Rabu, 24 Februari 2016

Sepatu Head Dura Dry 100 [Review: Boots Andalan Saya]


 
Holaa!
Postingan ini merupakan sambungan postingan sebelumnya tentang wadah sikil (alas kaki-red), yang biasanya saya pakai buat blusukan hunting foto, ngejip, dan CR-an.

Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, saya prefer pakai sepatu than sandal, karena faktor keamanan dan kenyamanan. Ada beberapa sepatu yang menjadi andalan saya yang tanpa disengaja berasal dari brand yang berlainan. Nah, kali ini saya akan bercerita tentang satu di antaranya yang menjadi andalan saya banget, yakni sepatu gunung (ada yang bilang sepatu trekking... whatever lah) merk Head seri Dura Dry 100. Sebelumnya, mohon dimaafkan ya brosis, ini foto-fotonya dibuat apa adanya banget. Kondisi sepatu masih luluran lumpur sisa-sisa motret JORC IV bulan Januari lalu hehe.... *ketahuan males nyuci* . Difotonya dengan penuh semangat menggunakan kamera HP Lenovo S 920. Let’s cekidot.....


Sepatu Anak-anak yang Belinya Dibungkus Kresek

Saya beli ankle boot seharga Rp 400.000,- ini di tahun 2006. Hehe... udah lama yak. Sekarang berarti sudah 10 tahun. Sebelumnya, yang ada di dalam benak saya, Head itu merk perlengkapan yang identik dengan tenis. Dulu, ayah saya punya beberapa raket tenis merk Head ini. Saya mengira, kalaupun ada item sepatu, paling-paling sepatu tenis juga, atau sepatu olahraga pada umumnya. Ketika berada di toko X itu, saya baru ngeh bahwa Head ternyata juga punya sepatu gunung. Hahaha.... sayanya aja yang kuper. Lagian, 10 tahun yang lalu Mbah Google yang jenius dan serba tahu itu belum semudah sekarang untuk ditemui dan ditanya-tanyai, jaim dia. Kudu ke warnet atau nyari wifi gretongan dulu di kantor. Henpon saya pun masih tipe candy bar yang hanya mampu buat nelpon, SMS, dan MMS (fitur ini susah dan nyaris tidak pernah saya pakai). Internet mobile dengan smartphone? Hahaiii.... masih di angan-angan :D



Tadinya saya pingin nyari merk lokal macam Eiger yang sudah saya punyai yang terbukti cukup nyaman, tetapi setelah mencari kesana-kemari kok tidak nemu ukuran yang pas, 38. Nemunya yang ukuran geday-geday, tipikal ukuran kaki cowok. Mmmm... mungkin waktu itu produk beginian masih jarang dilirik sama cewek, at least di Jogja. Jadi, para pedagang pun tidak mau gambling nyetok banyak-banyak ya? I dunno exactly, just IMO

Bagian atas terbuat dari kanvas
Okay, dilanjut. Sewaktu beli, sepatu ini sukses membuat saya qeqi, nyengir, mesem aneh, campur mengernyitkan kening. Rasa nano-nano deh. Kalau divisualisasikan secara komik, di atas kepala saya ada balloon yang berisi tanda tanya jejer lima. Mengapa? Karena keluar dari toko, saya seperti nyangking bakwan dari angkringan. Loose pack, tidak pakai kardus, paper bag, atau apa lah sebagai wadah resminya. Si mas-mas bakul hanya ngasih kantong kresek item doang ke saya. Padahal belinya bukan di pasar klithikan lho, tapi di toko perlengkapan khusus outdoor. Lupa nama tokonya, lokasinya di Jogja utara. Belinya juga dalam kondisi baru, bukan bekas. Baru sekali seumur hidup beli sepatu tanpa wadah~~~~~~
 
Samar-samar masih terbaca tulisan "children" di label lidah
Selain itu, ada satu fakta lagi yang membuat saya njenggirat sambil teriak “whattt?!” Sepatu ini ternyata sepatu anak-anak! Huahahahah... Ora majalah. I liked it... keep on buying. Di bagian lidah tertempel label yang menyatakan bahwa sepatu ini berkategori children. Aneh, children kok desain dan warnanya serius ya? Tidak imut-imut seperti sepatu anak-anak pada umumnya. Mungkin karena untuk naik gunung kali ya? Jadi tidak diwarnai colorfull bak pelangi, tidak perlu ditempeli gambar Donal bebek atau Mickey tikus, diberi lampu kerlap-kerlip bak UFO, apalagi dikasih towet-towet yang berbunyi ketika diinjek itu ^^. Ya, saya jadi ingat, saya pernah melihat seorang turis londo yang masih anak-anak pakai sepatu gunung model begini; dan semodel dengan punya saya, tidak tampak seperti sepatu anak-anak.

Alasan Beli

Alasan pertama. Di atas sudah saya jelaskan kenapa saya akhirnya beli sepatu Head ini. Intinya, saya bukan tipe orang yang brand minded. Jadi, barang dari merk apapun, jika saya suka dan cocok ya akan saya beli. Itu kalau saya punya duit. Kalau saya belum punya duit tapi udah ngidam berat? Ya saya akan menabung, sambil berharap ketika duitnya sudah terkumpul, barang incaran masih ada.
 
Hmmm quite nice, right? Right...! Hehe
Alasan kedua. Dalam perburuan sepatu yang sudah memakan waktu beberapa hari itu, Head ini merupakan satu-satunya sepatu yang ukurannya pas untuk kaki saya. Dari sejumlah toko yang saya datangi, ternyata tidak ada pilihan lain bagi saya. Pilihannya hanya take it or keep your money.
 
