir hijau(pir jambu)
saya pilih karena bercita rasa segar, manis, dan asem. Jambu demak dan jambu
kristal sebetulnya juga favorit saya di perjalanan, tetapi tidak tersedia di
toko buah tersebut saat itu. Yang paling enak dan simpel sebetulnya ada, anggur
hitam tanpa biji, tapiiii emooh…. GMO! Opo
kui GMO Piet? Mbuh, googling-o kono dek!
3.
P3K
Obat-obatan yang dibawa ya standar kotak obat. Ada
obat oral: obat flu, obat diare dosis rendah, obat diare dosis tinggi, obat
alergi+antimabuk, dan obat pain killer
buat sakit gigi. Ada obat oles: minyak kayuputih, minyak telon, obat merah/obat
luka. Ada pula obat tempel: koyok dan plester luka. Saya sebut merk dagangnya saja
ya biar brosis gampang mengidentifikasinya: Procold, Entrostop, Imodium, CTM,
Cataflam, minyak kayuputih Cap Lang, minyak telon Konicare, Betadine, Hansaplast,
Salonpas biasa, dan Salonpas hot. Ada
pula kain kasa dan sendok melamin tebal. Nah, yang disebut terakhir itu special occasion, buat kerokan hehehe.
Kami asli Endonesah, kami mantab jiwa memakai penyembuhan a la leluhur yang
telah terbukti khasiatnya. Sendok ini dijamin lebih jozz dibandingkan koin
(terlebih koin hare gene cuilik-cuilik,
nggak nendang buat kerokan). Pernah punya alat kerokan sih, tapi jatuh dan
patah gagangnya, huhuu…
4.
Onderdil cadangan
Kebanyakan onderdil yang dicadangkan bukan barang
baru, alias barang yang sudah tergantikan oleh onderdil baru, tapi dia masih
berfungsi. Jadi, disimpan saja untuk cadangan kalau-kalau onderdil yang sudah
terpasang tiba-tiba error. Apa saja
itu? Busi, timing belt, fan belt, alternator belt, platina, bohlam-bohlam,
kabel-kabel, dan sekering-sekering.
5.
Pemetaan rute
Rute dipetakan dengan dua instrumen: Google Map dan
buku peta manual. Secara umum, keduanya ini berguna untuk mengetahui berapa
kira-kira jarak dari kota A ke kota B, kota B ke kota C, dan seterusnya sampai
ke Bogor. Google Map berfungsi sebagai pemandu rute yang lebih kekinian
sifatnya, meskipun kadang tidak apdet-apdet banget, tapi ya cukup apdetlah. Foto-foto
perempatan jalan, landmark, kondisi
suatu tanjakan atau turunan, dengan view
360 derajad sangat signifikan dalam memberi gambaran visual yang mendetail
kepada kami akan tempat-tempat yang bakal kami lewati. Adapun peta manual berguna
untuk memperoleh gambaran praktis, menyeluruh, dan nirsinyal, karena you know lah sinyal internet yang
disediakan oleh provider Indo relatif kurang handal di daerah-daerah luar kota.
Selain itu, saya pribadi lebih menyukai navigasi manual dibanding digital, karena
selain membuat otak dan intuisi saya bekerja lebih giat, juga menjaga sisi human saya sebagai makhluk sosial yang perlu
berinteraksi dengan lokal people.
Selain melihat buku peta, juga bertanya kepada orang di jalan merupakan cara
yang cess pleng. Brosis pernah dengar kan, cerita orang-orang yang menyimpang
jauh dari tujuan karena percaya 100% dan melulu mengikuti Google Map. Ya, begitulah. Dongkol….
6. Persiapan
fisik
Tidak kalah penting, fisik juga harus dipersiapkan
dengan baik. Pada H-2 kami memastikan semua pekerjaan sudah kelar dan beres,
tidak ada tanggungan, sehingga H-1 kami bisa beristirahat dengan cukup, tanpa
beban fisik, pikiran, dan mental. Palingan hanya mengerjakan yang ringan-ringan
saja seperti belanja logistik. Ini penting brosis, mengingat kami punya
pengalaman gagal bepergian karena kesibukan pada H-1 yang menguras tenaga,
mental, dan pikiran. Walhasil, di hari H masjo tak berkutik… masuk angin parah, tepar!
