Sabtu, 25 Juli 2020

Jogja-Bogor naik Jimny Lewat Jalur Selatan


Ini adalah postingan yang tertunda. Untung bukan postingan yang tertukar, kayak judul sinetron. ^^ tertundanya satu setengah tahun pula. Wedeh.... dasar saya, sok sibuk muluk.

So, langsung saja ke topik yang sesuai dengan judul. Pada bulan Januari 2019 di hari Jumat-Sabtu-Minggu saya dan masjo melakukan perjalanan dari Jogja ke Bogor Utara naik Jimny melalui jalur selatan Pulau Jawa, jalur yang tampaknya kurang popular di kalangan mudiker karena selain nontol, juga naik-turun dan berliku-liku yang notabene membuat para pengendara males. But, as we are not big fans of jalan tol, maka kami memilih jalur selatan ini. Btw, ini merupakan perjalanan pertama kami melalui jalur ini. Ini pun merupakan perjalanan pertama kami naik Jimny ke wilayah Jawa Barat, dan ya, solo riding pula. Solo di sini maksudnya, tanpa konvoi atau tanpa mobil lain yang menjadi teman seperjalanan dan setujuan.

Sebelum ini, saya sudah sekian kali ke Jakarta melalui jalur ini, namun ya gitu deh… karena naik bus besar dan berada dalam rombongan besar, saya jadi males mikir dan ogah mengingat jalan. Walhasil, untuk mengatakan “sehabis perempatan ini terus kemana lagi”, saya nggak mudeng blas. Karena sebagai penumpang murni, saya jadi kayak kambing congek. Adapun masjo, sudah lamo nian tidak bepergian ke arah barat ini. Duluuu sewaktu masih remaja pernah sekali-dua, itupun naik bus umum atau kereta api.

Jadi, perjalanan dengan Jimny ini layaknya perjalanan perdana bagi saya dan masjo yang mau tak mau harus mikir dan mengingat-ingat semua detail rute, karena posisi saya sebagai navigator, dan masjo sebagai sopir. Hal seperti inilah yang saya sukai, karena ‘memaksa diri menjadi pinter’. Setidaknya, lebih pinter dikitlah. Hehe. Bagaimana tidak brosis, otak dipaksa harus mikir agar tidak kesasar, pancaindera bekerja semua, begitu pula dengan intuisi…. Tsaaahhh, embeer.

Oiya, ini pun merupakan perjalanan terjauh Jimny kami selama ini, dengan jarak tempuh Jogja-Bogor 495km alias 990km pulang-pergi. Nyaris 1000km. BBM Pertamax yang dikonsumsi pulang-pergi sebanyak 108 liter (seratus delapan liter) senilai Rp1.100.000 (satu juta seratus ribu rupiah) dengan harga Pertamax Rp10.200/liter. Konsumsi rata-rata BBM adalah 9,1km/liter. Boros? Hehe… siapa bilang Jimny-Katana ngirit? Itu mah duluu, sewaktu masih standar. FYI, Jimny 4x4 kami ini keluaran tahun 1988, FG 8/41, ban MT ukuran 31 yang menurut saya lebih seperti ban extreme, busi racing Denso, pengapian koil Blue Fire, kabel Blue Thunder, setelan karburator normal (tidak boros, tidak irit). Kalau sudah dimodif gini ya jangan berharap ngirit. Skala prioritas kami memang bukan cari irit BBM tapi cari kemampuan yang “biar tidak ngrepoti teman” di trek off-road, dan tidak ngos-ngosan sewaktu nyalip truk gandeng di jalan raya.

Persiapan
Sebagaimana solo riding kami yang sudah-sudah, sebelum berangkat, kami melakukan sejumlah persiapan. Terlebih, ini menempuh jarak yang panjang dan rutenya masih asing. Hal ini sangat penting brosis, mengingat armada kami sudah tua, kayak orangnya…. hihihi. Biarin, yang penting jiwa tetap muda dan hati bahagia : )

1.       Pengecekan kendaraan
Seminggu sebelumnya, Jimny merah kami perlu diperiksakan di “dokter” langganan. Tindakan yang dilakukan berupa penggantian karet wiper, pengecekan rem, pengecekan laker roda, dan pengecekan karburator. Karet wiper sebenarnya belum lama diganti, baru beberapa bulan tetapi entah kenapa kok bunyi gruut gruuut gruuuttt….” kalau pas bekerja. Bikin risih di telinga. Apalagi ini musim hujan, kesehatan wiper tidak bisa ditawar-tawar lagi. Adapun rem, roda, karburator baik-baik saja, just make sure saja ke pak dokter.

2.       Logistik
Sehari sebelumnya kami belanja aneka macam makanan ringan baik yang manis maupun asin. Kebanyakan didominasi oleh yang asin supaya tidak eneg. Ini penting terutama bagi saya sebagai navi bin kenek yang cenderung pasif, karena kepasifan itu menjemukan, memegalkan, bahkan memusingkan yang parah-parahnya bikin mabuk. Buah-buahan yang relatif gampang dan simpel dimakan pun tak ketinggalan. Anggur merah dan pir hijau(pir jambu) saya pilih karena bercita rasa segar, manis, dan asem. Jambu demak dan jambu kristal sebetulnya juga favorit saya di perjalanan, tetapi tidak tersedia di toko buah tersebut saat itu. Yang paling enak dan simpel sebetulnya ada, anggur hitam tanpa biji, tapiiii emooh…. GMO! Opo kui GMO Piet? Mbuh, googling-o kono dek!

3.       P3K
Obat-obatan yang dibawa ya standar kotak obat. Ada obat oral: obat flu, obat diare dosis rendah, obat diare dosis tinggi, obat alergi+antimabuk, dan obat pain killer buat sakit gigi. Ada obat oles: minyak kayuputih, minyak telon, obat merah/obat luka. Ada pula obat tempel: koyok dan plester luka. Saya sebut merk dagangnya saja ya biar brosis gampang mengidentifikasinya: Procold, Entrostop, Imodium, CTM, Cataflam, minyak kayuputih Cap Lang, minyak telon Konicare, Betadine, Hansaplast, Salonpas biasa, dan Salonpas hot. Ada pula kain kasa dan sendok melamin tebal. Nah, yang disebut terakhir itu special occasion, buat kerokan hehehe. Kami asli Endonesah, kami mantab jiwa memakai penyembuhan a la leluhur yang telah terbukti khasiatnya. Sendok ini dijamin lebih jozz dibandingkan koin (terlebih koin hare gene cuilik-cuilik, nggak nendang buat kerokan). Pernah punya alat kerokan sih, tapi jatuh dan patah gagangnya, huhuu…

4.       Onderdil cadangan
Kebanyakan onderdil yang dicadangkan bukan barang baru, alias barang yang sudah tergantikan oleh onderdil baru, tapi dia masih berfungsi. Jadi, disimpan saja untuk cadangan kalau-kalau onderdil yang sudah terpasang tiba-tiba error. Apa saja itu? Busi, timing belt, fan belt, alternator belt, platina, bohlam-bohlam, kabel-kabel, dan sekering-sekering.