Jangan hiraukan lumpur keringnya. Fokuslah pada sepatunya saja pemirsah....^^
Alasan ketiga. Kebetulan banget saya suka dengan modelnya yang boot. I love boots. Warnanya juga bagus; perpaduan beige, abu-abu, hitam, dan putih. Saya pun menyukai lubang talinya yang etrbuat dari metal, tampak kuat dan kece. Solnya pun agak tinggi sehingga saya yang imut liliput  tidak tinggi ini jadi langsung tambah tinggi beberapa centi. Hehehe. Perkara peninggi badan instan ini, bisa ditambahkan menjadi alasan yang keempat :- )
 
Lubang tali terbuat dari metal, saya suka!
Alasan kelima. Sepatu ini looks sturdy and feels comfy. Saya mencoba memakainya kiri dan kanan, kemudian dirasakan untuk berjalan di dalam toko. Rasanya pas banget di kaki saya dan nyaman buat berjalan. I had no complain about it.

Alasan keenam. Budget. Harganya yang Rp 400.000,- tidak membikin kantong bolong. Cukupanlah. Alhamdulillah saya tidak perlu menabung kelamaan untuk memboyongnya dari toko. Tidak seperti sepatu Docmart saya, yang butuh effort, yang inshaallah akan saya review next time.

Kualitas

Dengan harga yang menurut saya tidak bisa dikatakan murah waktu itu, aneh saja, kok tidak ada kardus pembungkusnya. Setelah saya cek di internet, ternyata harga sepatu Head berkisar satu jutaan... dan lebih. Huahahah..... Pantesan, wajar kalau yang ini cuma dibungkus kresek. Mungkin colongan dari pabrik  barang rijekan kali ya. Hihihi.....
Bahan suede warna beige, kalem
Jahitan tambahan oleh tukang sol di sekeliling tulisan "Head" merah

Pepatah Jawa “ono rego, ono rupo” itu sepertinya mulai terbukti. Setelah beberapa bulan pemakaian, lem di sebelah atas lis sol tampak mesem. Hmmm..... it’s okay. Terus, saya lem seadanya dengan nasi  lem, beres! Besoknya dipakai, lha kok mesem lagi. Besok dan besoknya mesemnya kian sumringah, ketawa malahan. Eeh... ketawanya ngajak-ajak sebelahnya pula. Saya lem lagi, tapi ada bagian yang ngeyel banget, tidak mempan dilem. Akhirnya dengan desperado *kebayang Antonio Hujanderas tembak-tembakan pakai gitar*, saya mingkemin pakai Alteco! dan mingkem coy.... tapi gawat dah, bisa “krekk!” rusak ini sepatu. Alteco kan lem keras, yang bukan dimaksudkan untuk ngelem sepatu.

Dari ngobrol dengan seorang teman, akhirnya sepatu ini saya jahitkan di tukang sol sepatu ngider langganannya. Pada sejumlah titik terutama pada sol atas, saya minta dilem terlebih dahulu baru dijahit. Pertahanan ganda, brosis. Hahaa. Saya perhatikan cara kerja si tukang, wedew.... ternyata dia kurang berhati-hati, sepatu saya dijahitnya dengan tidak cermat. Hampir saja dia meng-cut tulisan merk untuk memudahkannya menjahit, sudah mepet banget itu.
Dijahitnya mepet banget, nyaris melanggar garis marka bertuliskan "Head"
Saya yang tadinya ada di situ untuk menunggui akhirnya perlu mengawasi lebih ketat. Bukannya gila merk, tapi label merk itu merupakan identitas sekaligus bagian dari estetika sepatu je. Saya pun jadi senewen hingga perlu memperhatikan detail demi detail proses menjahitnya. Fiuuuh.... penat bercampur dag dig dug. Alhamdulillah, setelah dijahit, sepatu pun menjadi kuat dan siap diajak jalan-jalan lagi. Lis sol yang tadinya ketawa dan mesem pun jadi pada mingkem semua.

Kenyamanan

Sepatu ini pas banget di kedua kaki saya. Untuk melangkah, menapak, jinjit, dan menekuk pun terasa nyaman. Yang paling saya sukai adalah sol bawahnya yang ngegrip *mungkin dia bertipe MT merk Maxxis Mudzilla ya*. Diajak nginjak apapun do’i oke saja. Batu berlumut terendam air sungai, semak belukar, rumput basah nan licin, duri putri malu, duri bambu, ubin, pasir, aspal....  semuanya no problemo. Bobotnya 1.100 gram (1,1 kg), dengan pembagian berat yang merata, menjadikannya terasa ringan untuk melangkah. Tidak berasa seperti ada yang menggelayuti dan menggondeli kaki.
Seri Dura Dry
Sesuai dengan namanya “Dura Dry”, sepatu ini pun cepat kering. Pernah saya pakai nyemplung sungai untuk mendapatkan momen dan angle yang baik saat CR-an. Ketika mentas, rasanya tidak nyaman karena basah kuyup. Digunakan untuk beraktivitas, tau-tau do’i kering sendiri.
 
Sol sepatu "MT" vs sol "extreme" kaki Pipo kucing saya ;)


Sol bawahnya sekelas ban MT *atau extreme yah? Xixixi...* Untuk segala medan, sepatu ini siap-trabas. Medan halus, kasar, kering, basah; ayoook saja. Sangat kooperatif deh, nyenengin.

Kekurangan

Nyaris tidak ada. Kerusakan kecil hanya dijumpai pada ngelupasnya sebagian sol atas efek dijahit sama tukang sol sepatu dan retak kecil sol atas dekat jahitan bawaan pabrik. Itu pun baru muncul belakangan ini, setelah memasuki usia 10 tahun sejak dibeli.

Cuwil bin ngelupas dikit, but it's still okay
Retak dikit di dekat jahitan pabrik. Mungkin karena dia sudah mulai tua...
Retak di bagian belakang, dekat jahitan tukang sol

Kesimpulan

I love it. Ini adalah sepatu andalan yang paling sering saya pakai CR-an, karena paling nyaman dan paling oke diajak bantingan. Awet pula, sudah 10 tahun masih bagus dan nyaman.  Bagaimana dengan brosis sekalian? Punyakah pengalaman seru tentang sepatu andalan?

Merk: Head - Dura Dry 100
 Lokasi pembuatan: Indonesia
Jenis: trekking shoes-ankle boots
Kategori: children
Ukuran: 38
Bahan utama: suede dan kanvas.
Jumlah lubang tali: 4 pasang + 2 pasang kaitan metal
Berat: 1.100 gram
Harga: Rp 400.000,-
Tahun pembelian: 2006
Nilai: 4,5 dari 5

~Piet~

Minggu, 21 Februari 2016

Sepatu buat Blusukan


 
Aloha! Yuuuk ngobrolin alas kaki buat ngejip country road-an. Jika anda going outside buat CRan, paling suka pakai alas kaki apa?


Saya sendiri lebih cocok memakai sepatu boot dengan sol yang ngegrip. Why? Karena saya tidak ingin kaki saya kenapa-kenapa: lecet, tergores, dan gosong kena panas terik matahari, hehe. Saya juga ingin aman dan nyaman manakala harus melangkah di permukaan yang berbatu, berlumpur, berair, bersemak, berduri, berlumut, atau pun berpasir. Halah.... kok heboh amir sih? Emangnya saya CR-annya pake ikut ng-rescue ndorong-ndorong jip? Atau ikut narik-narik seling winch? Atau ikut nyetrap-nyetrap gitukah? Ooo,Tentu tidak! Saya masih terlalu cemen untuk itu... ehehe.



Dalam CR-an, jobdes saya yaitu kenek, atau co-driver buat mas bojo. Sebenarnya, saya bisa aja sekedar duduk manis di jok depan kayak nyonya-nyonya besar... hihihi  yang pake rok mekar a la Nona Missy, dan bawa payung putih berenda-renda kayak noni-noni Belanda.   Biar masjo aja yang rajin naik turun jip, untuk melihat dan memastikan kondisi trek di sekitar. Haish!.... kayak team offroad profesional aja. Wong Cuma CR-CR ringan ini kok, hehehe ^_^. Tapi saya memilih untuk menjadi kenek yang aktif, supaya bisa menikmati atmosfer CR-an semaksimal mungkin, biar dapat feel-nya.... *Halah...* Makanya, saya suka sok sibuk ikutan naik turun jip juga  sekalian diet...



Selain itu, yang lebih membikin heboh tuh, sok sibuknya saya motret kesana-kemari. Kadang saya harus berlari-lari ke depan sana, untuk memotret barisan jip dari kejauhan. Kalau dari dekat, barisan jip kadang tidak dapat ter-capture dengan baik. Kadang saya pun harus naik ke tempat-tempat yang tinggi, untuk mendapatkan angle yang ciamik. Belum lagi kalau harus berpijak di permukaan yang licin. Untuk itu, saya perlu memakai alas kaki yang tepat supaya kaki dan badan merasa aman dan nyaman. Lho kok badan, apa hubungannya? Ada dunks. Jika kaki aman dan nyaman dalam menapak, keseimbangan badan pun jadi lebih terjaga. Kalau tidak, badan bisa limbung dan terjatuh. Bahaya, kan? Apalagi saya nenteng kamera. Waah, saya tidak ingin cilaka dobel dong.



Dalam beberapa CR-an, saya pernah memakai sendal jepit Swallow warna merah favorit saya. Asli, itu rasanya merdeka, bung! Nyaman banget.... isis abis, dan enteng pula. Untuk nyebur-nyebur di kali, woles aja. Untuk wudu pun tinggal kemon. Sayangnya, tidak bisa melindungi kaki saya. Pernah telapak kaki saya tergores duri saat motret dari view point semak. Tidak parah, cuma sedikit perih. Kalau saya tidak hati-hati melangkah, bisa saja kaki saya amsyong diserbu duri hihihi... Duri-duri itu merupakan salah satu faktor yang membuat pergerakan saya tidak lancar.



Pengalaman saya yang lain, masih dengan sendal jepit Swallow favorit itu. Pernah suatu saat jip saya berhenti di trek, saya pun turun buat motret. Apesnya, begitu membuka pintu kiri jip dan menjejakkan kaki keluar, kaki saya mendarat tepat di trek tanah basah yang banyak unthuk cacing! Hiiiii.... Geliiiii. Berasa risih gatel gimanaaa gitu. Iya, unthuk cacing itu adalah rumah cacing, yang berbentuk gumpalan-gumpalan kriting dari tanah. And you know what happen next? Saya sukses   cacingan pemirsah.... Heuheuu.  Tampaknya telur-telur atau larva cacing itu ngikut masuk ke dalam tubuh saya lewat pori-pori kaki, huaaaa.... Syerem khaan....  *bikin merinding*. Asli, ini kisah nyata, yang jangan ditiru x_x. Alhamdulillah, setelah saya minum atau mengonsumsi apa (lupa, kayaknya es degan), akhirnya sembuh. Fiuuuhhh.......

  

Maka dari itu, besok-besoknya, saya tidak lagi-lagi deh pakai sendal jepit. Terlalu berisiko, brosis. Saya menyayangi kaki dan tubuh saya. Cukuplah pengalaman yang kemarin itu menjadi pelajaran berharga. Pokoknya saya harus pakai sepatu.



Nah, inilah sepatu-sepatu boot yang biasanya saya pakai buat CR-an. Tidak semua sepatu ini menjadi favorit CR-an saya, dikarenakan oleh sejumlah hal. Urutannya dari yang paling jadul, yang paling duluan dibeli. Review or cerita pengalaman pemakaiannya, menyusul yak... hehe. Inshaallah secepatnya ;)



1. Eiger
Maaf belum sempat poto, hiks. *Sudah larut malam*. Sudah nyoba nguprek-uprek file di komputer pun kagak nemu.... hehe.

2. Head Dura Dry










3. Doctor Martens 1460 Women - Cherry Red Smooth 






4. Adidas Neo Series






~Piet~

Kamis, 18 Februari 2016

Jeep atau jip?


Seorang follower manca negara mengomentari foto postingan saya, di Instagram @piett12, dengan nada ilfil, “Aje gile jon, jelas-jelas Suzuki gitu… kok pake tulisan Jeep?!?!”

Hmm.... What do you think, brosis?

Subjek di dalam foto itu adalah foto Suzuki Jimny teman. Sudah dari dulu saya merasakan hal yang sama dengan apa yang si mister itu katakan. Cuma, saya ya no komen saja kalau di sekitar saya ada mobil teman atau orang lain yang bermerk Suzuki, tetapi menggunakan emblem Jeep. Suka-suka dia dong. Dia mau pake emblem Hummer, Toyota, Hino, Honda, Scania, atau yang lain. Itu bukan urusan saya. Jadi, walaupun sebenarnya ada sesuatu yang ganjil, tapi tidak perlulah saya dengan sotoynya mbilangin ke orangnya, “Eh mas, mas.... emblem sampeyan itu salah. Mosok Suzuki pake emblem Jeep.”  *lari ditimpuk sekel* Emangnya saya siapa, emak-emak cupu kok ngomongin Jeep/jip. Hihihihi *ketawa a la Suzanna*

Karena saya menyukai jip, walaupun saya bukan offroader, tapi saya punya kekepoan tersendiri tentang jip dan dunia offroad *daripada ngepoin orang*. Yaa modal suka thok kok rasanya kurang cukup ya. Saya merasa butuh menambah wawasan. Minimal, saya bisa nyambung kalo diajak ngobrol sama suami tentang jip tua bangka kami, bengkel, dan CRan... hehe. Walhasil, tahun lalu saya melakukan penelitian kecil-kecilan tentang fotografi offroad, yang didukung oleh tempat mburuh saya. Well, singkatnya, dari beberapa buku, saya menemukan keterangan yang mendukung hipotesis tebakan awal saya, yaitu istilah Jeep (diawali huruf besar) dan jip (huruf kecil semua).

Jip
-Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1. mobil kecil yang kuat, serba guna, bentuknya segi empat, lebih tinggi dari sedan, beroda empat, untuk 4-10 orang  
2. mobil jenis jip. Tetapi lebih besar dan mewah
(Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007: 475).

-Ensiklopedi Otomotif:
sebutan yang dipakai untuk kendaraan gardan ganda atau 4x4
       (Nugroho, 2005: 141).

-Kamus Umum Bahasa Indonesia
         sejenis mobil yang kuat, bentuknya segi empat, kendaraan yang mulanya digunakan pada Perang Dunia II              
         (Badudu dan Zain, 1996: 579)

Jeep
-Ensiklopedi Otomotif:      
 “…..sedangkan Jeep adalah merk bagi kendaraan gardan ganda, misalnya Wrangler dan Cherokee yang merupakan tipe yang dirilis oleh Jeep. Kata jip sebenarnya sudah salah kaprah sejak generasi 1945. Pada zaman revolusi kemerdekaan, mobil yang populer adalah Jeep yang berpenggerak 4 roda (4 wheels drive), yang antara lain bertipe: Bantam, Willys, dan M38. Selanjutnya orang mengenal seri kendaraan tersebut sebagai jip. Ketika masuk kendaraan berpenggerak 4 roda dari merk lain (waktu itu yang terkenal merk Mitsubishi) yang bentuknya mirip dengan Jeep yang sudah ada sebelumnya, orang lantas menyebutnya sebagai jip. Memang setelah Perang Dunia II, Mitsubishi membeli lisensi Jeep. Salah kaprah itu tetap berlanjut hingga sekarang.” (Nugroho, 2005: 141).

Jadi, kesimpulannya, jip itu jenis kendaraan; sedangkan Jeep itu merk. Adapun saat diucapkan kok ada kesamaan bunyi atau homofon, hal ini memang tak terlepas dari faktor asal-muasal atawa sejarah. Jeep merupakan merk kendaraan darat yang handal dan mulai terkenal di saat berkecamuknya Perang Dunia II (sampai saat ini pun tetap handal dan terkenal). Kemampuan Jeep terbukti sangat sesuai untuk keperluan perang, yang tidak hanya menggelinding on-road saja, namun juga tahan banting off-road di medan-medan kasar yang tak terjangkau oleh mobil biasa (selain panser tentunya).

Kita tarik ke zaman baheula dulu yuuuk? Yuuuuk.... Dahulu *sampai sekarang* negeri kita yang kaya raya ini telah membuat ngiler bangsa asing untuk bercokol dan mengeruk kekayaan yang melimpah-ruah. Perang dan perang pun telah akrab bagi bangsa ini untuk mengusir mereka para penjajah londo itu dari Nusantara, sejak zaman raja-raja yang sifatnya perlawanan lokal, hingga zaman tokoh-tokoh pergerakan nasional yang mencita-citakan bersatunya wilayah Nusantara jajahan Belanda ke dalam NKRI. Belum lagi perang melawan penjajah Jepang yang datang belakangan, dan Sekutu yang ikut-ikutan datang “melu bancakan”, yang diam-diam ternyata diboncengi oleh Belanda *kebayang londo-londo mbonceng sepeda onthel reyot...*.

Nah, salah satu kendaraan yang dipakai tentara untuk wira-wiri ya super utility vehicle bermerk Jeep itu. Oleh karenanya, masyarakat kita sudah tidak asing lagi dengan kendaraan bermerk Jeep, yang dilafalkan “jip” itu. Ketika selanjutnya muncul kendaraan merk lain yang berkemampuan sejenis, masyarakat kita yang terlanjur akrab dengan Jeep (dengan lafal “jip") tetap menyebut kendaraan baru tersebut dengan lafal “jip” juga.

Ingatkah anda tentang "riben" dan "Rayban"? Nah, persis seperti itu! Kita jamak menyebut kaca mata berlensa hitam dengan “kaca mata riben”. Salah kaprah, sering di dalam bahasa tulis dijumpai kata “kaca mata rayban”, walaupun merk kaca mata yang dimaksud jelas-jelas bukan “Rayban”, melainkan Oakley, Gucci, Levi's, atau merk lainnya . Kita juga acap kali menyebut kaca jendela yang gelap dengan sitilah "kaca riben", dan ada yang menuliskannya "kaca Rayban". Bingung? Bhihihik.... coba balik kaos anda, dan anda akan tetap bingung :))

Pasta gigi merk Odol. Sumber: atlas-repropaperwork.com



Hal sejenis juga ditemui pada kata “odol” untuk penyebutan pasta gigi. “Odol” sendiri adalah merk pasta gigi buatan Jerman, yang dibawa masuk ke Indonesia oleh tentara penjajah Hindia Belanda. Walaupun sudah berpuluh-puluh tahun Odol tidak beredar di Indonesia, namun "odol" telah melekat di hati kita sebagai kata generik untuk menyebut pasta gigi (sumber: Wikipedia)

Iklan Odol. Sumber: dhmd.de
Pun demikian halnya dengan penyebutan aqua untuk air mineral, softex untuk pembalut wanita, pempers untuk popok bayi, indomie untuk mi instan, rinso untuk sabun cuci, dan sanyo untuk pompa air. Kenapa bisa demikian? Ya karena lebih enak saja untuk diucapkan; lebih singkat, padat, dan jelas menjurus ke benda yang dimaksud. Hehehe.... mungkin anda bisa menambahkan merk-merk lainnya, brosis....

Lha, lantas bagaimana dengan fenomena emblem Jeep itu tadi? Saya sendiri belum pernah mengadakan penelitian khusus tentang itu, tapi menurut dugaan saya, hal tersebut dikarenakan oleh faktor preferensi yang bercampur dengan sedikit kekurangtahuan (mohon maaf, CMIIW). Mungkin mereka menganggap emblem Jeep itu keren, dengan font type yang sesuai selera, dan dengan bahan logam yang bagus pula *menurut saya juga iya :)*. Membaca percakapan di media online, saya pun sering menjumpai orang-orang menuliskan kata: “jeepku”, “jeepmu”, “jeep kita”, "jeep" klonthang, dan sejenisnya, dengan kata  "jeep" padahal mobil yang sedang dibahas tersebut bermerk Suzuki dari jenis Katana dan Jimny. Jadi, untuk menyatakan bahwa mobil mereka tersebut berkategori jip, mereka memilih kata "jeep". Untuk alasan yang sama, mereka pun memilih emblem bertuliskan "Jeep" untuk ditempelkan di badan mobil. Emmmm.... Selain itu, saya kira ini juga dikarenakan oleh mudahnya emblem "Jeep" ditemui di pasaran, daripada emblem  "jip".

Bagaimana dengan pendapat brosis sekalian, adakah yang berpendapat lain? Atau sama dengan saya? Hehee.... Monggo, silahkan sharing.


~Piet~



Referensi:  
1. Badudu, J.S. & Sutan Mohammad Zain, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2. Nugroho, Amien, 2005, Ensiklopedi Otomotif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
4. www.atlas-repropaperwork.com
5. www.dhmd.de
6. www.wikipedia.com

Minggu, 14 Februari 2016

Nonton IOX 2016 Jogja-Bali


Haaiiii..... Apa kabar brosis hari ini? Semoga semua baik-baik saja dan selalu sehat. Saya mau berbagi cerita tentang pengalaman singkat saya nonton IOX JOLI hari pertama. Saya bertutur secara kronologis saja ya, supaya bisa runtut, sekaligus mengasah ingatan. Maklum... umur sudah semakin bertambah *bilang tua aja keles :D* , hard disk kian penuh, dan memori pun memudar. Hehe...

Gara-gara Kudet dan Salah Baca Tanggal

Sabtu pagi itu saya bangun siang jam 9.... hehe…*istri pemalas* Yaaa kan lagi libur. Lagian, sebagi seorang muslim, saya sudah sholat subuh. Makanan untuk sarapan suami juga sudah tersedia *sisa kemaren... hihi* Jadi, saya mau bangun jam berapa pun ya ora popo to. Terlebih, saya tidak ada rencana pergi ke mana-mana. Tiba-tiba masjo alias suami mbangunin dan mengajak saya ke Altar (Alun-alun Utara Kraton Jogja) untuk nonton IOX. Balik! Mata saya yang masih kriyip-kriyip, nyawa pun belum 100% balik ke badan... mendadak langsung sigap trengginas. Siap, komandan... laksanakan!!! Langsung deh mandi de el el dan cuss menggelindingkan ban jip merah hitam ke Altar.

Itu tadi gegara masjo BBMan dengan seorang teman yang menginfokan tentang acara IOX yang start dari Altar hari Sabtu, 13 Februari 2016 tersebut. Sebetulnya, saya sudah tahu tentang event IOX ini dari tahun lalu, karena saya mem-follow Instagram IOX. Cumaa, saking sudah lamanya, saya jadi tidak ngeh kalau itu tanggal 13. Seingat saya masih ntar tanggal 15 je. Ndilalah, saya juga jarang banget nginstagram akhir-akhir ini. Jadi kudet deh :(

Seciut wawasan saya, IOX merupakan singkatan dari Indonesia Off-road eXpedition, yang merupakan acara adventure offroad tahunan. Pesertanya dari seluruh Indonesia, bahkan kalau tidak salah, ada yang dari manca negara juga (CMIIW). Untuk tahun ini, IOX menempuh rute Jogja-Bali. Start di Jogja, finish di Bali, dengan jarak tempuh 1.700 km dan total waktu 16 hari. Wuiiih! Kebayang nggak tuh, brosis.... Mantab, kan! Tahun lalu gelaran IOX 2015 menempuh rute Jakarta-Semarang-Surabaya, sedangkan tahun-tahun sebelumnya, ada yang di dalam Sumatra, ada pula yang Sumatra-Jawa. Nah, tahun ini mumpung Jogja yang menjadi tempat strart-nya, maka saya yang berdomisili di Jogja  tidak ingin melewatkan event bagus ini.

Sampai di dekat Alkid (Alun-alun Kidul atau selatan), tidak sengaja kami ketemu dengan teman yang tadi BBMan dengan masjo. Dia barusan dari Altar hendak pulang. Berhentilah kami di tepi jalan, ngobrol sebentar. Ternyata dia kecelek dan sudah telat, brosis. *berapa bulan?* Waduuuh... Apalagi kami, yang baru mau akan kesana, jelas telat kuadrat. Huhuu.... Rombongan IOX sudah berangkat semua ke arah Kulonprogo. Altar pun sudah sepi! Huaaaaa.....

Ngontak sana-sini, ternyata tidak ada yang tahu lokasi trek IOX persisnya di mana. Ya sudah. Kepalang tanggung, sudah mandi, sudah keluar rumah, akhirnya dengan sadar diri dan tidak begitu menaruh harap bisa ketemu rombongan IOX, kami pun lanjut menggelinding ke arah Kulonprogo. Niatnya nonton offroad diubah menjadi jalan-jalan saja, refreshing di hari Sabtu, dan ngalusin ban ^_^.


Perjuangan Menemukan Rombongan Jip IOX JOLI

Dari info yang minim tadi, disimpulkan bahwa *bahasanya kayak rapat paripurna RT ya... hihii* rombongan IOX sedang menuju Borobudur via Samigaluh. Aha! Samigaluh kan lokasi JORC IV bulan Januari lalu, yang saya sempat nonton itu. Hehehe.... asiiiik. Ada secercah harapan untuk ketemu nih, brosis. Singkat cerita, di tepi jalan, kami melihat beberapa orang dengan pakaian trail. Kami berhentilah dan hendak tanya-tanya, barangkali mereka melihat rombongan jip offroad yang barusan lewat. Eh, tidak disangka, ternyata mereka tidak cuma melihat.... mereka bahkan ikutan event ini sebagai peserta kategori Dirt Bike, surprise! Oh iya, kostumnya beridentitas event ini. Truk support-nya pun memiliki grafis yang senada dengan identitas trail mereka. Saya melihat sekilas ada tulisannya “Kalsel” di badan truk. Wuiiiih... mereka sepertinya berasal dari jauh, dari Kalimantan Selatan. Jadi terbayang sosok pahlawan nasional Pangeran Antasari, yang dulu berjuang melawan penjajah Belanda *pelajaran Sejarah di SD*, dan Chef Agus runner up Master Chef Indonesia itu.

Okei, masih melanjutkan perjalanan dalam rangka menemukan rombongan jip IOX. Byuuuh, saya serasa seperti detektif kesiangan aja ya. Atau seperti rombongannya Sun Go Kong yang berjalan ke barat mencari kitab suci? Bwahahahaaa...

Spanduk ijo itu masuk ke kanan...
Di pinggir jalan yang sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas kehadiran jip offroad, kami bertanya kepada seorang ibu pedagang kios.... dan ternyata.... belum lama tadi telah melintas jip-jip offroad ke arah sungai. Voila! Siaaap, buk! Kami kejar! Beloklah jip kami ke kanan, masuk kampung sedikit, dan mentok sungai. Ada tapak-tapak ban jip offroad, pemirsah. Pencarian pun jadi semakin mengasyikkan dan seru... hehehe. Di seberang sungai itu, agak jauh di sana, saya melihat penunggang trail peserta IOX. Lha jip nya mana? Kok tidak tampak. “Tadi jip-jip offroad sudah pada nyebrang ke sana, Mbak, yaaa ada sekitar 30 an jip.” Begitu kata ibu-ibu yang saya jumpai di tepi sungai. “Mereka menuju ke arah sana.... bla bla bla.”

Cuma ketemu dengan jejak tapak-tapak bannya saja

Nah.... ke arah sananya itulah yang kami kejar lewat jalan biasa, jalan aspalan maksudnya. Bisa saja kami nyebrang sungai, tapi itu tidak kami lakukan karena kami tidak ingin kelamaan menghabiskan waktu. Ini bukan saatnya CRan, walaupun saya penasaran dengan sungai itu hehehe... Selain itu, kami juga takut jikalau nanti menjadi pengisruh trek manakala ada peserta IOX yang tiba-tiba datang di belakang kami, karena selepas sungai, saya lihat masih ada trek jalan tanah kecil yang tampak basah meniti tepian sawah, yang berujung kemana, tidak kelihatan.

Dari info si ibu tadi, jip pun kami puter balik masuk lagi ke jalan raya. Terus bablas entah kemana, saya gak tau namanya. Terus melihat bekas tapak-tapak ban jip offroad lagi, kali ini di aspalan, di mulut gang tanah. Tampaknya mereka tadi barusan keluar dari trek di gang tersebut, lalu masuk jalan aspal ini. Tanya-tanya lagi kami ke orang-orang yang lagi di angkringan dekat situ. Mereka dengan semangat 45 pun memberikan petunjuk arah yang seadanyalah. Hihihi...... seruuu seru.


Ketemu Jip-jip Oranye IOX JOLI

Perjalanan masih berlanjut lagi dengan berbekal intuisi *dan bakat James Bond saya*. Akhirnyaaaaa pencarian berhenti. Di tepi jalan di mulut gang kami melihat sebuah jip offroad oranye fully dress up bertuliskan IOX! Olala.... Riang tak terkira! sampe jogetan dan koprol-koprol segala * bohong pol, jangan percaya :D* 

Fiuuuh... Parkir deh jip kami di pinggir jalan, kemudian menghampiri dan bertegur sapa, kulo nuwun dengan dua orang bapak-bapak berbaju oranye di pos kamling di tepi jalan. Mereka ternyata official IOX bagian medis. Dan dengan lugu dan cupunya sambil menunjuk ke arah barisan jip yang berada di dalam gang, saya bertanya, “Itu dari team mana, Pak?” Jawab mereka, “Wah... dari mana-mana, Mbak, dari seluruh Indonesia.” Hehehe... Padahal maksud saya, beberapa jip yang tampak di barisan paling belakang itu, team apa namanya, dari daerah mana. Xixixixii.

Barisan jip-jip IOX
Sependek pengetahuan saya, nama-nama team offroad peserta IOX Jogja-Bali ini merujuk pada fauna-fauna hebat khas Indonesia, yang berkesan gagah dan kuat, seperti: Team Buaya, Team Gajah, Team Macan, Team Harimau, Team Celeng, Team Rajawali, dan sejenisnya. Oh iya, menurut Bapak-bapak medis tadi, mereka juga ikutan nyemplung trek, jika kondisi treknya memungkinkan. Jika treknya parah bin extreme ya mereka milih mlipir lewat jalan biasa. Betul sekali, trek extreme tentu lebih berisiko terhadap kesiap-sediaan mereka melaksanakan tugas sebagai team medis.

Ada nama-nama offroader di tiap-tiap jip
"Gak apa2 ayah offroad, asal... Jangan kawin lagi!!"

Baiklah, cerita selanjutnya, jip pun kami parkir di situ, dengan bilang “nitip” ke ibu-ibu (ibu-ibu lagi :D) penjual mi ayam, kami pun jalan kaki masuk gang, melipir melewati barisan jip-jip IOX yang semuanya berwarna oranye, yang sedang ngantri untuk masuk trek sungai. Tak lupa saya dan masjo berucap “kulo nuwun” dan “permisi” kepada para offroader yang kami temui dan lewati. Bisa ditebak *siapa pula yang nebak?* saya begitu excited, menyaksikan jip-jip offroad yang semuanya fully dress up itu, full perbekalan, dan full piranti recovery. Woww! Terasa kental aura gaharnya. Tersimpan energi yang siap diledakkan di trek offroad nanti. Dan saya merasa, jip Jimny saya teramat sangat cupunya, ibarat bumi dengan langit. Hehehee. Tak apalah, yang penting sehat ;)

Luapan energi 4WD
Warna oranye cerah mendominasi sungai

Nonton Offroad IOX Day 1

Semua jip tersebut berwarna oranye atraktif, warna wajib IOX Adventure. Kostum para offroadernya pun oranye, di punggung terdapat tulisan "day 1". Ah, untunglah oranye. Coba kalau hitam, abu-abu, atau navy blue.... tentu akan membuat saya lebih kesulitan untuk memotret. Bukannya jelek, tidak, tetapi karena warna-warna tersebut kurang fotogenik bagi saya.

Wana jip-jip dan kostum para offroader sama: oranye
Outfit yang matching. Saya tertarik dengan jam tangan beliau yang oranye itu... hehe


Mlipir-mlipir cantik, sampailah saya di sungai. Waahhh! Di sini saya lebih excited lagi, karena bisa nonton aksi jip-jip yang menyeberang sungai. Saya lihat, sungai itu tidak seberapa dalam. Cuma, banyak bebatuan vulkanik yang berukuran sedang dan besar. Saya rasa, itulah yang menjadi handycap di trek ini. Nun jauh di sana, ada sebuah jembatan. Tampak cukup banyak penonton di sana. 

Menyebrangi sungai di tengah rintik hujan
Sepatu saltum saya plus lumpur yang sudah mengering. Ibarat ngoffroad pakai ban AT... ahihihi

Memasuki tengah hari, masjo memutuskan untuk cabut pulang, walaupun sebenarnya saya masih ingin tinggal. Ya, saya harus deal dengan keadaan. Kami belum Sholat Dzuhur, sedangkan kami tidak membawa alat sholat karena tadi terburu-buru berangkat. Pake sepatu pun saya lakukan di perjalanan. Pun sepatunya salah pulak! Sepasang sneaker yang tidak tahan banting, tidak ngegrip di trek licin. Lha niatnya tadi kan cuma mau nonton start doang di alun-alun... Huhuu. Terlebih cacing-cacing di perut mulai pada demo, dan kami tidak sempat membawa bekal, hanya sebotol air mineral. Apalagi packing perbekalan seperti halnya untuk CRan.... waah tidak sempat sama sekali. Ini masih diperparah dengan risiko alat-alat tukang poto kami yang kurang mendukung untuk cuaca yang tampaknya akan turun hujan. Walaupun lensa saya weather proof, tetapi kamera saya tidak, dan itu berbahaya jika dipaksakan untuk memotret hujan-hujanan. Kamera masjo pun setali tiga uang. Jadi, ya sudah. Relakan... Saya tidak bisa menonton IOX lebih jauh lagi *nangis kingkong*

Menarik strap
Stuck, terpaksa di-strap
Memberikan aba-aba
Kami meneruskan langkah menuju parkir jip, warung mi ayam. Melewati seorang offroader, kami sempat nanya rute berikutnya lewat mana. Dengan ramah, beliau menunjukkan buku peta tulipnya, lalu membukakan beberapa halaman. Hanya itu yang bisa beliau lakukan. Saya tahu, beliau ingin memberi tahu, andai kata bisa. Namun apalah daya, beliau bingung sekarang berada di daerah mana, dan tidak paham apa nama kampungnya. Hihihihiii... Sama, Pak, saya pun demikian. Sama-sama bingung kita, Pak. Hahahaha. Pokoknya ntar ngikutin tulip aja dah, untuk selanjutnya finish Day 1 di Borobudur.

Mendung di langit yang sedari tadi sudah bergelayut, kini kian menghitam. Rintik-rintik gerimis pun mulai berjatuhan. Beberapa jip terlihat masih ngantri untuk nyebrang. Sampai saya melihat sebuah pemandangan yang sungguh menakjubkan dan mengharukan hati saya sebagai hamba Allah: Offroader sholat. Empat orang offroader sedang sholat berjamaah di rerumputan.Subhanallah.....

Selesai salam (Motretnya cepet-cepetan, hasilnya miring. Saya pikir saya sudah ketinggalan momen)
Ternyata mereka bangkit dan takbiratulikhram lagi (sholat jamak)
Cepat-cepat saya potret karena hujan gerimis turun semakin deras, lalu lari menuju jip saya... dan mereka tetap lanjut sholat
Tampaknya mereka sedang mengerjakan sholat jamak, Dzuhur dan Ashar. Tidak peduli gerimis jatuh semakin deras, mereka tetap lanjut sholat. Subhanallah, di tengah kesibukan dan keasyikan ngoffroad, mereka tetap ingat akan kewajiban terhadap Sang Pencipta, Allah SWT. Itu yang membuat saya terharu, sekaligus salut. Mereka seolah berkata bahwa dunia ada porsinya, akhirat juga ada porsinya. Senyampang dengan itu, saya pun jadi teringat perkataan seorang teman yang ketemu di mesjid, di tengah-tengah kesibukan acara jip-jipan, “Kita ini hidup, Dia yang memberi. Kita bisa mainan kayak gini (jip-jipan), itu juga Dia yang memberi. Apa ya layak, ketika kita disuruh melakukan perintah wajib-Nya, yang gaaampang ini.... kok nggak mau.”

Dedikasi offroader. Memperbaiki jip yang bermasalah, tidak perduli harus basah-basahan di tengah arus sungai dan di bawah rintik hujan
Stuck di tengah sungai
Terpaksa harus di-winch ke tepi sungai
Menemukan winching point di pohon
Tarriik Maaang......!!!
Well, dilanjutkan ceritanya ya. Dalam satu atau dua menit saja, gerimis tadi sudah berubah menjadi hujan yang semakin deras. Saya pun lari-lari di tengah hujan  kayak pilem India  menuju jip. Sebelum pulang, kami menyempatkan melewati jembatan yang banyak penontonnya tadi. Hujan cepat banget mereda, berganti dengan gerimis lagi, sehingga saya berani mengeluarkan kamera lagi, membungkus kamera dengan slayer, dan membaur nonton dengan penduduk sekitar. 

Para penonton offroad yang selalu antusias, walaupun hujan tetap menonton
  
Penasaran sedang berada di mana, saya pun bertanya kepada salah satu penonton, seorang ibu (ibu-ibu lagi), “Ini namanya sungai apa, Bu?” Jawab si ibu, “Sungai Pendem, Bu.” Alamaakk saya dipanggil Bu. Oooo.... Jadi, sungai ini masuk ke dalam teritori Dusun Pendem, Desa Samigaluh, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Menurut si ibu, jembatan ini pun namanya sama dengan nama sungai dan dusunnya, Jembatan Pendem.

Akhirnya pulang. Entah kapan lagi saya bisa nonton IOX, tapi lumayan untuk kali ini, nonton plus dapat bonus. Harapan nonton start, eh... malah dapat offroadnya. Plus lagi dapat hikmah spiritual yang berharga. Alhamdulillah....


~Piet~