Nah, standar semua bukan? Mungkin ini sama dengan yang brosis lakukan. Meskipun
terdengar mainstream tapi ini semua penting untuk kelancaran perjalanan kita ke luar kota.
Berangkat dari rumah
Sehari sebelumnya Jimny diisi bensin
dulu Rp250.000;- nyaris full tank
empat kotak karena sebelumnya di tangki masih ada sisa satu kotak. Seperti
hari-hari biasa, untuk menjaga kebersihan ruang bakar jip tua ini, kami memilih
“meminuminya” Pertamax. As you guys can
see, harga BBM di negeri kita tercinta ini memang fluktuatif. Dalam perjalanan
ini harga Pertamax Rp10.200 per liter, setahun sebelum ini, pas ke Bojonegoro
masih Rp9.000-an. Juli tahun 2020 ini Rp9.000 pas. Tahun depan entah berapa.
Oke, bensin sudah penuh, hati jadi
tenang, keesokan harinya tinggal berangkat saja. Dini hari jam 04.30 setelah sarapan
Indomie goreng *anak kos bangeds* dan solat Subuh, perjalanan dimulai.
Bismillah…
Jogja-Gombong via Jalan Daendels
Brosis pernah dengar dong ya tentang
Jalan Daendels. Alih-alih memilih lewat jalan utama
Jogja-Wates-Purworejo-Kebumen yang lebih muter dan ramai, kami memilih lewat
Jalan Daendels tersebut. Jadi, dari rumah Jimny meluncur ke selatan, wilayah Bantul,
kemudian memasuki Jalan Srandakan via Sapuangin. Terus luruus melewati Jembatan
Kaliprogo yang panjang itu hingga lampu bangjo
Brosot, ambil kanan, dan bablas…. Sampai beberapa bangjo lagi termasuk bangjo
Toyan masih lurus terus, hingga ketemu bangjo
yang di kiri jalannya ada proyek pembangunan Bandara New Yogyakarta
International Airport (NYIA), ambil kiri
dan di situlah mulai masuk Jalan Daendels. (Di tahun 2020 ini, dari bangjo Brosot kita tidak perlu ke kanan
yang ngalang. Langsung ambil kiri
saja karena terowongan bawah bandara sudah jadi, diresmikan, dan officially bisa dilewati).
Selanjutnya kami mengikuti saja jalan di
depan, karena jalan ini adanya Cuma satu dan lurus. Jalan ini relatif sepi
namun masih tampak adanya kehidupan dengan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan,
ada pom bensin juga di kanan jalan. Kalau saya tidak salah, rute ini berawal
dari Congot, Kulonprogo sampai dengan barat Pantai Jatimalang, Purworejo.
Tiba di lampu merah,di depan itu ketemu
dengan jalan yang masih kinyis-kinyis. Tampak jalan ini masih baru selesai dibuat. Saya lihat pasir-pasir sisa pengaspalan masih meng-cover sisi kanan-kiri jalan. marka jalan dan rambu-rambu lalinnya pun
masih tampak kinclong, baru direyen. Orang menyebut jalan ini jalan baru, IDK, tapi menurut saya ini masih kelanjutan Jalan Daendels. Di
Google Map saya cek namanya "Jalan Urut Sewu". Nah, jalan ini suepinya minta
ampun. Di kiri-kanannya hanya dijumpai sawah dan semak. Di kiri jauh sana
pantai selatan alias Samudera Hindia. Jangan berpikir yang jelek-jelek deh, soalnya sepi bener ini. Rumah penduduk tidak ada, bengkel dan tambal ban apa lagi. Hari masih sangat pagi dan masih remang-remang. Barengan kami saya lihat hanya sebuah truk, itu pun dia menyalip
kami dan segera nggeblas meninggalkan si
Jimny yang mlaku thimlik-thimlik.
Jimny just can’t go any faster,
maksimal 80-90km/jam doang. Buween disalipi, monggo-lah, you can go faster but I can go anywhere, hehe. Kemakiiii….
Di bawah pengaruh CTM yang saya minum
jam 4-an tadi, saya ngantuk pol, kadang tertidur kadang terbangun. Tahu-tahu
sudah masuk Petanahan. Jimny belok kanan memasuki jalan desa sampai ketemu
perempatan tugu burung, ambil lurus. Selanjutnya jalan mulai nggronjal,
bolong-bolong yang memaksa semua kendaraan berjalan melambat. Awalnya masih
dijumpai kehidupan, rumah-rumah penduduk dan keramaian tapi lama-kelamaan sepi
lagi. Lurus saja terus sampai ketemu jalan besar yang ramai dan itulah jalan
utama Karanganyar-Jogja. Tentu saja kami ambil kiri ke arah Gombong, kalau ke kanan,
kami pulang ke Jogja dong melewati Kota kebumen.
Jam 07.00 kami berhenti di pom bensin
kiri jalan di daerah Rowokele buat ke toilet. Berarti waktu tempuh dari
berangkat tadi 2,5 jam. Odometer menunjukkan jarak tempuh 113 km. Bensin masih
banyak, 3 kotak. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan yang masihlah sangat
panjang ini.
Nyasar di Ajibarang
Rasanya kok kurang afdol kalau pertama bepergian
jauh tanpa nyasar. Wkwkwk, pembelaan. Sampai di perempatan Wangon kami nyasar.
Seharusnya ambil lurus, tapi kami malah ambil kanan yang ke arah Ajibarang. Maklum,
navinya ketiduran melulu, jadi tidak melihat rambu penunjuk arah, xixixi.
Masjo sempat bertanya-tanya, “Kok
kayaknya kita ke arah utara ya? Mataharinya kok di kanan kita?”
Saya dengan pedenya njawab, “Lha, biasa to Mas, kalo jalannya berliku-liku kan
kadang kita kayak menjauh dulu dari rute utama, tapi ntar palingan ke barat lagi.”
“Eh tapi, itu kok busnya rute
Wangon-Ajibarang-Purwokerto?” Kata masjo dengan tambah keheranan ketika
berpapasan dengan bus-bus umum lokal.
“Kan wajar aja to… kita sekarang masih di daerah Wangon,” jawab saya yang masih
kepedean. “Lagian, di Google Map kan jalannya mulai keriting dan naik-turun, jalan
ini juga gitu.”
Setelah sekitar 10-12km, tibalah kami di
persimpangan Ajibarang. Fix kita
kesasar brosis… kalau ke kanan, arah Purwokerto, kalau lurus kita menuju
pantura. Bisa saja sih kita lurus, tapi ntar lewat Cirebon dan bisa masuk jalan
tol dong, bukan lewat Nagrek dan Bandung. Untuk meyakinkan diri lebih tebal
lagi, ditanyalah mas-mas di dekat kios pinggir jalan, dan akhirnya dengan
perasaan dongkol campur geli kami mbaliiik lagi ke arah Wangon. Hahaha….
Makanya Piet, jadi navi ojo kakeyan turu,
supirmu kliru, tok ombyongi wae. Saya juga nggak ngeh kalo Ajibarang itu
posisinya utaranya Wangon. Kirain baratnya. Wkwkwk. Ini nih… pengetahuan
urut-urutan letak geografis kota-kota kecil semacam ini sangat diperlukan buat
kita yang hendak menjelajah ke tempat-tempat yang belum pernah kita sambangi.
Kemarin sempat lihat di peta sih, tapi lupa *kakeyan brutu gajah*.
Perbatasan Jawa Barat
Baiklah sodara-sodara sebangsa dan
setanah air… akhirnya dari Wangon kami ambil kanan ke arah Bandung (kalau dari
Jogja, berarti ambil lurus). Jalannya kurang meyakinkah, cor semen yang tidak
begitu lebar. Inilah yang membuat masjo tadi nggak yakin dan memilih ambil
kanan ke arah Ajibarang.
Sampai di Cimanggu bensin masih cukup
banyak, 1,5 kotak. Jam menunjukkan angka 09.40. Kami belum tahu sikon di depan
nantinya kayak apa. Daripada kesatan di jalan dan susah nyari pom
bensin, akhirnya kami memutuskan untuk mengisi bensin di pom kiri jalan,
sekalian noilet. Diisi Rp205.000 lalu indikator BBM naik lagi menjadi 3,75
kotak.
Btw, meskipun namanya berawalan “Ci-“ seperti nama-nama
khas daerah Pasundan, tetapi Cimanggu ini masih masuk wilayah Jawa Tengah lho
brosis. Cuma, saya mendengar dialek petugas pom dan orang-orang sekitar memang
sudah tidak nJawani lagi. Mungkin
karena ini daerah yang sudah dekat dengan perbatasan Jawa Barat, jadi bahasanya
sudah antara Jawa ngapak dan Sunda. Jadi, saya dan masjo pun mengubah mode bahasa
Jawa ke bahasa persatuan bahasa Indonesia. Kan nggak lucu kalau kami nanya
pakai bahasa Jawa tapi yang ditanya nggak paham. Thanks to para pahlawan pergerakan nasional yang telah mencetuskan
Sumpah Pemuda. Kalau tidak, saat ini mungkin kita bingung mau ngomong pakai
bahasa mana, susah berkomunikasi kalau ketemu orang dari daerah lain.
Masuk Jawa Barat dan makan siang
Setelah Cimanggu dan Majenang, kami
memasuki wilayah Jawa Barat tepatnya Kabupaten Banjar. Yeeey…. Akhirnya Bang
Jim menginjakkan bannya di Jawa Barat! Selama ini kan kalau nggak pergi ke Jawa
Tengah, ya Jawa Timur. Tidak seperti Jawa Tengah tadi yang banyak gronjalan, jalan
di sini mulus-mulus dan menyenangkan. Jimny yang suspensinya keras ini jadi
lebih nyantuy. Di kiri kanan jalan pun tampak segar dengan hijaunya pepohonan.
Ada juga hutan pinus yang dibuat untuk tempat rekreasi rakyat.
Selanjutnya sampailah kami di Cikoneng,
Ciamis. Di RM Saung Gayatri kiri jalan Jam 11.45 kami berhenti untuk makan
siang. Rumah makan ini bergaya tropis dengan material anyaman bambu sebagai
dinding dan jendelanya. Saya cocok dengan bangunan rumah makan seperti ini
karena adem, nggak sumuk. Ada beberapa
gazebo bambu di samping depan bangunan utama. Sepi… hanya kami saja
pelanggannya saat itu. Sempat meragu juga sih, jangan-jangan…. Nggak enak, atau
kemahalan, kok sepi begini. Ah, lupakan. Enak nggak enak, mahal apa murah, yang
penting segera bisa ngisi perut, nasi brosis, nasiiii. Kita memang harus deal dengan keadaan semacam ini kalau sedang
bepergian.
Pelayannya ramah menyambut kami di pintu
masuk. Begitu duduk, sambil memilih-milih hidangan di buku menu, pelayan
menyodori teh tawar anget. Nhaa… ini nih khasnya Jawa Barat. Kita makan apapun
digratisi teh tawar. Kalau di Jogja kan kalau nggak ngorder, nggak akan dikasih
teh. Pun kalau ngorder teh, otomatis dikasihnya teh manis. Kalau mau gratis, ya
minta air putih. Lha di Jawa Barat ini kebalikannya, teh tawar kayak semacam
minuman wajib. Tidak ngorder pun kita otomatis sudah dikasih gratis. Konsep
seperti ini cocok buat kita yang traveling
on tight budget lho brosis… hihi.
Tak lama berselang, datang dua orang
pelanggan lain yang sampai kami cabut dari situ jam 12.25 ya cuma segini ini pelanggannya.
Apa yang kami makan? Biasa saja. Intinya
yang spicy dan anget: nasi, ayam,
sambal, plus lalap. Ada pelengkap sepotong kecil tahu dan sepotong kecil oncom
yang digoreng tepung. Oiya, ayamnya ayam kampung yang relatif kecil, teksturnya
agak keras tapi alhamdulillah nggak keras-keras amat. Masih bisa disuwir dan
dikunyah kok. (Kan ada tuh ayam kampung yang kerasnya bujubuneng… kayak dummy lateks). Cuma, mbakarnya yang
kurang sip… legam, kebanyakan kecap kalo kata lidah saya sih. But it’s all okay, semua itu habis saya
makan kecuali leunca mentahnya.
Untuk minumnya, kami ngorder teh manis.
Di luar dugaan, tidak seperti gelas teh tawar gretongan itu, gelas untuk teh
manisnya gedee…. Saya dan masjo nggak kuat ngabisin. Total makan kami di sini
habis Rp60.000. Wajar, normal. Kenyang….. alhamdulillah. (Baidewei, Februari
2020 kemarin kami ke Sumedang lewat depan RM ini lagi dan ternyata dia sudah
tutup. Aduh…. Sayang sekali sodara-sodara).
Nagrek dan ketiduran
Lepas dari RM Saung Gayatri, jam 13.07 kami
mampir di pom bensin yang saya tidak ngeh masuk daerah mana. Kami ke toilet dan
salat Dzuhur-Ashar. Bensin masih banyak, jadi tidak perlu beli di situ. Sebagaimana
subjudul di atas, sehabis makan dan masih di bawah pengaruh CTM, saya sering
ketiduran. Damai bok, perut pun ikut damai. Tapi jadi tidak banyak yang bisa
saya ceritakan, bahkan pemandangan wilayah Nagrek yang saya tunggu-tunggu
karena sangat terkenal di TV pas arus mudik itu, terlewatkan begitu saja. Masjo
hanya bercerita, “Wah, bagus pemandangannya di Nagrek tadi,” dan saya pun agak
menyesal turu wae, hiks.
Bandung-Padalarang
Bandung-Padalarang, itulah rute
selanjutnya. Setelah Nagrek, seingat saya jalanan mendatar semua, terus masuk
Bandung jam 15.05. Di depan sana langit tampak sangat gelap, dan benar saja, maju
sedikit kami memasuki area hujan. Hujannya tidak tanggung-tanggung, deras
banget bercampur badai. Kabar dari grup Whatsapp, di Jogja pun sama, turun hujan
badai yang sampai menerbangkan atap gipsum rumah teman.
Kami memasuki jalan lingkar luar Kota
Bandung yakni Jalan Soekarno-Hatta yang berasa panjang dan lama. Tidak seperti
jalanan sebelumnya yang mulus, jalan di sini banyak bolong dan tambalannya *kayak
gigi yang kebanyakan fluoride*. Kondisinya macet parah. Jam-jam segitu adalah
jam bubaran para pekerja yang pulang ke rumah. Heww…. Ini luput dari antisipasi
kami. Walhasil, setelah terjebak macet selama 2,5-3 jam-an, barulah kami keluar
dari Bandung.
Jam 17.45 kami nyasar, keblandhang sampai pom bensin di daerah Cimahi.
Seharusnya sebelum pom, kami ambil kanan ke arah rumah sakit militer, tapi kami
ambil lurus. Hehehe. Ini kesalahan saya yang sotoy, padahal masjo yakin belok
kanan. Di situ saya merasa bersalah :(
Ya sudah, daripada tebak-tebakan dan
tambah nyasar, kami memutuskan untuk bertanya saja ke petugas pom. Dan daripada
sekedar bertanya, kami sekalian saja ngisi bensin dan noilet. Hujan masih turun
rintik-rintik namun rapat, badai sudah menghilang. Keluar dari jip, ternyata di
luaran cukup dingin. Air di toilet pun dingin bak air di musim kemarau. Apa karena
ini daerah Bandung, atau karena sedang hujan ya? Seingat saya sewaktu nginap di
Kota Bandung pertengahan tahun 90an, hawanya biasa saja tidak dingin, airnya pun
biasa saja. Tahun 2010 saya menginjakkan kaki di kota ini lagi dan kondisinya idem,
normal. Mungkin itu Bandung sisi lainnya ya. Baiklah, tidak penting, lupakan.
Kita lanjutkan. Bensin sudah diisi
Rp205.000, perjalanan diteruskan. Dari Cimahi kami menuju Padalarang dengan
kondisi jalan yang ramai lancar terkadang macet tipis. Masih banyak pekerja
yang pulang kantor. Saat adzan Magrib terdengar, perut mulai kelimpungan minta
nasi. Ngemil snek-snek yang beraneka ragam kok masih nggak nampol. Yaa namanya
juga seneeek.
Di tengah kemacetan, masjo agak ragu
apakah harus lurus atau belok. Daripada nanya Google di hape yang saya males
buat mbuka karena mumet *efek lapar*, masjo pun nanya ke orang, boncenger
sepeda motor di samping jendelanya. Nah, beres kan, langsung terjawab deh. Ke Bogor
luruuus.
Cipatat yang berliku-liku dan gelap
Memasuki Cipatat, jalanan menurun,
berliku-liku, dan gelap; minim sekali penerangan jalan. Di depan sana kok
banyak bapak-bapak tentara berbaju doreng ya? Ooo… ternyata ada truk militer
yang baru saja mengalami kecelakaan di kanan jalan. Duh, semoga tidak ada
korban.
Tak jauh dari situ kami berhenti untuk
makan malam di warung pecel lele Lamongan, ehehe… kami ngomongnya pakai bahasa
Jawa dong ya. Serasa ketemu tetangga kampung, padahal Lamongan-Jogja tuh jauuuh.
Mas bakulnya bilang, di daerah situ
memang sering banget terjadi kecelakaan, nyaris tiap hari ada. Kemarin aja ada
motor kecelakaan di dekat Alfamart di bawah situ. Sebelum itu pun ada tabrakan
bla bla bla. Weleh-weleh, kenapa bisa begitu ya? Apakah karena jalanannya
gelap-gulita dan berkelok-kelok? Si mas bakul pun nggak bisa menjawabnya. Dia
cuma mengatakan bahwa pengendara sepeda motor di sini banyak yang ngawur, srogal-srogol bahasa Jawanya. Iya sih,
yang tadi kami lihat di jalan pun 11-12 dengan cerita do’i.
Oiya, di warung sederhana ini kami makan
pecel lele. Lalapannya timun-daun selada; beda dengan di Jogja yang
timun-kol-daun kemangi. Ada “bonus” sepotong tempe goreng garing, yang di Jogja
itu dihargai sendiri sekian rupiah. Minumnya auto teh tawar anget yang gretong,
hihihi. Nasinya pulen, tapi porsi buto
ngamuk yang saya nggak sanggup ngabisin. Semua ini cuma habis Rp30.000 saja.
Si mas menginfokan, jalur Puncak Bogor
itu kalau weekend begini diterapkan
sistem buka-tutup. Owalah, iya betul. Kok kami lupa sih. Untungnya ini sudah
malam, dan kata si mas, jam 9 malam biasanya sudah dibuka kok. Oke, saat itu sekitar
jam 7 malam, jadi kami perlu mengulur waktu agar sesampainya di Puncak nanti
sudah boleh lewat.
Cianjur dan kenangan semasa kuliah
Sekitar jam 7.35 kami melanjutkan
perjalanan menuju Cianjur kemudian Puncak. Situasi jalanan yang gelap, ditambah
dengan hujan pula, rasanya jadi gimanaaa. Suasana terasa dingin dan sepi. Di depan
hanya ada satu mobil yang searah dengan kami, sebuah Suzuki Carry tua, hehe…
sesama Suzuki tua dilarang saling meledek. Karena dingin banget, AC kami
matikan. Mesin pun jadi terasa lebih powerful
ketika menapak di tanjakan. Singkat cerita, daerah Cianjur sudah terlewati
dengan salah satu kakhasannya berupa toko-toko yang menawarkan oleh-oleh
manisan dalam toples-toples kaca besar. Kami cuma lewat saja, meskipun jiwa
belanja saya meronta-ronta.
Berada di pegunungan, jalanan di sini berkelok-kelok
dan naik turun. Ingatan saya terlempar ke tahun 1996, tepat di jalan ini, saat
saya mabuk berat karena nggak tahan bantingan ke kanan dan ke kiri dari bus Kramat
Djati yang saya tumpangi dari Jogja. Waktu itu saya, tiga teman kuliah, dan
seorang dosen pendamping, sedang dalam perjalanan tugas kampus untuk
mengunjungi studio alam di Cipanas, milik Ali Shahab sutradara terkenal di masa
itu. Brosis yang tumbuh di tahun 80an mungkin ingat sinetron Rumah Masa Depan, yang tayang di TVRI
setiap Minggu siang. Nah, itu karya beliau
Nah, sedikit cerita nih. Ketika saya berkunjung, beliau sedang
memproduksi sinetron Angkot Haji Imron. Saya ditanyai oleh salah satu
kameramen, “Mbak, kalau di Jogja, sekali makan habis
berapa? Saya pingin nguliahin anak saya ke sana.” Saya jawab, “Seribu rupiah
Pak, itu sudah pakai lauk ayam, dan sudah dengan es teh.” Si bapak kaget tidak
percaya seraya merespons, “Aahh… masak? Nggak mungkinlah, kok murah banget. Pakai
tempe kalik”. Saya meyakinkan, “Eh lha memang benar segitu Pak, Jogja kan
memang murah apa-apa.” Hehehe, mungkin fenomena macam ini yang membuat
anak-anak luar Jogja ekstra bahagia kuliah di Jogja ya. Lha ortunya banyak yang
nggak tahu, at least pada saat itu
ketika informasi belum seterbuka sekarang. Ngasih jatah buat hidup di Jogja,
tapi dengan standar Jakarta. Ya bisa buat foya-foyalah. Mmmmm.... Apa ini yang menggiring Jogja yang katanya kota pelajar itu saat ini di sejumlah sudutnya berbau hedonistik? Maksud saya, dulu kota ini terasa bersahaja. Tapi kok semakin ke sini semakin banyak mall, tempat nongki-nongki, dan tempat ajeb-ajeb.
Oke,
semono ae nostalgiane. Kita lanjutin perjalanan ke Bogor.
Sampai di Bogor
Selepas Cipanas, jalan terus menurun. Dan
akhirnya sampailah kami di Kota Bogor sekitar jam 10 malam. Tinggal sedikit
lagi untuk sampai di tujuan. Intinya, kami kesasar-sasar dan nanya-nanya orang
sekian kali barulah sampai di tujuan rumah adik yang tak jauh dari perempatan Pomad,
jam 11.30 malam. Ada jalan underpass
yang tidak terbaca di Google Map, itulah yang membuat masjo salah pilih jalan. Fiuuh…
perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Alhamdulillah si Jimny tidak rewel.
Sejauh ini, itulah perjalanan terjauh kami
dengan Jimny yang berusia 31 tahun saat itu (sekarang di tahun 2020 dia sudah
32 tahun). Hikmah utama dari perjalanan ini adalah rasa percaya diri yang
meningkat. Ya, pede untuk bepergian solo, tidak harus selalu berkonvoi dengan
jip-jip teman. Asal, kondisi jip benar-benar dalam kondisi sehat, inshaallah
lancar. Setelah ke Bogor, perjalanan-perjalanan kami selanjutnya ke Jawa Barat yang
notabene berbeda budayanya jadi lebih nyantai dan tenang. Kalau nyasar, tinggal
nanya orang lokal saja. Mereka pada baik kok, jangan khawatir. Selama kita bersikap
sopan, mereka tentulah dengan senang hati mau menunjukkan jalan. Terlebih dari plat
nomor mobil kita, mereka tahu kita orang dari jauh.
Oiya,dari pengalaman kami ini ada sedikit saran untuk brosis yang berniat nge-trip ke Bogor. Pertama, hindari waktu macet bubaran kantor Kota Bandung yakni jam 3 sore sampai sekitar jam 7 malam (15.00-19.00). Kedua, khusus weekend, hindari waktu tutup jalan ke arah Puncak yakni jam 10 pagi sampai dengan jam 9 malam (10.00-21.00), kecuali anda berniat lewat jalan tikus. Emang ada? Ya ada lah! Teman saya sewaktu pulang ke Jogja pernah kejebak jam tersebut karena ketidaktahuannya. Solusinya, dia nyari tukang ojek buat memandu jalan menghindari jalan mainstream ke Puncak, bayar Rp50.000 doang.
Oiya,dari pengalaman kami ini ada sedikit saran untuk brosis yang berniat nge-trip ke Bogor. Pertama, hindari waktu macet bubaran kantor Kota Bandung yakni jam 3 sore sampai sekitar jam 7 malam (15.00-19.00). Kedua, khusus weekend, hindari waktu tutup jalan ke arah Puncak yakni jam 10 pagi sampai dengan jam 9 malam (10.00-21.00), kecuali anda berniat lewat jalan tikus. Emang ada? Ya ada lah! Teman saya sewaktu pulang ke Jogja pernah kejebak jam tersebut karena ketidaktahuannya. Solusinya, dia nyari tukang ojek buat memandu jalan menghindari jalan mainstream ke Puncak, bayar Rp50.000 doang.
So, total waktu tempuh adalah 18 jam, terhitung dari berangkat jam 04.30 pagi hingga sampai di rumah adik jam 11.30 malam. Lamo yo? Iyo. Kan ingat, katanya Jimny can't go fast, but it can go anywhere... hehe. Nah, brosis punya rencana bepergian solo keluar daerah, entah
dengan jip tua, atau terlebih dengan mobil keluaran kini, ayolah…. Yakinlah
untuk mulai melangkah.
Wassalam.
~Piet~
test
BalasHapusIzin promo ya Admin^^
BalasHapusbosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik dan menguras emosi
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~