5.       Pemetaan rute
Rute dipetakan dengan dua instrumen: Google Map dan buku peta manual. Secara umum, keduanya ini berguna untuk mengetahui berapa kira-kira jarak dari kota A ke kota B, kota B ke kota C, dan seterusnya sampai ke Bogor. Google Map berfungsi sebagai pemandu rute yang lebih kekinian sifatnya, meskipun kadang tidak apdet-apdet banget, tapi ya cukup apdetlah. Foto-foto perempatan jalan, landmark, kondisi suatu tanjakan atau turunan, dengan view 360 derajad sangat signifikan dalam memberi gambaran visual yang mendetail kepada kami akan tempat-tempat yang bakal kami lewati. Adapun peta manual berguna untuk memperoleh gambaran praktis, menyeluruh, dan nirsinyal, karena you know lah sinyal internet yang disediakan oleh provider Indo relatif kurang handal di daerah-daerah luar kota. Selain itu, saya pribadi lebih menyukai navigasi manual dibanding digital, karena selain membuat otak dan intuisi saya bekerja lebih giat, juga menjaga sisi human saya sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan lokal people. Selain melihat buku peta, juga bertanya kepada orang di jalan merupakan cara yang cess pleng. Brosis pernah dengar kan, cerita orang-orang yang menyimpang jauh dari tujuan karena percaya 100% dan melulu mengikuti  Google Map. Ya, begitulah. Dongkol….

6.       Persiapan fisik
Tidak kalah penting, fisik juga harus dipersiapkan dengan baik. Pada H-2 kami memastikan semua pekerjaan sudah kelar dan beres, tidak ada tanggungan, sehingga H-1 kami bisa beristirahat dengan cukup, tanpa beban fisik, pikiran, dan mental. Palingan hanya mengerjakan yang ringan-ringan saja seperti belanja logistik. Ini penting brosis, mengingat kami punya pengalaman gagal bepergian karena kesibukan pada H-1 yang menguras tenaga, mental, dan pikiran. Walhasil, di hari H masjo tak berkutik…  masuk angin parah, tepar!

Nah, standar semua bukan? Mungkin ini sama dengan yang brosis lakukan. Meskipun terdengar mainstream tapi ini semua penting untuk kelancaran perjalanan kita ke luar kota.

Berangkat dari rumah
Sehari sebelumnya Jimny diisi bensin dulu Rp250.000;- nyaris full tank empat kotak karena sebelumnya di tangki masih ada sisa satu kotak. Seperti hari-hari biasa, untuk menjaga kebersihan ruang bakar jip tua ini, kami memilih “meminuminya” Pertamax. As you guys can see, harga BBM di negeri kita tercinta ini memang fluktuatif. Dalam perjalanan ini harga Pertamax Rp10.200 per liter, setahun sebelum ini, pas ke Bojonegoro masih Rp9.000-an. Juli tahun 2020 ini Rp9.000 pas. Tahun depan entah berapa.

Oke, bensin sudah penuh, hati jadi tenang, keesokan harinya tinggal berangkat saja. Dini hari jam 04.30 setelah sarapan Indomie goreng *anak kos bangeds* dan solat Subuh, perjalanan dimulai. Bismillah…

Jogja-Gombong via Jalan Daendels
Brosis pernah dengar dong ya tentang Jalan Daendels. Alih-alih memilih lewat jalan utama Jogja-Wates-Purworejo-Kebumen yang lebih muter dan ramai, kami memilih lewat Jalan Daendels tersebut. Jadi, dari rumah Jimny meluncur ke selatan, wilayah Bantul, kemudian memasuki Jalan Srandakan via Sapuangin. Terus luruus melewati Jembatan Kaliprogo yang panjang itu hingga lampu bangjo Brosot, ambil kanan, dan bablas…. Sampai beberapa bangjo lagi termasuk bangjo Toyan masih lurus terus, hingga ketemu bangjo yang di kiri jalannya ada proyek pembangunan Bandara New Yogyakarta International  Airport (NYIA), ambil kiri dan di situlah mulai masuk Jalan Daendels. (Di tahun 2020 ini, dari bangjo Brosot kita tidak perlu ke kanan yang ngalang. Langsung ambil kiri saja karena terowongan bawah bandara sudah jadi, diresmikan, dan officially bisa dilewati).

Selanjutnya kami mengikuti saja jalan di depan, karena jalan ini adanya Cuma satu dan lurus. Jalan ini relatif sepi namun masih tampak adanya kehidupan dengan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan, ada pom bensin juga di kanan jalan. Kalau saya tidak salah, rute ini berawal dari Congot, Kulonprogo sampai dengan barat Pantai Jatimalang, Purworejo.

Tiba di lampu merah,di depan itu ketemu dengan jalan yang masih kinyis-kinyis. Tampak jalan ini masih baru selesai dibuat. Saya lihat pasir-pasir sisa pengaspalan masih meng-cover sisi kanan-kiri jalan. marka jalan dan rambu-rambu lalinnya pun masih tampak kinclong, baru direyen. Orang menyebut jalan ini jalan baru, IDK, tapi menurut saya ini masih kelanjutan Jalan Daendels. Di Google Map saya cek namanya "Jalan Urut Sewu". Nah, jalan ini suepinya minta ampun. Di kiri-kanannya hanya dijumpai sawah dan semak. Di kiri jauh sana pantai selatan alias Samudera Hindia. Jangan berpikir yang jelek-jelek deh, soalnya sepi bener ini. Rumah penduduk tidak ada, bengkel dan tambal ban apa lagi. Hari masih sangat pagi dan masih remang-remang. Barengan kami saya lihat hanya sebuah truk, itu pun dia menyalip kami dan segera nggeblas meninggalkan si Jimny  yang mlaku thimlik-thimlik. Jimny just can’t go any faster, maksimal 80-90km/jam doang. Buween disalipi, monggo-lah, you can go faster but I can go anywhere, hehe. Kemakiiii….

Di bawah pengaruh CTM yang saya minum jam 4-an tadi, saya ngantuk pol, kadang tertidur kadang terbangun. Tahu-tahu sudah masuk Petanahan. Jimny belok kanan memasuki jalan desa sampai ketemu perempatan tugu burung, ambil lurus. Selanjutnya jalan mulai nggronjal, bolong-bolong yang memaksa semua kendaraan berjalan melambat. Awalnya masih dijumpai kehidupan, rumah-rumah penduduk dan keramaian tapi lama-kelamaan sepi lagi. Lurus saja terus sampai ketemu jalan besar yang ramai dan itulah jalan utama Karanganyar-Jogja. Tentu saja kami ambil kiri ke arah Gombong, kalau ke kanan, kami pulang ke Jogja dong melewati Kota kebumen.

Jam 07.00 kami berhenti di pom bensin kiri jalan di daerah Rowokele buat ke toilet. Berarti waktu tempuh dari berangkat tadi 2,5 jam. Odometer menunjukkan jarak tempuh 113 km. Bensin masih banyak, 3 kotak. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan yang masihlah sangat panjang ini.

Nyasar di Ajibarang
Rasanya kok kurang afdol kalau pertama bepergian jauh tanpa nyasar. Wkwkwk, pembelaan. Sampai di perempatan Wangon kami nyasar. Seharusnya ambil lurus, tapi kami malah ambil kanan yang ke arah Ajibarang. Maklum, navinya ketiduran melulu, jadi tidak melihat rambu penunjuk arah, xixixi.

Masjo sempat bertanya-tanya, “Kok kayaknya kita ke arah utara ya? Mataharinya kok di kanan kita?”
Saya dengan pedenya njawab, “Lha, biasa to Mas, kalo jalannya berliku-liku kan kadang kita kayak menjauh dulu dari rute utama, tapi ntar palingan ke barat lagi.”

“Eh tapi, itu kok busnya rute Wangon-Ajibarang-Purwokerto?” Kata masjo dengan tambah keheranan ketika berpapasan dengan bus-bus umum lokal.
“Kan wajar aja to… kita sekarang masih di daerah Wangon,” jawab saya yang masih kepedean. “Lagian, di Google Map kan jalannya mulai keriting dan naik-turun, jalan ini juga gitu.”

Setelah sekitar 10-12km, tibalah kami di persimpangan Ajibarang. Fix kita kesasar brosis… kalau ke kanan, arah Purwokerto, kalau lurus kita menuju pantura. Bisa saja sih kita lurus, tapi ntar lewat Cirebon dan bisa masuk jalan tol dong, bukan lewat Nagrek dan Bandung. Untuk meyakinkan diri lebih tebal lagi, ditanyalah mas-mas di dekat kios pinggir jalan, dan akhirnya dengan perasaan dongkol campur geli kami mbaliiik lagi ke arah Wangon. Hahaha…. Makanya Piet, jadi navi ojo kakeyan turu, supirmu kliru, tok ombyongi wae. Saya juga nggak ngeh kalo Ajibarang itu posisinya utaranya Wangon. Kirain baratnya. Wkwkwk. Ini nih… pengetahuan urut-urutan letak geografis kota-kota kecil semacam ini sangat diperlukan buat kita yang hendak menjelajah ke tempat-tempat yang belum pernah kita sambangi. Kemarin sempat lihat di peta sih, tapi lupa *kakeyan brutu gajah*.

Perbatasan Jawa Barat
Baiklah sodara-sodara sebangsa dan setanah air… akhirnya dari Wangon kami ambil kanan ke arah Bandung (kalau dari Jogja, berarti ambil lurus). Jalannya kurang meyakinkah, cor semen yang tidak begitu lebar. Inilah yang membuat masjo tadi nggak yakin dan memilih ambil kanan ke arah Ajibarang.

Sampai di Cimanggu bensin masih cukup banyak, 1,5 kotak. Jam menunjukkan angka 09.40. Kami belum tahu sikon di depan nantinya  kayak apa. Daripada kesatan di jalan dan susah nyari pom bensin, akhirnya kami memutuskan untuk mengisi bensin di pom kiri jalan, sekalian noilet. Diisi Rp205.000 lalu indikator BBM naik lagi menjadi 3,75 kotak.

Btw, meskipun namanya berawalan “Ci-“ seperti nama-nama khas daerah Pasundan, tetapi Cimanggu ini masih masuk wilayah Jawa Tengah lho brosis. Cuma, saya mendengar dialek petugas pom dan orang-orang sekitar memang sudah tidak nJawani lagi. Mungkin karena ini daerah yang sudah dekat dengan perbatasan Jawa Barat, jadi bahasanya sudah antara Jawa ngapak dan Sunda. Jadi, saya dan masjo pun mengubah mode bahasa Jawa ke bahasa persatuan bahasa Indonesia. Kan nggak lucu kalau kami nanya pakai bahasa Jawa tapi yang ditanya nggak paham. Thanks to para pahlawan pergerakan nasional yang telah mencetuskan Sumpah Pemuda. Kalau tidak, saat ini mungkin kita bingung mau ngomong pakai bahasa mana, susah berkomunikasi kalau ketemu orang dari daerah lain.

Masuk Jawa Barat dan makan siang
Setelah Cimanggu dan Majenang, kami memasuki wilayah Jawa Barat tepatnya Kabupaten Banjar. Yeeey…. Akhirnya Bang Jim menginjakkan bannya di Jawa Barat! Selama ini kan kalau nggak pergi ke Jawa Tengah, ya Jawa Timur. Tidak seperti Jawa Tengah tadi yang banyak gronjalan, jalan di sini mulus-mulus dan menyenangkan. Jimny yang suspensinya keras ini jadi lebih nyantuy. Di kiri kanan jalan pun tampak segar dengan hijaunya pepohonan. Ada juga hutan pinus yang dibuat untuk tempat rekreasi rakyat.

Selanjutnya sampailah kami di Cikoneng, Ciamis. Di RM Saung Gayatri kiri jalan Jam 11.45 kami berhenti untuk makan siang. Rumah makan ini bergaya tropis dengan material anyaman bambu sebagai dinding dan jendelanya. Saya cocok dengan bangunan rumah makan seperti ini karena adem, nggak sumuk.  Ada beberapa gazebo bambu di samping depan bangunan utama. Sepi… hanya kami saja pelanggannya saat itu. Sempat meragu juga sih, jangan-jangan…. Nggak enak, atau kemahalan, kok sepi begini. Ah, lupakan. Enak nggak enak, mahal apa murah, yang penting segera bisa ngisi perut, nasi brosis, nasiiii. Kita memang harus deal dengan keadaan semacam ini kalau sedang bepergian.

Pelayannya ramah menyambut kami di pintu masuk. Begitu duduk, sambil memilih-milih hidangan di buku menu, pelayan menyodori teh tawar anget. Nhaa… ini nih khasnya Jawa Barat. Kita makan apapun digratisi teh tawar. Kalau di Jogja kan kalau nggak ngorder, nggak akan dikasih teh. Pun kalau ngorder teh, otomatis dikasihnya teh manis. Kalau mau gratis, ya minta air putih. Lha di Jawa Barat ini kebalikannya, teh tawar kayak semacam minuman wajib. Tidak ngorder pun kita otomatis sudah dikasih gratis. Konsep seperti ini cocok buat kita yang traveling on tight budget lho brosis… hihi.

Tak lama berselang, datang dua orang pelanggan lain yang sampai kami cabut dari situ jam 12.25 ya cuma segini ini pelanggannya.

Apa yang kami makan? Biasa saja. Intinya yang spicy dan anget: nasi, ayam, sambal, plus lalap. Ada pelengkap sepotong kecil tahu dan sepotong kecil oncom yang digoreng tepung. Oiya, ayamnya ayam kampung yang relatif kecil, teksturnya agak keras tapi alhamdulillah nggak keras-keras amat. Masih bisa disuwir dan dikunyah kok. (Kan ada tuh ayam kampung yang kerasnya bujubuneng… kayak dummy lateks). Cuma, mbakarnya yang kurang sip… legam, kebanyakan kecap kalo kata lidah saya sih. But it’s all okay, semua itu habis saya makan kecuali leunca mentahnya.

Untuk minumnya, kami ngorder teh manis. Di luar dugaan, tidak seperti gelas teh tawar gretongan itu, gelas untuk teh manisnya gedee…. Saya dan masjo nggak kuat ngabisin. Total makan kami di sini habis Rp60.000. Wajar, normal. Kenyang….. alhamdulillah. (Baidewei, Februari 2020 kemarin kami ke Sumedang lewat depan RM ini lagi dan ternyata dia sudah tutup. Aduh…. Sayang sekali sodara-sodara).

Nagrek dan ketiduran
Lepas dari RM Saung Gayatri, jam 13.07 kami mampir di pom bensin yang saya tidak ngeh masuk daerah mana. Kami ke toilet dan salat Dzuhur-Ashar. Bensin masih banyak, jadi tidak perlu beli di situ. Sebagaimana subjudul di atas, sehabis makan dan masih di bawah pengaruh CTM, saya sering ketiduran. Damai bok, perut pun ikut damai. Tapi jadi tidak banyak yang bisa saya ceritakan, bahkan pemandangan wilayah Nagrek yang saya tunggu-tunggu karena sangat terkenal di TV pas arus mudik itu, terlewatkan begitu saja. Masjo hanya bercerita, “Wah, bagus pemandangannya di Nagrek tadi,” dan saya pun agak menyesal turu wae, hiks.

Bandung-Padalarang
Bandung-Padalarang, itulah rute selanjutnya. Setelah Nagrek, seingat saya jalanan mendatar semua, terus masuk Bandung jam 15.05. Di depan sana langit tampak sangat gelap, dan benar saja, maju sedikit kami memasuki area hujan. Hujannya tidak tanggung-tanggung, deras banget bercampur badai. Kabar dari grup Whatsapp, di Jogja pun sama, turun hujan badai yang sampai menerbangkan atap gipsum rumah teman.

Kami memasuki jalan lingkar luar Kota Bandung yakni Jalan Soekarno-Hatta yang berasa panjang dan lama. Tidak seperti jalanan sebelumnya yang mulus, jalan di sini banyak bolong dan tambalannya *kayak gigi yang kebanyakan fluoride*. Kondisinya macet parah. Jam-jam segitu adalah jam bubaran para pekerja yang pulang ke rumah. Heww…. Ini luput dari antisipasi kami. Walhasil, setelah terjebak macet selama 2,5-3 jam-an, barulah kami keluar dari Bandung.

Jam 17.45 kami nyasar, keblandhang sampai pom bensin di daerah Cimahi. Seharusnya sebelum pom, kami ambil kanan ke arah rumah sakit militer, tapi kami ambil lurus. Hehehe. Ini kesalahan saya yang sotoy, padahal masjo yakin belok kanan. Di situ saya merasa bersalah :(

Ya sudah, daripada tebak-tebakan dan tambah nyasar, kami memutuskan untuk bertanya saja ke petugas pom. Dan daripada sekedar bertanya, kami sekalian saja ngisi bensin dan noilet. Hujan masih turun rintik-rintik namun rapat, badai sudah menghilang. Keluar dari jip, ternyata di luaran cukup dingin. Air di toilet pun dingin bak air di musim kemarau. Apa karena ini daerah Bandung, atau karena sedang hujan ya? Seingat saya sewaktu nginap di Kota Bandung pertengahan tahun 90an, hawanya biasa saja tidak dingin, airnya pun biasa saja. Tahun 2010 saya menginjakkan kaki di kota ini lagi dan kondisinya idem, normal. Mungkin itu Bandung sisi lainnya ya. Baiklah, tidak penting, lupakan.

Kita lanjutkan. Bensin sudah diisi Rp205.000, perjalanan diteruskan. Dari Cimahi kami menuju Padalarang dengan kondisi jalan yang ramai lancar terkadang macet tipis. Masih banyak pekerja yang pulang kantor. Saat adzan Magrib terdengar, perut mulai kelimpungan minta nasi. Ngemil snek-snek yang beraneka ragam kok masih nggak nampol. Yaa namanya juga seneeek.

Di tengah kemacetan, masjo agak ragu apakah harus lurus atau belok. Daripada nanya Google di hape yang saya males buat mbuka karena mumet *efek lapar*, masjo pun nanya ke orang, boncenger sepeda motor di samping jendelanya. Nah, beres kan, langsung terjawab deh. Ke Bogor luruuus.

Cipatat yang berliku-liku dan gelap
Memasuki Cipatat, jalanan menurun, berliku-liku, dan gelap; minim sekali penerangan jalan. Di depan sana kok banyak bapak-bapak tentara berbaju doreng ya? Ooo… ternyata ada truk militer yang baru saja mengalami kecelakaan di kanan jalan. Duh, semoga tidak ada korban.

Tak jauh dari situ kami berhenti untuk makan malam di warung pecel lele Lamongan, ehehe… kami ngomongnya pakai bahasa Jawa dong ya. Serasa ketemu tetangga kampung, padahal Lamongan-Jogja tuh jauuuh.

Mas bakulnya bilang, di daerah situ memang sering banget terjadi kecelakaan, nyaris tiap hari ada. Kemarin aja ada motor kecelakaan di dekat Alfamart di bawah situ. Sebelum itu pun ada tabrakan bla bla bla. Weleh-weleh, kenapa bisa begitu ya? Apakah karena jalanannya gelap-gulita dan berkelok-kelok? Si mas bakul pun nggak bisa menjawabnya. Dia cuma mengatakan bahwa pengendara sepeda motor di sini banyak yang ngawur, srogal-srogol bahasa Jawanya. Iya sih, yang tadi kami lihat di jalan pun 11-12 dengan cerita do’i.

Oiya, di warung sederhana ini kami makan pecel lele. Lalapannya timun-daun selada; beda dengan di Jogja yang timun-kol-daun kemangi. Ada “bonus” sepotong tempe goreng garing, yang di Jogja itu dihargai sendiri sekian rupiah. Minumnya auto teh tawar anget yang gretong, hihihi. Nasinya pulen, tapi porsi buto ngamuk yang saya nggak sanggup ngabisin. Semua ini cuma habis Rp30.000 saja.

Si mas menginfokan, jalur Puncak Bogor itu kalau weekend begini diterapkan sistem buka-tutup. Owalah, iya betul. Kok kami lupa sih. Untungnya ini sudah malam, dan kata si mas, jam 9 malam biasanya sudah dibuka kok. Oke, saat itu sekitar jam 7 malam, jadi kami perlu mengulur waktu agar sesampainya di Puncak nanti sudah boleh lewat.

Cianjur dan kenangan semasa kuliah
Sekitar jam 7.35 kami melanjutkan perjalanan menuju Cianjur kemudian Puncak. Situasi jalanan yang gelap, ditambah dengan hujan pula, rasanya jadi gimanaaa. Suasana terasa dingin dan sepi. Di depan hanya ada satu mobil yang searah dengan kami, sebuah Suzuki Carry tua, hehe… sesama Suzuki tua dilarang saling meledek. Karena dingin banget, AC kami matikan. Mesin pun jadi terasa lebih powerful ketika menapak di tanjakan. Singkat cerita, daerah Cianjur sudah terlewati dengan salah satu kakhasannya berupa toko-toko yang menawarkan oleh-oleh manisan dalam toples-toples kaca besar. Kami cuma lewat saja, meskipun jiwa belanja saya meronta-ronta.

Berada di pegunungan, jalanan di sini berkelok-kelok dan naik turun. Ingatan saya terlempar ke tahun 1996, tepat di jalan ini, saat saya mabuk berat karena nggak tahan bantingan ke kanan dan ke kiri dari bus Kramat Djati yang saya tumpangi dari Jogja. Waktu itu saya, tiga teman kuliah, dan seorang dosen pendamping, sedang dalam perjalanan tugas kampus untuk mengunjungi studio alam di Cipanas, milik Ali Shahab sutradara terkenal di masa itu. Brosis yang tumbuh di tahun 80an mungkin ingat sinetron Rumah Masa Depan, yang tayang di TVRI setiap Minggu siang. Nah, itu karya beliau

Nah, sedikit cerita nih. Ketika saya berkunjung, beliau sedang memproduksi sinetron Angkot Haji Imron. Saya ditanyai oleh salah satu kameramen, “Mbak, kalau di Jogja, sekali makan habis berapa? Saya pingin nguliahin anak saya ke sana.” Saya jawab, “Seribu rupiah Pak, itu sudah pakai lauk ayam, dan sudah dengan es teh.” Si bapak kaget tidak percaya seraya merespons, “Aahh… masak? Nggak mungkinlah, kok murah banget. Pakai tempe kalik”. Saya meyakinkan, “Eh lha memang benar segitu Pak, Jogja kan memang murah apa-apa.” Hehehe, mungkin fenomena macam ini yang membuat anak-anak luar Jogja ekstra bahagia kuliah di Jogja ya. Lha ortunya banyak yang nggak tahu, at least pada saat itu ketika informasi belum seterbuka sekarang. Ngasih jatah buat hidup di Jogja, tapi dengan standar Jakarta. Ya bisa buat foya-foyalah. Mmmmm.... Apa ini yang menggiring Jogja yang katanya kota pelajar itu saat ini di sejumlah sudutnya berbau hedonistik? Maksud saya, dulu kota ini terasa bersahaja. Tapi kok semakin ke sini semakin banyak mall, tempat nongki-nongki, dan tempat ajeb-ajeb.

Oke, semono ae nostalgiane. Kita lanjutin perjalanan ke Bogor.

Sampai di Bogor
Selepas Cipanas, jalan terus menurun. Dan akhirnya sampailah kami di Kota Bogor sekitar jam 10 malam. Tinggal sedikit lagi untuk sampai di tujuan. Intinya, kami kesasar-sasar dan nanya-nanya orang sekian kali barulah sampai di tujuan rumah adik yang tak jauh dari perempatan Pomad, jam 11.30 malam. Ada jalan underpass yang tidak terbaca di Google Map, itulah yang membuat masjo salah pilih jalan. Fiuuh… perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Alhamdulillah si Jimny tidak rewel.

Sejauh ini, itulah perjalanan terjauh kami dengan Jimny yang berusia 31 tahun saat itu (sekarang di tahun 2020 dia sudah 32 tahun). Hikmah utama dari perjalanan ini adalah rasa percaya diri yang meningkat. Ya, pede untuk bepergian solo, tidak harus selalu berkonvoi dengan jip-jip teman. Asal, kondisi jip benar-benar dalam kondisi sehat, inshaallah lancar. Setelah ke Bogor, perjalanan-perjalanan kami selanjutnya ke Jawa Barat yang notabene berbeda budayanya jadi lebih nyantai dan tenang. Kalau nyasar, tinggal nanya orang lokal saja. Mereka pada baik kok, jangan khawatir. Selama kita bersikap sopan, mereka tentulah dengan senang hati mau menunjukkan jalan. Terlebih dari plat nomor mobil kita, mereka tahu kita orang dari jauh.

Oiya,dari pengalaman kami ini ada sedikit saran untuk brosis yang berniat nge-trip ke Bogor. Pertama, hindari waktu macet bubaran kantor Kota Bandung yakni jam 3 sore sampai sekitar jam 7 malam (15.00-19.00). Kedua, khusus weekend, hindari waktu tutup jalan ke arah Puncak yakni jam 10 pagi sampai dengan jam 9 malam (10.00-21.00), kecuali anda berniat lewat jalan tikus. Emang ada? Ya ada lah! Teman saya sewaktu pulang ke Jogja pernah kejebak jam tersebut karena ketidaktahuannya. Solusinya, dia nyari tukang ojek buat memandu jalan menghindari jalan mainstream ke Puncak, bayar Rp50.000 doang.

So, total waktu tempuh adalah 18 jam, terhitung dari berangkat jam 04.30 pagi hingga sampai di rumah adik jam 11.30 malam. Lamo yo? Iyo. Kan ingat, katanya Jimny can't go fast, but it can go anywhere... hehe. Nah, brosis punya rencana bepergian solo keluar daerah, entah dengan jip tua, atau terlebih dengan mobil keluaran kini, ayolah…. Yakinlah untuk mulai melangkah.

Wassalam.

~Piet~




Jumat, 24 Juli 2020

Naik Jimny Jogja-Bledug Kuwu


Ledre itu telah membawa saya dan masjo muter-muter tipis-tipiiiis Jateng-Jatim awal Juli lalu. Buat brosis yang belum tahu ledre, mari saya bilangin: si ledre ini adalah nama makanan, bentuknya gulungan yang satu trah dengan kue semprong, rasanya manis-gurih kombinasi santan dan pisang, dan renyahnya keterlaluan, digoncang sedikit saja remuklah dia kayak hatikuu. Semprong ‘cengeng’ gitu deh, kata saya. Sebelumnya, saya sempat berniat beli daring saja di e-commerce (Shopee), namun hal ini saya urungkan karena melihat banyaknya review pembeli yang kecewa ledrenya dalam kondisi hancur ketika sampai di tangan. Wah, tidak nikmat dong makan ledre remuk, wong yang bikin nikmat itu sensasi “kres”-nya ketika digigit. 

Jogja-Ngawi
Obrol-punya obrol, akhirnya saya dan masjo sepakat buat menggelindingkan ban Jimny ‘88 ke ‘kerajaan ledre’ di Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur; sekalian piknik ke Bledug Kuwu, Kradenan, Grobogan, Jawa tengah karena saya penasaran, sedari cilik indhil-indhil sudah mendengar keberadaan objek wisata ini tapi belum pernah ke sana jua hingga setua ini. Selain itu, kami juga penasaran dengan rute Padangan-Cepu-Blora-Purwodadi yang belum pernah kami lewati. Kebetulan pula ini tanggal muda, hehehe. Plus, saya sejak kopat kopit saurus ini tidak piknik ke mana pun. Jenuh work from home, mental ini berasa tertekan, ide-ide mentok, otak butuh penyegaran….. butuh piknik.

Baik, sehari sebelumnya kami sudah deal, rute sudah disepakati. Pertama, ke Bledug Kuwu terlebih dahulu. Dari situ langsung menuju Padangan, selanjutnya pulang melewati Cepu- Purwodadi. Jadi, rutenya: Jogja-Klaten-Solo-Klaten-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu- warung nasi Padang langganan di Purwodadi- -Solo-Klaten-Jogja. Eeehh lha tau-tau pas saya kriyip-kriyip bangun tidur, masjo langsung bilang, “Adik, ledre disik wae, bar kui lagi Bledug Kuwu.” Hedehh, dalam kondisi nyawa yang belum ngumpul sepenuhnya, otak masih booting, kontan dahi saya berkerut. Dapat ilham apa nih anak dalam tidurnya, kok tiba-tiba mengubah planing. Yo wis, saya pun manut saja tanpa berargumen. Dasarnya saya lagi gabut.

Jadi, rutenya fix berubah menjadi: Jogja-Klaten-Solo-Sragen-Ngawi-Padangan-Cepu-Bledug Kuwu-warung nasi Padang langganan di Purwodadi-Solo-Klaten-Jogja.

Tangki bensin sudah dipenuhi kemarin sore. Jumat 3 Juli 2020, pukul 05.14 WIB, sehabis solat subuh, ban Jimny mulai menapak aspal keluar rumah, keluar DIY. Aseeek, akhirnya kita pikniiiiik. You know kan brosis, kalau hati kita hepi, imunitas akan meningkat, kita pun menjadi lebih sehat, dan penyakit-penyakit bakalan minggat. Memang betul kata pak ustad, setelah nikmat iman, nikmat apa lagi yang lebih utama selain nikmat sehat? Begitulah konsep hidup kami. Jangan sampai hidup tidak rileks karena kurang refreshing, lalu penyakit ini-itu menghinggapi, naudzubillah. 

Perjalanan sangat lancar, kondisi jalanan relatif lebih sepi daripada biasanya. Sampai Kartasura sekitar 1 jam 15 menitan. Tumbeeen, biasanya dua jam bahkan lebih. Lalu kami memilih mlipirin kota Solo lewat ring road, agar terhindar dari kemacetan kota. Tampak sebuah pabrik besar (entah pabrik apa) ramai dengan karyawan yang baru datang. Saya ingat, tak begitu jauh dari rumah pun ada pabrik yang sejak plandemi ini tampak tetap ramai dengan karyawan, tidak libur.

Memasuki Kota Sragen, jalanan cukup ramai normal. Bablas ke arah Ngawi jalanan berasa sepiiii. Bahkan di Hutan Mantingan Ngawi yang terkenal akan polisinya yang galak-galak tegas-tegas itu *hehe, horas Pak Pol!* yang biasanya antrian kendaraan bisa sepanjang “Carnaval Rio” karena takut ketilang kalau menginjak garis marka lurus, kali ini kok mamring bin sepi. Hanya ada jip kami, satu-dua mobil pribadi, dan beberapa truk box. Heiii… kami baru nyadar juga, sliwar-sliwer. Ini hanya ketemu dua. Sejurus kemudian saya ngeh, “Owalah, Mas…. Ini kan yang masih gencar diberitakan oleh media mainstream masih masa kopit. Pantesan jalanan dari tadi sepi ya. Wong orang-orang masih dihimbau untuk tetap stay at home.” Anak sekolah dan anak kuliahan pun masih pada libur. Meskipun demikian, selain pabrik, saya lihat pasar-pasar tetap ramai. Lha iye, edan po nek sepi… kita mau makan apa? Jadi teringat gempa Bantul Jogja tahun 2006, cari sayur dan bahan makanan susahnya minta ampun karena warung di mana-mana tidak ada yang buka. Pasar sepiiii. Banyak warga yang makan dengan meramban apapun yang tumbuh di kebun (sebelum bantuan datang). Butuh beli batu batre karena listrik mati berhari-hari, tapi semua toko kehabisan barang. Ibarat kata, percuma saja punya duit, kalau tidak bisa beli barang. Ekonomi lokal lumpuh. 

Dicegat Polisi di Ngawi
Lepas Terminal Kertonegoro, Ngawi, saya tidak ngeh nama daerahnya, kami dicegat Polisi, disuruh mlipir kiri melewati semacam tenda posko. Di situ tampak beberapa bapak-bapak Polisi dan bapak-bapak berpakaian rompi semacam satgas gitu, yang mengarahkan kamera hapenya ke jip kami. Jip distop, seorang Pak Polisi yang tampak senior dan berwibawa mendekati jendela masjo di posisi sopir. Kami bukalah jendela kami masing-masing. Pak Pol menyapa dengan ramah *aseeek*, meminta kami memakai masker dulu, kemudian menanyakan kami dari mana dan mau ke mana.
Kami    : “Ke Padangan,” jawab kami hampir serentak.
PP        : “Emmmm emmmm…. Padangan?”
Kami    : “Bojonegoro,” terdengar juga suara bapak ‘satgas’ ikut menjawab.
PP        : “Nanti Kota Ngawi langsung saja, Pak, jangan berhenti.”
Kami    : “Oww… kenapa, Pak?”
PP        : “Ngawi zona merah.”
Kami    : “Oh… iya, Pak.”
PP        : “Selamat melanjutkan perjalanan, hati-hati.”
Kami    : “Nggih, Pak. Terima kasih.”

Dari ‘jagongan’ singkat itu ada beberapa kesimpulan kecil:
1.      Untung nggak ditanya mau ngapain. Lucu saja kalau kami bilang mau beli ledre. Palingan beliau nggak percaya, jauh-jauh dari Jogja kok cuma mau beli ledre…. Kurang gawean po yo?
2.      Aneh, Padangan itu kota ramai pertama arah utara setelah Ngawi, kok beliau (yang saat itu sedang dinas di Kota Ngawi) sampai tidak tahu. Ah, mungkin do’i ini kapolsek setempat, atau, kapolda Jawa Timur, hehe… atau pejabat baru di kepolisian setempat gitulah, jadi belum hapal geografis sekitar. Ndilalah tadi saya dan masjo tidak sempat memperhatikan atribut identitas dan kepangkatannya. Intinya, saya maklum.
3.      Owalaaah… sekali lagi kami baru tersadar lagi kalau ini masih masa kopit. Kok ya kami berasa normal-normal saja. Dasarnya, pemerintah memang sudah menyatakan ini masa new normal atau normal baru dengan segala protokol kesehatannya.
4.      Bapak Polisi itu ramah dan tampak wibawanya, saya senang dengan petugas kepolisian macam begini. Kesannya mengayomi, bukan menakut-nakuti kayak polisi Londo atau Jepang zaman simbah dulu.
5.      Jip kami dari kejauhan tampak sebagai mobil pribadi, dan mungkin tampak asing, ah tapi mana kelihatan plat AB-nya dari jarak puluhan meter? Yang jelas, warnanya abang melok-melok, ketok. Truk-truk box berplat luar Ngawi tidak dicegat, mungkin sudah setiap harinya mereka wara-wiri, jadi sudah dianggap sebagai common people, not outsiders, yang sudah mengerti kondisi wilayah tersebut.
6.      Sekali lagi, perjalanan melalui Ngawi ini memberikan ‘cerita kecil’ bagi perjalanan kami. Brosis baca saja postingan Naik Jimny dari Jogja ke Bojonegoro untuk mengetahui ‘cerita kecil’ lainnya tentang Ngawi bagi kami. Hanya cerita kecil kok.

Ngawi-Padangan, Owalah… Ledre!
Kami pun melanjutkan perjalanan. Dari Kota Ngawi jip belok ke kiri (utara) ke arah Padangan. Masjo kebelet pee, kemudian berhenti di pom bensin kanan jalan. Pas nyebrang, seekor badak Jepang abu-abu plat L dari belakang nglakson-nglakson. Yo’ iiii broo, sumonggo duluan. Palingan nanti kesusul di jalanan yang jelek itu, hehehe. Dari selepas Sragen tadi memang ada Jimny di belakang kami. Ya, sesama Jimny, khususnya Jimny yang tampak “macak” biasanya saling tegur sapa di jalan dengan klakson atau lampu dim. Kalau ada yang tidak, biasanya itu yang nyopir perempuan, orang tua ‘rumahan’, atau orang yang minjem Jimny milik temannya.

Tidak seperti Ngawi ke arah timur, jalan ke arah utara ini aspal halus. Dua tahun yang lalu, tepatnya pada Februari 2018, jalan ini hancur bukan main. Bahkan kami masih ingat salah satu tikungannya dulu kayak kubangan kebo. Kali ini, saya yang sudah menyiapkan diri buat ajrut-ajrutan lagi melewati jalan ini, ternyata jadi nyantuy. Alhamdulillah. Thanks to pemerintah setempat, eh pemeritah pusat ya? Ini kan jalan negara, yang menghubungkan dua provinsi yakni Jatim-Jateng.

Baidewei, saya tidak melihat bus-bus AKAP sebagaimana dua tahun yang lalu itu. Ya, mungkin karena kopit tadi itu, jadi mereka belum narik. Baidewei lagi, Jimny abu-abu itu pun sudah tidak tampak sama sekali. Wis bablas angine karena bisa tancap gas di jalan mulus ini, lagian tadi saya lihat sekilas bannya pakai yang standar (bukan ban kasar/besar), tambah ngacirlah dia, hehe. Tidak terkejar sebagaimana perkiraan saya tadi.

Kemulusan aspal berubah menjadi cor semen/beton mulai kira-kira separuh lebih perjalanan dari pom bensin tadi. Saya tidak tahu nama daerahnya. Di postingan saya dua tahun yang lalu saya bercerita bahwa jalanan tersebut sedang ada proyek betonisasi. Sekarang sudah jadi. Ya iyalah, wong sudah lama. Saya sendiri lebih menyukai aspal ketimbang semen karena aspal lebih mulus, tidak ada sambungannya. Sambungan beton terasa jedug-jedug di roda, nggak ngenaki buat berkendara, dan memperlambat laju kendaraan. Warna putihnya bikin efek silau di mata, juga menambah rasa panas-sumuk karena bermandikan pantulan cahaya matahari.

Alhamdulillah, sekitar pukul 10.15 sampai juga di Padangan. Saya langsung mborong ledre dengan kalapnya, hihihi, dendam telah terbalaskan. Selain buat dimakan sendiri, niatnya sebagian buat tetangga, teman-teman mburuh, dan teman mbengkel. FYI, satu kotak ledre harganya Rp18.000. Isinya 2 plastik yang masing-masing berisi 15 batang. Jadi, satu kotak berisi 30 batang.

Di jalan, saya buka satu kotak. Dari plastik pertama yang berjumlah 15 batang itu blas tidak sebatang pun yang terasa pisangnya. Padahal kami ingat betul belinya di tempat yang sama dengan dua tahun yang lalu, namun rasa ledrenya sudah berbeda. Sama-sama ledre pisang original, tetapi kali ini rasa pisangnya saya cari-cari kok tidak terasa. Yaaa, sekedar kayak kue semprong yang ekstra tipis saja, atau kayak kue leker kosongan. Saya coba membuka plastik kedua, masih dari kotak yang sama… eh, lumayan ada rasa pisangnya tapi walaaah minimalis banget, kayak cuma pakai esens pisang. Padahal di kotaknya ada pernyataan klaim “lebih banyak pisangnya”. Mbuh kok dekadensi begini ya? Sudah jauh-jauh kudatangi, tapi kau mengecewakanku. Owalah… ledre!

Padangan-Bledug Kuwu dan Jalan Ngetril
Pukul 10.31 jip sudah melaju lagi, langsung menuju Bledug Kuwu. Dari kota kecil Padangan ke arah kiri ini tak berapa lama berselang ketemu dengan gapura selamat datang Jawa Tengah. Hei, sudah masuk Kabupaten Blora saja. Kemudian maju sedikit lagi untuk melintasi jembatan Sungai Bengawan Solo. Di sisi kirinya terbentang dua jembatan kereta api, tampaknya ini jalur double track; di sisi kanan tampak sebuah jembatan tua yang aspalnya sudah bolong-bolong parah, dan besinya karatan, tetapi fotogenik! Terlebih di bawah sana saya lihat sebuah sampan jadul yang tampaknya dipakai untuk mencari pasir. Kalau kena cahaya pagi, saya yakin pemandangan ini akan indah banget, romantic-nostalgic. Jadi ingin hunting foto ke sini kapan-kapan, semoga.

Padangan dan Cepu ternyata gandengan just like close friends. Yang saya lihat, dari keramaian ke keramaian nyambung terus tanpa jeda persawahan atau hutan. Sekitar 5 menit (mungkin kurang) saja dari toko ledre tadi jip sudah sampai Cepu. Setelah itu, rute kami: Kedungtuban-Randublatung-Doplang-Sulursari-Gabus-Bledug Kuwu. Jip ngisi Pertamax Rp200 ribu satu kali di pom bensin kiri jalan. Maaf brosis, saya lupa nama daerahnya.

Secara umum, jip dominan melewati jalan-jalan kabupaten yang di kiri-kanannya tampak berselang-seling perkampungan dan persawahan, ditingkah pasar dan toko-toko kecil atau ruang usaha jasa. Tidak ada pemandangan alam yang memukau hati saya. Rata-rata hamparan biasa saja. Kamera pun sama sekali tidak keluar untuk satu bidikan pun. Yang lumayan menarik, rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan yang rata-rata terbuat dari kayu. Ah, jelas saja, wong daerah sekitar sini (Bojonegoro, Blora, Purwodadi) terkenal akan kekayaan alamnya berupa kayu jati. Ketinggian terasnya rendah amat, khas rumah joglo zaman dulu. Untuk orang dengan tinggi badan 180cm tampaknya harus merunduk untuk melewatinya. Angan saya melayang ke rumah simbah di tahun 80’an sebelum direnovasi. Sayang, kini rumah itu sudah “dimoderniasi” dengan tembok semen, bentuknya pun sudah common seperti rumah-rumah tetangga. Nothing special anymore.

Saya sudah mbatin sebelumnya, bahwa nanti banyak melewati jalanan beton. Kan Jawa Tengah sedang getol betonisasi. Jadi, sedari rumah saya sudah nyiapin mental bakalan menikmati perjalanan yang tidak nikmat, eh… maksudnya, merasakan perjalanan yang tidak nyaman. Dan betul saja. Jalanan didominasi oleh beton nangka  semen yang bikin silau mata, apa lagi di siang hari yang terik. Sungguh tidak enak… dan efek panas pantulan sinar matahari menambah tidak nyaman kabin jip. AC sudah dipolkan pun masih keringetan nih badan. Terlebih, sambungan antarsegmen beton membuat efek “jeglig-jeglig” di dalam kendaraan, nggak enaaak.  Beda dengan aspal yang tanpa sambungan, muluuus saja tanpa efek hambat. Yang bikin ilfil, banyak sekali ruas jalan yang gronjalan, bolong-bolong, rusak parah cukup panjang dan lebar, yang memperlambat jalannya kendaraan, mana debunya tebal pula…. kasihan para pengendara roda dua. Anehnya, banyak ruas beton yang sudah rusak dan tampak ditambal, dan nambalnya dengan aspal. WTF! Lha, geneo isih butuh aspal. Kalau memang aspal itu dipandang lebih baik, lha kenapa tidak aspalisasi saja seperti sedia kala? Ah embuhlah.

Jip yang waras-waras saja sedari rumah, jadi mengeluarkan suara berisik “klotak-klotek”. Suara ini semakin lama semakin keras dan semakin sering terdengar. Sumbernya dari arah kiri kursi navi a.k.a saya. Pikir saya, itu dari daerah pintu. “Biasa… barang tuo, Mas,” ucap saya menenangkan masjo yang semakin gusar. Saya pun sebenarnya sudah gusar dari tadi, tapi ya mau gimana lagi. Ntar deh dicek di bengkel, apa penyebab suaranya. Nggak nahan dengan gangguan itu, sampai di jalan yang diapit hamparan sawah, kami berhenti. Cek punya cek, ternyata ketemu! Kursi saya! Jadi, bagian kaki ada sekrup yang kendor, nyaris lepas. Keesokan harinya pas dibawa ke bengkel, mas montir bilang bahwa ada bagian lantai yang retak sekitar 2 mm.  Edyan! Gara-gara jalan jelek. Solusinya, dibuatkan dudukan sekrup baru, biar kenceng. Masalah alhamdulillah tersolusikan.

Okei, kembali ke jalan *yang jelek*. Beberapa jembatan, catet: beberapa, artinya lebih dari satu jembatan, bahkan mengajak jip jumping bak permainan akrobat. Serius….! Jadi, di ujung dan pangkal jembatan itu kondisi jalannya lebih rendah dan curam. Pas jip mau masuk, kaget deh saya…. kok penuh hentakan. Tambah kaget lagi pas mau keluar jembatan, jalan mendadak turun-patah. Jip pun terbang ulalaaa….. dan mendarat dengan keras tanpa ampun. Wedyaaan! Balung iso remek nek ngene iki. Pengalaman kecut dengan jembatan pertama barusan, maka ketika hampir memasuki jembatan-jembatan lainnya, saya sebagai navi selalu mengingatkan masjo untuk pelan-pelan saja. Jangan sampai terbang lagi nih jip. Sekali lagi, kasihan para pengendara roda dua khususnya sepeda motor, bisa terbang dan jatuh terguling mereka, terlebih kalau mereka perdana melalui jalan tersebut. Tahun 2020 brooo, era milenia saja sudah lewat pakai banget. Kok ini di Jawa, yang notabene banyak pelintasnya, di tengah keramaian ini, masih ada (dan banyak) jalan raya yang amsyong gini.

Fix deh, jalur ini saya black list. Tidak berniat lewat sana lagi *kalau tidak amat sangat kepepet*.

Long story short, jam 12.30 kami sampailah di Bledug Kuwu. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri fenomena njeblug-nya tanah dari dalam bumi itu, meskipun hanya dari jauh, dari dalam kendaraan. Pun jeblugan-nya kecil-kecil saja. Saya baca di Google dan nonton di Youtube, katanya memang ada letupan yang kecil dan besar. Dan tampaknya, untuk melihat letupan yang besar, kami harus jalan kaki masuk ke lokasi, jip harus diparkirkan. Ah, saya males banget turun. Masjo pun setali tiga uang. Lha panasnya minta ampun kayak di gurun! *padahal belum pernah ke gurun*. Saya migren pula, dan tampaknya darah rendah juga kumat. Wadidaw… komplit!

Situs ini cukup luas menghampar di dataran yang dikelilingi pagar kawat berduri. Sayang, sebagian kawat tersebut sudah putus dan tampak tak terurus. Dari kejauhan saya lihat ada dangau-dangau untuk menyaksikan the ‘jeblugan’ show, juga ada beberapa menara yang tinggi bagi pengunjung yang ingin menyaksikannya dari atas. Di pinggir-pinggir pagar dekat parkiran banyak pedagang makanan dan minuman, khususnya degan. That’s all yang bisa saya ceritakan. Saya mbatin, objek wisata alam yang langka ini kalau berada di Singapura jadinya kaya apa ya?  Hmmm…. Mungkin akan sangat cantik, tidak pernah sepi pengunjung, dan menjadi ikon wisata negeri itu. Lha wong parit cuilik saja bisa jadi tempat yang keren dan menjual je.

Nasi Padang yang Berubah
Akhirnya, jip putar balik dan cabut. Kali ini kami menuju warung Padang yang biasanya kami mampiri kalau bepergian ke Jawa Tengah sisi timur. Kebetulan, sama dengan kasus ledre yang saya idamkan tadi, saya pun sudah sejak beberapa bulan lalu kangen pingin maem masakan warung ini yang cocok di lidah saya. bahkan, terbilang ‘recommended’.

Sebelum sampai warung, kami solat jamak-qoshor Dhuhur-Ashar dulu di pom bensin kiri jalan di wilayah Kota Purwodadi, sekalian noilet. Kondisi mushollanya siang itu sangat panas. Ada kipas angin berdiri, tapi saya baru ngeh seusai solat. Jadi, solat saya tadi kurang khusyuk karena badan kepanasan. *Mending, Piet…. di neraka nanti nggak akan ada tubuh yang tahan dengan panasnya, kalau kamu nyengaja nggak solat*. 

Seperti kata GN’R, “Nothing last forever…. Even cold November rain,” nasi Padang kali ini pun sudah berubah, tidak lagi recommended seperti yang dulu. Dalam kepala ini langsung terngiang-ngiang saja lagu tahun 80an “Aku masih Seperti yang Dulu” kesukaan bulik-bulik saya yang kala itu masih pada remaja, Dian Piesesha penyanyinya. 

Padahal, menu yang saya pesan sama, lauk ayam goreng. Begitu pula masjo yang selalu setia dengan telur dadar. Ayamnya keras dan mengecil, dengan bumbu yang tidak segurih dulu. Sambel ijonya seuprit, hedehh, kok jadi pelit gini sih. Sayur dan kuahnya tidak spicy lagi. Dan, baru kali ini saya maem nasi Padang yang jemek, kaya bubur karena masaknya kebanyakan air. Jadi, bisa kebayang kan. Jauh-jauh dikangenin, tapi dia sudah berubah, huhuu. Entahlah, kok bisa begini, apa tukang masaknya kurang perhatian, minta gaji naik tapi nggak dikasih, sedang bad mood? Ataukah, manajemennya sudah ganti? Entah.

Purwodadi-Solo
Kami tinggalkan warung sekitar jam 14.00 untuk melanjutkan perjalanan, pulang, melalui jalur Purwodadi-Solo. Kami terakhir lewat sini pada Juli 2018, kondisi jalan ini masih aspal ambyar yang sukses membuat kendor stir. Sekarang sudah diperbaiki dengan betonisasi, namun sebagian beton sudah rusak dan berimbas pada gronjalan lagi. Sebagian juga tampak sudah ada upaya perbaikan yakni ditambal dengan aspal, sama seperti jalan-jalan selepas Cepu tadi. Dan sekali lagi, saya harus menahan ketidaknyamanan berkendara di jalan beton itu.

Suasana jalan ramai-lancar, sesekali macet dan harus ngantri. Banyak truk segede Bagong yang membawa muatan berat. Heran saya, jalan kayak gini kok yang lewat kendaraan-kendaraan ‘heavy metal’. Iya memang, mereka limpahan dari pantura yang mau ke Jawa bagian dalam. Tapi, maksud saya, kalau yang lewat itu "simbol-simbol perekonomian" macam begitu, ya selayaknyalah jalan dibuat halus mulus agar tidak wasting time. Bukankah dalam dunia ekonomi kita sudah hapal jargon time is money?

Tidak ada yang bisa saya nikmati di jalur ini. Beruntung, saya banyak tertidurnya. Tahu-tahu jip sudah sampai Solo, di perlintasan kereta api yang tadi pagi kami lewati dari arah sebaliknya itu. Maaf lagi, saya nggak tahu nama daerahnya.^^

Solo-Jogja
Alhamdulillah memasuki Kota Solo, kemudian Klaten, dan masuk wilayah DIY jalanannya notabene aspal mulus kabeh. Sangat signifikan perbedaan rasa berkendaranya. Badan lebih anteng, less guncangan. Sebagai warga DIY, saya berharap DIY terus mempertahankan jalan beraspalnya. Syukur-syukur dibikin lebih mulus lagi mengingat Jogja itu destinasi wisata utama wisnu. Tidak ikut-ikutan betonisasi. Asli, jalan beton itu tidak enak. Beda dengan beton rebus. 

Jalur ini ramai lancar, terkadang sedikit macet. Tidak ada hal menarik untuk saya ceritakan karena saya banyak ketiduran pula, hehehe, turuuu wae. Biarin saja si sopir melek sendirian, sudah hapal jalan kok. Sampai di rumah pukul setengah enam sore, pas adzan Magrib. Jadi, total waktu tempuh dari berangkat hingga sampai rumah 12 ¼ jam. Total bensin Pertamax yang dibeli Rp500 ribu, dua kali ngisi, dengan harga Pertamax Rp9.000/liter.

Dolan ini tadi lebih banyak menyebalkannya dibanding menyenangkannya. Mulai dari kondisi jalan yang remuk, jok yang berisik, ledre yang ingkar janji, sampai nasi Padang yang sudah tak seperti yang dulu. Meskipun demikian, selalu ada hal-hal yang bisa saya ambil dan pelajari. Wis, ngono ae yo postingan kali ini, simpulno dewe. Sepurane, ra ono potone. Hiks.

Wassalam.

~Piet~