Minggu, 31 Juli 2016

“Nyidam” Tape Ketan Muntilan


 
Hai hallooo, broda sista…..
Dari Bantul ke Muntilan, dari wilayah Jogja bagian selatan ke wilayah Jawa Tengah bagian selatan, itu sudah berkategoro AKAP ya. Hehee. Nah, kemarin saya main “jug-cing” saja ke Muntilan untuk sekedar membeli tape ketannya yang enak itu. Abis itu ya langsung pulang. Saya mah gitu orangnya ^^.

FYI, semua foto dalam postingan ini saya buat dengan kamera HP Lenovo. Jadi, jika dirasa kurang sip, ya harap maklum la yaaw :D


 
Ceritanya, beberapa hari sebelum itu, saya main ke rumah saudara di daerah Temanggung. Memasuki Sleman, kok kepala saya agak pusing, padahal sudah sarapan. Kemudian terpikirlah untuk mencari yang seger-seger penawar pusing itu. Kalau beli buah, ah malas mengupas kulit atau memotong-motongnya. Lalu terlintaslah tape ketan seger, manis, berair, dan legit yang Lebaran lalu saya temui di rumah bulik. Tapi, mosok  ya saya balik ke rumah bulik untuk minta tape. Wekekek, ndagel tur syaruu. Lagian, Lebaran sudah lama berlalu, sekarang tapenya ya sudah di septic tank habis to ya.

Begronnya jip, biar greget. Kan ini blog jip?! Nggak nyambung disambung-sambungin. Biarin! Hehe...

Kebetulan, di depan sana kan kota kecil bernama Muntilan yang terkenal akan oleh-oleh tape ketannya. Maka dari itu, memasuki keramaian Kota Muntilan, menepilah jip saya di toko Tape Ketan Muntilan 181. Gampang banget deh menemukan toko ini. Kalau anda berkendara dari arah Jogja, memasuki daerah Muntilan, mulai pelankan laju kendaraan anda. Setelah melewati jembatan, siap-siap tengok kiri depan. Toko ini letaknya di kiri jalan, jadi enak, kita tidak usah pake rempong nyebrang-nyebrang jalan segala. Tempat parkirnya pun lumayan luas.





Jip saya di depan toko Tape Ketan Muntilan 181



Di situ saya sengaja fokus pada tape saja, walaupun jajanan pasar di etalase pada “ngawe-awe”; ada klepon, bakso tahu, sejenis risoles atau lumpia yang dimakannya pakai nyeplus cabe rawit itu.... mmmm looks yummy, sejumlah jajanan berbungkus daun pisang yang bikin penasaran apa isi di dalamnya, dll. Biar tidak tergoda oleh mereka *maklumlah, emak-emak suka masak* saya segera njujug bagian tape saja di dekat kasir. Saya minta tape yang berwadah toples, tak lupa minta sendok plastik juga biar bisa segera makan di jalan.



Yummy..... si hijau yang manis segar ini bikin saya ketagihan :)



Harganya Rp55.000, berat tape ini 1 kg. Hmmm saya pikir nggak sampek segitu je, hiks. Saya kira harganya Rp30an ribu saja. Wkwkwk.... Yowis, saya beli satu toples. Ada juga tape berbungkus kantong plastik transparan yang diikat ujungnya, isinya lebih sedikit yakni 1/2kg, harganya saya lupa hehe... maafkan ya. Lha saya tidak tertarik, karena saya butuh yang berwadah stabil sehingga tidak tumpah atau belepotan di dalam kendaraan.

 
Bagi brosis yang belum tahu tape ketan Muntilan, ini saya kasih sedikit gambaran. Tape ini terbuat dari beras ketan yang diwarnai hijau. I dunno pewarnanya dari bahan apa, tetapi dilihat dari kecerahannya kok mengingatkan saya akan pasta pandan yang sering saya pakai bikin kue atau manisan kolang-kaling itu. Atau, bisa jadi ini pewarna makanan jenis lain; tapi sepertinya bukan dari daun katuk karena hijaunya daun katuk lebih kalem, tidak seceria ini. But don’t worry, kecerahan warnanya masih wajar kok; tidak seperti jajanan anak-anak di depan sekolah SD yang super ngejreng mengerikan itu.


Dilanjutken. Tekstur tape ini empuk bin gempi (boso jowo). Rasanya manis pas, segar kalau dimakan siang bolong. Dimakan tengah malam sambil menghitung bintang pun asyik aja, palingan ntar tidak terasa udah raib pindah ke perut semua. Aromanya normal, tidak ada bau-bauan yang aneh-aneh. Kalau kita menyendok bagian bawah, tapenya lebih basah karena berarir, beras ketan yang di bawah terfermentasi dengan lebih baik. Air tape ini pun manisnya pas, segar.



Singkat cerita, setelah pulang dari silaturahim di rumah saudara, tape ini tidak bertahan lama. Kenapa? Bukaan, bukan karena basi atau rusak, tetapi karena saya cemilin sambil nonton tivi. Kok tak terasa aja, tinggal separuh toples pun ora ono. Hahaha.... buto! Lha enak je. Manis, legit, seger, dan tidak sengar atau over fermented. Teksturnya pun lembut dan gimanaaaa gitu. Menyenangkan deh. Keesokan harinya saya lihat di kulkas, eh dia sudah nyaris habis. Tinggal tersisa sesendok saja. Ternyata masjo juga doyan. Hahahaha. Kirain emoh..... Tau gitu, kemarin saya beli dobel atau tripel sekalian ya.

Ukuran toples dibandingkan dengan kacamata minus dan HP qwerty jadoel saya

Itulah cerita yang melatarbelakangi *hedeeh bahasanya* keinginan saya untuk beli tape ketan Muntilan lagi. Ternyata lidah ini nagih, mencari-cari lagi. Mana lagi nih tape yang bisa ane kunyah?

Hihi.... dan akhirnya, keesokan harinya meluncurlah kami ke Muntilan hanya untuk membeli tape tersebut. Kali ini belinya dua toples, biar lebih awet. Yang satu untuk yang matang/dikonsumsi hari ini, satunya lagi matang besok. Jangan khawatir brosis, di tutup toplesnya terdapat tanggal yang jelas kok. Ini dimaksudkan agar kita bisa mengonsumsi pada kematangan yang pas.  

Tercantum tanggal matangnya tape di toplesnya

Lha tapi kok tidak mborong banyak sekalian? Tiga, lima, atau setengah lusin sekalian? Wkwkwk. Saya tidak mau rasa nikmat itu berubah menjadi bosen dan eneg. *Eh, ingat bosen, jadi ingat hukum Gossen :) * Selain itu, tape ini kalau tidak segera habis, rasa manisnya bisa berubah rasa menjadi manis bercampur sengar atau bahasa jawanya “nyegrak”, menusuk hidung dan tenggorokan. Dan itu tidak enak. Istilah saya: tapenya sudah ketuaan.

Setoples tape dengan sendoknya ini berbungkus plastik kresek hijau

Olrait, seperti pembelian yang sebelumnya, saya pun meminta sendok. Setelah itu, di dalam perjalan pulang pun saya langsung mil-ketemil seperti kijang makan lembayung aja. Hehe.

Kalau soal rasa, tidak diragukan lagi deh. Toko 181 yang pembuat tape ini sudah berpengalaman puluhan tahun, sejak 1935 brosis. Sejak kita masih dijajah Belanda. Sejak saya belum lahir *dikonsep pun belum, wong ortu saya juga belum lahir*. Well, tulisan “sejak 1935” itu terdapat di kantong plastik kresek pembungkus serta di billboard toko; tapi di toplesnya kok tulisannya “Pertama sejak 1947” ya? Yang mana yang benar nih? Brosis ada yang tahu kah? Silahkan berikan pendapat di bawah ya :)




Tape ketan Muntilan warna hijau ini berhasil memenuhi rasa “nyidam” saya. Eh tapi tapi.... tape ini ada tapinya. Di tengah-tengah kunyahan, lidah saya kadang menemukan substansi keras yang ternyata itu beras ketan yang belum matang sempurna, bsoso jowone “nglethis”. Tidak banyak sih, tidak di semua suapan, yaaa mungkin 1:8, tapi cukup mengganggu lah. 

Ada beras ketan yang masih mentah... hiks :(
Nemu krikil item juga... eww...
Karyawan bagian pengukusan perlu lebih cermat nih, agar beras ketannya matang merata. Pinginnya kan, dari awal sampai titik tape penghabisan, saya menyendok dan mengunyah tekstur yang halus mulus bagai jalan tol. Kayak tape Cirebon yang berbungkus daun jambu air itu, totally mulus. Satu lagi, saya juga menemukan kerikil kecil warna item. Ya, perlu lebih jeli lagi nih bagian pencuci dalam menyortir beras ketannya.




Kalau disodori yang begini ini, saya mana tahaaaan..... Sikat bleeeh!

Eniwei, it is not a big deal for me. Nyatanya, saya masih kembali lagi kok, dan masih berniat kembali lagi untuk membelinya kapan-kapan. Soalnya enak, sesuai dengan selera saya. Oh ya, ternyata dia punya cabang di Jogja. Walah, baru ngeh saya setelah membaca tulisan di tas kreseknya. Ora popo, hitung-hitung turing... bwahaha. Turing nanggung.

Kesimpulan saya untuk Tape Ketan Muntilan 181 ini:
Asyiknya:
+ enak, legit, manisnya pas, teksturnya pas
+ kemasan toples mudah di-handle di perjalanan
+ keterangan tanggal matangnya jelas
+ minta sendok langsung dikasih (lebih baik otomatis dikasih, tidak perlu minta)
+ tempat parkir representatif

Nggak asyiknya:
- masih ada beras ketan  yang mentah, juga beberapa gelintir krikil
saran: pengukusan dan penyortiran beras ketan sebaiknya lebih dicermati lagi
- harga agak ketinggian
saran: menurut saya perlu diturunkan *bwahaha mode pelit ngirit-irit on* tapi cucoklah kalau masalah pada poin di atas sudah tertangani
- warna hijaunya masih tampak artifisial
saran: lebih ajib pakai pewarna alami (daun suji, or whatever)

Saya lebih menyukai memakannya pada suhu ruang. Menurut saya, teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih 'jujur' daripada kalau dingin keluar dari kulkas. Hehe... ini sih faktor selera saja ya. Monggo, kalau anda lebih menyukai yang dingin. 

Oh iya, saya belum pernah mencoba tape ketan Muntilan dari toko lain atau merk lain. Mungkin kapan-kapan perlu saya coba. Atau anda punya referensi tape ketan lain yang uenak tenan? Jangan sungkan-sungkan, beritahu saya ya :) Kalau anda ikutan 'nyidam' setelah baca postingan ini, segeraaaa  otewe ke tekape.
Wassalam.

~Piet~


1 komentar: