Foto-foto oleh: saya dan masjo
Dolanlah, supaya tidak jenuh
“Dolan sik, ben ra edan!” kata teman saya kalo dia pas pingin escape dari rutinitas. Kalau hidup tidak pake dolan, maka dia bisa edan, hihi. Begitulah the need for dolan, rekreasi, biar pikiran tersegarkan, tidak suntuk melulu, jangan sampai terjadi mental fatigue saat menjalani kehidupan seperti yang baru saja saya alami. Mumet, hectic, sensi *halah, curcol*. So, DOLAN itu bisa menjadi mood booster agar keadaan kembali normal.
Sabtu-Minggu, 15-16 April 2017, saya dolan ke Semarang. Di sana ada acara
kumpul-kumpul jip Jimny-Katana yang bertajuk “Jambore dan Musyawarah Daerah [SKIn] Pengurus
Daerah Jawa Tengah”. Tak ketinggalan, ada CR-annya pula. Acara dihelat di
Lapangan Latihan Kodam, di daerah Tembalang, tepatnya di depan Rumah Sakit
Undip. Sebelum kesana saya chat dulu tentang lokasi tersebut
pada adik saya yang lulusan Undip, coz dalam benak saya,
Semarang itu tak jauh-jauh dari panas dan syumuk. Saya kan temannya manusia kutub yang menderita kalau berada di tempat panas. Kata dia, lokasinya di atas kok, artinya nggak yang panas-panas amat gitu. Terus, dekat kuburan.... blaik! Wedehh.... Jadi ingat jurit malam waktu kemah semasa SMP dulu, lewat kuburan bawaannya horor. Nggak lihat apa-apa tapi perasaan kayak lihat hantu beterbangan, hihihi.... Baiklah, setelah
yakin no problemo, capcuzz… cabuut....
Tiba di Lapangan Latihan Kodam IV Diponegoro
Selepas sholat jamak-qoshor Magrib-Isyak, di malam Minggu itu kami meluncur bareng rombongan teman-teman [SKIn] Magelang dengan ber-7 jip. Nanti ada dua jip lainnya yang berangkat sendiri, satu menyusul dari Magelang, satunya lagi menyusul dari Jogja. Tidak lewat jalan tol, kami lewat jalur wisata Bandungan yang jalanannya berkelok-kelok dan naik-turun.
As always, masjo driver guanteng, saya navi unyudan kami
bak finalis dimas diajeng, wekekekk. Enaknya jadi navi, saya boleh
terkantuk-kantuk, sedangkan masjo dilarang keras! Antara merem dan melek,
tau-tau jip sudah masuk kawasan Universitas Diponegoro, yang mlipir jalan tol
sekaligus gerbang tol Tembalang. Hehe… rasanya aneh deh, kampus jejeran ama
jalan tol. Beneran, kami lewat jalan lingkungan kampus Undip mlipir, di sebelah
kiri sudah jalan tol plus gerbang tol Tembalang. Kedua ruas jalan cuma
dipisahkan oleh pagar tembok dengan ketinggian sedang sehingga dari dalam jip
saya bisa melihat kondisi jalan tol. Bwahakk… ndesonya saya. Maklumlah, di Jogja
raya kan tidak ada jalan tol, terlebih yang jejer ama kampus. Mlipir-mlipir
syantik itu berakhir ke belok kiri, masuk ke sebuah tanah lapang berumput hijau
dengan dikelilingi pepohonan. Sampailah kami di lokasi. Saya lupa tepatnya,
tetapi sekitar pukul 9 malam lebih atau setengah sepuluhan.
Wah asyik juga tempatnya, kelihatan rapi dan terawat. Ini merupakan lapangan
tempat latihan om-om tentara brosis, milik Kodam IV Diponegoro. Ada panggung
acara yang tak begitu besar di tengah lapangan, yang menyajikan dangdutan orgen
tunggal. Hehe…. Always kalo itu ya. Di sekeliling lapangan itu sudah
banyak Jimkat yang datang terlebih dahulu. Mereka datang dari chapter-chapter
klub [SKIn] atawa Suzuki Katana Jimny Indonesia, yang bernaung di bawah [SKIn]
Pengda Jawa Tengah. Bentuk, warna, dan style-nya macem-macem. Ada yang
standar a la keluaran pabrik, ada yang setengah modif, dan ada yang full
modif.
Saya, dan tentunya brosis penyuka Jimkat tentulah senang melihat Jimkat cakep-cakep di sana. Bisa buat cuci mata, bisa pula buat referensi untuk memodifikasi Jimkat masing-masing. Ehemm…. Siap-siap teracuni. Jimny saya merah, tapi kok lihat Jimny trepes warna kuning ban extreme itu kok ya naksir juga ya?? Sama naksirnya saya ama Jimny kanvas yang agak dekil itu, hehe. Jimny merah polos berban extreme dan ber-winch itu mayan gahar jugak! Lah, Jimny putih trepes itu pun ciamik! Ahihihi…. Human nature! Saya mensyukuri saja jip saya, dengan segala kurang-lebihnya; tapi saya juga mengapresiasi jip-jip lain yang dimodif bagus-bagus itu. Sudah pernah saya sebut dalam postingan terdahulu, dalam situasi seperti ini saya seperti a kid in a candy store. Excited!
Langsung kami cari parkiran yang masih longgar dan nyaman buat
nge-camp. Ndakdo tukang parkir, semua nyari space sendiri, lalu
markirin dan merapikan jipnya sendiri-sendiri. Mmm…. Jadi inget cerita bapak
saya yang suka nglurug main tenis ke Kucing, Malaysia, dengan teman-teman
pensiunannya nyarter bus pariwisata. Beliau bercerita, bahwa lewat jalan darat
dari Pontianak melalui Entikong, sekeluarnya dari wilayah NKRI memasuki Kota
Kucing, ndakdo itu dijumpai tukang parkir, namun semua parkiran tampak rapi dan
tertib. Itu karena kesadaran masyarakatnya yang tinggi, yang tentu saja diawali
dengan peraturan yang sedemikian rupa ditegakkannya, sehingga terbentuklah habit
yang baik dan tertib itu. Wew…. Kapan nih Indo bisa kayak gitu? *terdengar
Koesplus nyanyiin Kapan-kapan…….* Ya tapi mendinglah, ketertiban itu senantiasa
saya jumpai saat main sama anak-anak jip macam gini. Kita semua satu kepentingan
kok ya, sama rasa, jadi bisa saling berempati.
Kembali ke lapangan. Eh, banyak pohon mangga yang mulai berbuah kecil-kecil.
Walaupun gak bisa buat ngerujak *hussh! disuruh push up 99x ntar* tapi
lumayanlah, bisa buat berteduh besok siangnya. Selanjutnya, kami melakukan
registrasi dengan tak lupa menyertakan uang Rp 150 ribu rupiah per mobil. Dapat
apa saja? Standarlah brosis, dapat makan malam nasi kotak buat driver dan
navi, kupon makan dan snek buat besok pagi, kupon undian doorprize,
stiker persegi nomor lambung, stiker panjang event, dan stiker bundar
kecil event. Keesokan harinya dapat peta tulip buat CR. Oiya, dapat kaos
pula sebenarnya, tapi ditunda karena masih belum jadi. Ya, oke. Saya memaklumi,
mengingat katanya, event ini cukup mendadak dicetuskannya sehingga waktu
persiapannya pun cukup mepet pula (kabarnya hanya tiga minggu, CMIIW). Not
bad, buat waktu persiapan sesingkat itu.
Tidur beratapkan langit
Yang satu ini sudah cukup lama tidak saya lakukan: tidur beratapkan langit. Yak, tidur tanpa atap rumah, tanpa tenda, tanpa terpal, atau tanpa kanopi-kanopian. Mata langsung bertatapan dengan gemerlap sinar sang dewi malam, sambil sesekali menghitung bintang yang malu-malu untuk berkedipan. Merasakan embun menempel di selimut dan bantal, beralaskan tikar ala kadar. Sebuah kesederhanaan yang sungguh manis bak kue lupis. Aish! Khairil Anwar mana nih mana.…?? *ditimpuk pena* Memang, alam itu membuat kita jadi puitis ya brosis. Kadang romantis. Kadang pula berasa atis, seperti malam itu. Tadinya saya random mengira lokasinya tak seberapa atis bin dingin, jadi tak perlulah tenda-tendaan. Lagian, saya memang belum punya tenda. Bhihik…. Mau nyewa terlebih pinjem, ah… riskan. Tenda kan barang pribadi. Lha ternyata, ketika malam meluncur menuju subuh, dingin mulai terasa di tepi lapangan itu. Embun pun benar-benar bikin basah tikar, karpet, bantal, dan sisi atas selimut, sisi yang tidak bersentuhan dengan hangatnya tubuh.
Jam 12.35 an, satu jip teman KJFC datang. Nekat juga bro ini! Nyupir
sendirian tengah malam dari Jogja ke Semarang ditemani anak, istri, dan adiknya
saja; tak ada jip lain yang membarenginya. Bukannya kenapa, tapi Jimkat itu kan
notabene barang tua. Kalau sendirian di tengah malam gitu, dan dikerjain
demit terjadi trouble lalu mogok, siapa yang dimintai tolong buat
nyetrap? Kunti atau Gendri. Untunglah dia madhep manteb dan
lancar jaya sampai tujuan. Alhamdulillah.
Jaga kebersihan itu perlu
Pingin istirahat, tapi saya belum bisa terpejam dengan tenang. Boso Jowone “klisik-an”. Lha saya belum sikatan dan belum bersihin muka je. Walaaah! Perempuan! Hehehe. Iyaa, saya kan orangnya sok higienis. Jadilah saya ngogrek-ogrek masjo minta dianterin ke kamar kecil deket situ. Kebetulan kamar mandinya tidak bisa dikunci, perlu ada yang njagain, dan ada luwing alias kaki seribu guedenya pula di sudut pintu itu. Huhu… ceyemm.
Ada juga kamar mandi lain yang alamaak panjang bangeds bak kamar kos. Dari luar tampak kayak istal. Letaknya di dekat barak yang tak kalah panjang. Nah, saya mandinya di situ itu besok subuhnya. Ukurannya 3,25 x 4 meter, bisa buat main pingpong. Bak mandinya pun puanjang bak lori, ya sepanjang 4 meter itu. Airnya bersih dan jernih, gayungnya pun banyak. Mungkin ini didesain untuk bebersih masal para om tentara seusai latihan kali ya? Jadi hemat waktu, nggak perlu kelamaan nunggu antrian. Sayangnya, kok ada yang mbuang bungkus sabun dan bungkus sikat gigi di saluran drainase yang bikin tidak lancar air pembuangan ya?! Huhh… payah! Loe ga asik! Emang, apa susahnya sih bawa keluar bungkus itu? Berat ya? Emang berapa kwintal? Sewot bingids deh saya. Meskipun tidak disediakan tempat sampah di sana, sudah deffault kalau habis menguliti perlengkapan mandi ya diurusi sendiri smpahnya. Malu-maluin bener. Yang buang sampah itu harus belajar sama om-om offroader, yang sampahnya rapi termenej, bukan dibuang ngasal. Tidak heran kalau orang Meleysie suka ngatain dengan nada ngejek, “Ah… Indon!”
Suasana pagi di camp
Bangun tidur ku terus mandi. Habis itu sarapan nasi dus dan nyantai saja, piknik, ngobrol-ngobrol saja. Dolan kali ini saya enggan banget ngangkat kamera. Males nyari gambar, seadanya saja. Mungkin karena saya lelah sejak dari rumah karena masih berasa ada ekses-ekses pekerjaan, mungkin. Saya bener-bener hanya ingin dolan menikmati going outside tanpa diganggu aktivitas jepret-menjepret. But, gatel juga nih kalo nggak mejet-mejet shutter. Motret saya ala kadarnya, semau-mau gue. Gambarnya pun yaaaah semau-mau gue pula… alias jelek, hahaha.
Di pagi yang cerah itu di lapangan ada senam bareng. Instrukturnya cukup heboh bersemangat, tetapi anak-anak jip itu kebanyakan memilih duduk-duduk nontonin yang senam, hihihi… Banyak pula yang masih di dalam tenda, bobok. Maklumlah, semalam kurang tidur, begadang. Bisa ketemu, kumpul, dan ngobrol seru dengan teman-teman jauh yang tak setiap hari bisa kopi darat itu adalah sesuatu.
Di sisi lain lapangan ada yang lari-lari dan olah raga kecil. Entah dari mana
mereka, mirip-mirip latihan menwa. Di atas camp ada “tawon besi” terbang
kian-kemari mengambil gambar dengan dengungannya yang mirip bumble
bee. Heeey…. Di langit biru nun jauh di sana kok ada segaris awan panjang
tipis yang lama-kelamaan menyebar?! Ujungnya ada semacam benda mirip pesawat
terbang yang tampak keciiil. Kalo brosis pembaca setia teori konspirasi,
tentulah hapal dengan apa ini. Hehe. Saya berharap, ya semoga saya sehat-sehat
saja, tidak kenapa-kenapa… karena dia persis di atas lokasi acara. Sliweran
wira-wiri seolah tahu di bawahnya lagi ada pengumpulan massa generasi penggerak
bangsa. Eww……
Pasang-memasang stiker di jip pun menjadi pemandangan umum di pagi itu. Dulu,
jip kami penuh dengan stiker event. Kalau kemana-mana ikut acara
jip-jipan, stiker selalu kami tempelin di badan dan kaca jip. Saat ini, kami
baru menyukai style simpel polos dengan aksen stiker variasi. Kalau pas
ikut event, ya ditempellah stiker nomor pesertanya. Usai
event, ya dikeleteklah itu stiker.
Masih pagi tapi siangan dikit ada kontes jip. Chapter-chapter diharuskan
mengirimkan utusan jipnya untuk dikonteskan. Saya pun cukup nonton dari pinggir
lapangan saja sembari ngobrol ca’em. Panas jek, males kesana-sana. Ada brosis
yang tampak mulai gusar, biasalah… sudah tidak sabar lagi nunggu CR
di-strart-kan. Hehehe.
Country road di Bukit Tembalang-Brown Canyon
Jam setengah sepuluh kurang, tibalah saat yang dinantikan: CR-an. Snek dus berisi kue-kue kelas berat pengganjal perut sudah dibagikan sedari pagi untuk bekal. Tahu aja nih panitia cara bikin perut kenyang. Meskipun tidak lagi dapat jatah makan nasi, tapi sneknya bener-bener nendang. Tulip pun sudah dibagikan. Di situ tertulis ada 3 jenis trek:
1. Trek guyon: 4x4
2. Trek towel: 4x4 fun dan 4x2 tinggi
3. Trek unyu: 4x2 standar
Istilah-istilahnya menghibur sekaligus humble , seolah-olah berkata, “ Aah, jangan khawatir Om…. Treknya nggak susah kok.” Tulip tersebut hanya terdiri atas satu setengah halaman saja. Yak, jarak dekat nih. Cepat sampai tujuan, cepat finish-nya. Tidak tertulis trek winching, wew….. padahal kenyataannya ada. Itulah risiko pemakaian istilah kiasan yang tidak to the point, sehingga informasi penting menyangkut keselamatan kendaraan dan bahkan manusia kadang bisa terabaikan. Juga masalah manajemen waktu peserta, jadi jauh meleset terlalu jauh.
Start dimulai, panitia pun membagikan kantong plastik kresek perjip untuk tempat sampah selama CR-an. Ini merupakan effort panitia untuk mengarahkan peserta agar tidak membuang sampah di luar jipnya atau di trek. Sebentuk upaya yang patut diapresiasi, karena, walaupun sepertinya sepele, tapi bayangin saja, kalau semua peserta buang sampah di sepanjang trek, mau jadi apa dong alamnya? Bukit Tembalang ntar jadi TPA. Kita kan tidak mau dicap negatif dan berbudaya rendah karena nyampah.
Oiya, panitia pun menyodorkan kerdus semacam kotak sumbangan untuk bakti
sosial. Peserta dipersilahkan menyumbang seikhlasnya, kemudian melanjutkan
perjalanan.
Anggota rombongan kami nyaris semuanya jip 4x4, kecuali satu jip saja yang
4x2. Kami memilih “trek guyon 4x4 ”. Di persimpangan, jip 4x2 itu terpaksa harus
berpisah karena dia wajib lewat “trek towel”. Ahihihi. Towel, lucyu aja namanya.
Entah arti sesungguhnya apa, entah di-towing, entah ditowel/dicolek. Di
sepanjang jalur pun dipasangi spanduk bertuliskan kata-kata lucu nan menghibur,
yang menyemangati, plus bergaya alay kekinian… hehe. Semangat remajanya
kelihatan. Atau, mungkin yang nulis itu masih remaja belia ya? *Ah, sayanya aja
yang begaya tua dewasa.*
Eh, banyak kebo juga di sana yang bullshit-nya bertebaran
kemana-mana. Kalau tidak hati-hati menapak…… ieuh! Alas kaki anda bakal tambah
berat dua ons. Saya cari-cari, kok tidak ada anak gembala meniup seruling di atas punggung kebo itu ya? Ow, itu kan kini tinggal nostalgia syahdu dalam lagu. Hiks.
Pada dasarnya, CR-an ini aman dan normal, namun ada dua trek yang menjadi
handicap, dan lebih dari itu, jadi masalah buat saya dan peserta-peserta
lain: trek tanjakan lumpur dan trek batu Brown Canyon. Okeih, kita bahas
satu-persatu.
Handicap tanjakan berlumpur
Trek tanjakan berlumpur ini adalah handicap pertama yang kami temui di “trek guyon 4x4”. Sependek sepengamatan saya, tidak ada jip yang berhasil lewat sini kalau tidak diwinch. Panitia sudah menyediakan jip rescue di ujung tanjakan, saya lihat ada Toyota Hardtop warna hijau telur bebek yang sedang ngewinch jip peserta. Hmmm….. andai semua jip yang taruhlah berjumlah 40 (dan kayaknya lebih) naik ke trek itu, coba bayangkan, kalau satu jip butuh 20-30 menit untuk naik, coba dihitung waktu yang dihabiskan di situ. Sampe ntar malam atau besok pagi mungkin baru bubar.
Kami mempertimbangkan itu, maka dengan mantab masjo pun ngajakin saya puter
balik, mlipiiir! Ahahaha… Biarin! Karena kami kembali lewat jalur awal, maka
kami ketemulah dengan barisan panjang jip-jip yang ngantri trek. “Stuck,
ngantri lama!” begitulah yang kami katakan pada barisan itu yang bertanya kenapa
kok jip kami balik kanan, emang ada apa di depan sana. Matahari bersinar terik
pula, seolah menambah galau anak-anak dan ibu-ibu yang ikut CR-an. Hihi, risiko
ikut CR-an dik, buu…. Muka saya juga gosong kok, sunblok saya kurang tebel.
Besok lagi perlu pake topeng, minjem tukang las…. Wkwkwk.
Selanjutnya jip kami masuk jalur 4x2. Naungan pepohonan rasanya lumayan
ngedem. Terus ketemu persimpangan jalur 4x4. Berhentilah kami nungguin jip-jip
rombongan kami di situ, markir jip, terus jalan kaki ke atas trek lumpur sambil
nonton proses winching lanjutan yang tadi itu. Tidak sedikit warga desa
sekitar yang ikut nonton. Salah satunya ada yang cerita ke salah satu teman
bahwa kemarin, parit di trek itu dibendung airnya. Hari ini baru dibuka.
Hahay….! Oke, oke. Tidak masalah. Sah-sah saja, itu adalah upaya biar treknya
jadi lebih licin dan asyik. Yang jadi masalah buat kami, dan buat ji-jip lain
yang mlipir adalah tidak adanya informasi bahwa ada trek wajib nge-winch-nya.
Kami kira 4x4 biasa, yang penuh dengan guyonan seperti judulnya. Eh ternyata
panitianya yang “ngajak guyon”, memberi kami “surprise”. Atau, panitia
sendiri yang kurag aware kalau luapan paritnya ternyata kebanyakan
sehingga kelicinan trek yang dimaksud menjadi berlebihan, dan mengubahnya
menjadi trek ekstrim?
Di belakang sana tampak datang rombongan-rombongan jip. Laahh… itu mah jip-jip 4x4 yang tadi kami ketemu di jalur 4x4 contraflow. Wkwkwkwk….. pada mlipir juga ternyata. Geli bercampur senang. Lha jip saya jadi banyak teman, teman senasib seplipiran, qiqiqi. Padahal ada yang sudah tampak “siap tempur” dengan ban ekstim, winch, dan roll cage. Itu tak jadi soal. Tentu pertimbangannya adalah mood dan waktu, bosan dan penat jika harus menunggu antrian kelamaan. Selain itu, besok Senin kita rata-rata harus kembali bekerja, anak-anak juga harus ke sekolah. Jadi jangan sampai nanti pulang telat, dan tidak punya cukup waktu buat beristirahat. Jangan sampai kerja dan sekolah jadi batal karenanya. Wokeh… lanjuuut.
Brown Canyon, bukit keruk back hoe
Pascatrek lumpur, trek berlanjut melewati pepohonan di kawasan hutan kecil, lalu masuk kampung. Penduduk kampung tampak excited nonton arak-arakan jip kami, sambil senyum-senyum ngitungin jip-jip yang kotor berlumpur.
Trek kemudian keluar ke jalan raya menuju Brown Canyon (BC). Ya, itu adalah
salah satu tempat wisata kekinian di seputar Semarang.Terbentuk dari hasil
pengerukan dengan alat berat (back hoe), bentuk bukit pun menjadi unik
dan fotogenik. Tak heran kalau di tulip tertulis “selfie” di trek itu. Hehe. Ya
ya… Sekarang kan eranya foto selfie brosis. Wisata di BC pun didominasi oleh
wisata berfoto, khususnya foto selfie. Setahun yang lalu saya lihat di foto,
bukit ini masih berwarna coklat apik, tapi kini sudah banyak dicampuri oleh
warna hijau rerumputan. Kefotogenikan si canyon coklat itu pun sedikit
berkurang. Well, tak semua yang hijau itu indah ya brosis, tergantung pada banyak hal.
Mongomong, sekarang di mana-mana banyak bukit keruk yang
dijadiin tempat wisata berfoto. Di Jogja pun ada, tepatnya di kawasan wisata
Mangunan, Imogiri, Bantul. Anak-anak kekinian menyebutnya bukit begho
(back hoe). Di dekat Prambanan pun ada, namanya Bukit Breksi. Di Madura
juga banyak, dan bahkan menjadi subjek mahasiswa saya dalam tugas akhirnya. Iya
betul, fenomena wisata bukit keruk ini demikian semaraknya di era
fotografi dengan kamera ponsel yang berafiliasi dengan medsos ini. Mungkin di
daerah lain di Nusantara tercinta yang belum saya ketahui juga banyak ya?
Kemon dilanjuut. Dari jalan raya beraspal, kami masuk mulut gang menuju kawasan tebing coklat itu. Panitia sudah siap dengan menempatkan sejumlah bapak polantas di situ. Bapak-bapak polantas itu tampak sigap mengatur arus keluar-masuk jip terhadap arus mainstream jalanan. Hal ini penting brosis, demi keamanan bersama. Anda tentu tahu kan, gimana bawaannya kalo lagi ngejip dalam rombongan panjang? Rasanya kayak nggak mau dipotong dari barisan, dan itu tentulah akan merugikan pengguna jalan lainnya karena waktu mereka banyak tersita untuk menunggu rombongan kita lewat sepenuhnya. Kadang, mereka pun tak mau ngalah, tak sabar menunggu. Kalau semua tak ada yang mau ngalah, biasanya terjadi deh itu senggolan. Tepatlah kiranya kehadiran polantas di sana.
Wokeh, tak jauh dari jalan raya, sampai juga kami di BC. Jalur naik dan turun
CRnya sama. Artinya, jip yang baru naik akan ketemu dengan jip yang sedang
turun. No worry, jalannya lebar kok. Yang dibedakan cuma jalur 4x2.
Tantangan di sini berwujud trek keras berbatu, ada pula tanjakan yang cukup
patah berbeloknya, dan musti menghindari nubruk batu besar. Intinya, trek BC ini
brosis harus siap dengan kerusakan hardware macam transfer case,
gardan, as roda, tangki bensin, en teman-temannya itu di sektor kaki-kaki.
Handicap Dono Kasino: amsyoong…..
Satu handicap yang bikin qeqi yaitu trek batu nongol. Letaknya di tengah-tengak trek. Mau ambil kanan, badan kiri kena… mau ambil kiri, badan kanan kena. Kanan kena, kiri kena. Wedewww…. perasaan kite kagak sedang syuting pilem Dono Kasino. Jip saya pun tak bisa menghindar, dan…. Dwarrr!!! Penyok dah side bar kiri, karena masjo ngambilnya ke kanan. Huhuu… Itu pun dia sudah pelan-pelan ngegasnya sampe mesin mati beberapa kali, supaya impact-nya tidak besar.
Sebelum jip saya on the track, saya sengaja turun untuk melihat
detail handicap, dan menjadi saksi bagaimana jip-jip ber-side
bar nyamping dan ber-ground clearance tidak tinggi menjulang tak
punya pilihan untuk bersenggolan amsyong. Rombongan kami saja ada 4 jip yang
“kena deh!” Semuanya ber-side bar nyamping dan ber-ground clearance
tinggi normal. Entah bagaimana dengan jip-jip peserta lainnya.
Jip teman-teman yang tinggi menjulang rata-rata pada aman. Hmmmm, mungkin ada
yang tanya. Kalau gitu, lha kok jip saya tidak ditinggimenjulangkan? Brosis,
tinggi menjulang itu memang keren, lebih berkesan gagah, tapi kurang save
karena risiko klonthang-ya jadi lebih besar. Ini disebabkan oleh
nature-nya Jimkat yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kelebaran
kaki-kakinya dalam menapak bumi. Dengan kata lain, rasio height to
width-nya tidak balance. Alias, Jimkat itu tinggi tapi kurang
ngangkang . Padahal, faktor “ngangkang”-nya itulah yang bikin balance. Oleh
karenanya, untuk membuat ngangkang, orang sering menambahkan adapter pada as
roda. Adapter itu pun tidak boleh asal lebar, ada hitungan amannya. Kalau
terlalu lebar, as malah jadi rentan patah, hiiii… ngeri kan?? Selain dengan
adapter itu, ada pula yang mengganti as bawaan dengan as jip model lain yang
dari sononya sudah lebih lebar, misalnya as Samurai.
Sempat saya menyimak komen seorang teman yang cukup berpengalaman dalam offroad. Pascamelihat trek amsyong itu, dia bilang bahwa trek yang apik bukan yang asal bikin rusak kendaraan. Trek yang apik itu tidak sekedar asyik, seru, dan ada tantangannya saja; tetapi juga tetap aman bagi manusianya serta kendaraannya. Wah, betul banget kata Om ini. Bukankah kita CR-an untuk seru-seruan, supaya bahagia? Hal ini berbeda dengan trek offroad ekspedisi yang ganas dan kejam, yang pesertanya pure adventure offroader.
Eh, lalu, apa bedanya CR bin country road dan offroad ya? Hayoo....? Kok kita-kita pecinta Jimkat lebih sering memakai istilah CR daripada offroad? Kapan-kapan inshaallah saya bahas yes. Hehehe… tapi tentu saja kalau saya sempat.
Yah, begitulah. Eniwei, setelah ngetawain diri masing-masing, kami bergerak
turun dari BC menuju finish tikum lapangan. Trek kembalinya biasa saja,
wong jalan raya doang. Sudah tidak ada lagi handicap.
Finish di lapangan
Sesampainya lagi di lapangan, saya dan masjo bergegas ke kamar mandi yang bisa buat pingpong itu, sekalian wudhu lalu sholat jamak-qoshor Dzuhur-Ashar di mushola tepi lapangan. Di situ tersedia tempat wudhu yang airnya mengalir lancar. Banyak brother dan sister yang wudhu dan sholat juga di sana, alhamdulilah sejuk di dada. Di tengah keasyikan main, mereka juga masih ingat kewajibannya.
Sambil nunggu rombongan jip lain yang belum finish, panitia menyajikan
hiburan penyanyi dangdut koplo seperti biasa. Saya dan ibu-ibu milih duduk-duduk
menggelar karpet di bawah pohon mangga, sambil minum es dawet dapat di mas-mas
bakul ideran. Waw, seger bingits panas-panas nges dawet. Ini salah satu minuman
favorit saya sejak kecil. Sekarang minuman favorit saya sih sudah nambah satu
lagi, teh panas gula batu. Wuahaa… Sesuai umur ternyata yaks.
Panitia kemudian membacakan satu demi satu hasil undian doorprize.
Bwehehe, seperti biasaa… Saya tidak pernah mujur soal undian-undianan, makanya
tidak berani ngarep dapat, sekedar selembar kanebo sekalipun. Saya dolan mah
niatnya buat refreshing saja, bukan nyari hadiah, meskipun kalau semisal
dapat ya tentu tidak boleh nolak duong, hihii. Kapaaan itu kelakon ya? Hmmmm…
Teman-teman serombongan kami lumayan tuh, ada yang dapat setiran, bemper, dan tas carrier. Lumayanlah, sedikit pelipur hati dari penyok-penyok tadi. Btw, saya tidak menyimak hasil kontes jip yang menang yang mana, dari chapter mana dan pada kategori apa saja. Tau-tau acara ditutup setelah hadiah terakhir dan terbesar diumumkan, yaitu sebuah sepeda motor matic Yamaha Mio. Dan… sekali lagi itu bukan nomor keberuntungan saya. Hihihi. Selamat ya buat yang memboyong pulang Mio.
Kami pun langsung bergegas mengemasi barang dan naik ke jip masing-masing, line up, dan cabut pulang pukul 2-an siang. Pulangnya masih sama, lewat Bandungan. Tidak ngebut, pelan-pelan saja. Lagian, mana ada Katana-Jimny bisa ngebut yak? Saya sendiri baru nyampe rumah sekitar pukul 7.30-an malam. Alhamdulillah lancar. Saya pun dapat sejumlah pembelajaran dengan cara yang menyenangkan.
Kesimpulan dolan country road ke Brown Canyon
Semarang
Pros:
Sampai jumpa di lain post. Wassalam.
~Piet~
Dolanlah, supaya tidak jenuh
“Dolan sik, ben ra edan!” kata teman saya kalo dia pas pingin escape dari rutinitas. Kalau hidup tidak pake dolan, maka dia bisa edan, hihi. Begitulah the need for dolan, rekreasi, biar pikiran tersegarkan, tidak suntuk melulu, jangan sampai terjadi mental fatigue saat menjalani kehidupan seperti yang baru saja saya alami. Mumet, hectic, sensi *halah, curcol*. So, DOLAN itu bisa menjadi mood booster agar keadaan kembali normal.
Brown Canyon. Pernahkah brosis kesana? |
Poster event “Jambore dan Musyawarah Daerah
[SKIn] Pengda Jawa Tengah”
Tiba di Lapangan Latihan Kodam IV Diponegoro
Selepas sholat jamak-qoshor Magrib-Isyak, di malam Minggu itu kami meluncur bareng rombongan teman-teman [SKIn] Magelang dengan ber-7 jip. Nanti ada dua jip lainnya yang berangkat sendiri, satu menyusul dari Magelang, satunya lagi menyusul dari Jogja. Tidak lewat jalan tol, kami lewat jalur wisata Bandungan yang jalanannya berkelok-kelok dan naik-turun.
As always, masjo driver guanteng, saya navi unyu
Mlipir gerbang tol
Dolanlah,
nikmati udara luar yang segar…. karena pikiran dan hati kita butuh
penyegaran
Saya, dan tentunya brosis penyuka Jimkat tentulah senang melihat Jimkat cakep-cakep di sana. Bisa buat cuci mata, bisa pula buat referensi untuk memodifikasi Jimkat masing-masing. Ehemm…. Siap-siap teracuni. Jimny saya merah, tapi kok lihat Jimny trepes warna kuning ban extreme itu kok ya naksir juga ya?? Sama naksirnya saya ama Jimny kanvas yang agak dekil itu, hehe. Jimny merah polos berban extreme dan ber-winch itu mayan gahar jugak! Lah, Jimny putih trepes itu pun ciamik! Ahihihi…. Human nature! Saya mensyukuri saja jip saya, dengan segala kurang-lebihnya; tapi saya juga mengapresiasi jip-jip lain yang dimodif bagus-bagus itu. Sudah pernah saya sebut dalam postingan terdahulu, dalam situasi seperti ini saya seperti a kid in a candy store. Excited!
Parkiran yang
rapi
Jipku tendaku
Tidur beratapkan langit
Yang satu ini sudah cukup lama tidak saya lakukan: tidur beratapkan langit. Yak, tidur tanpa atap rumah, tanpa tenda, tanpa terpal, atau tanpa kanopi-kanopian. Mata langsung bertatapan dengan gemerlap sinar sang dewi malam, sambil sesekali menghitung bintang yang malu-malu untuk berkedipan. Merasakan embun menempel di selimut dan bantal, beralaskan tikar ala kadar. Sebuah kesederhanaan yang sungguh manis bak kue lupis. Aish! Khairil Anwar mana nih mana.…?? *ditimpuk pena* Memang, alam itu membuat kita jadi puitis ya brosis. Kadang romantis. Kadang pula berasa atis, seperti malam itu. Tadinya saya random mengira lokasinya tak seberapa atis bin dingin, jadi tak perlulah tenda-tendaan. Lagian, saya memang belum punya tenda. Bhihik…. Mau nyewa terlebih pinjem, ah… riskan. Tenda kan barang pribadi. Lha ternyata, ketika malam meluncur menuju subuh, dingin mulai terasa di tepi lapangan itu. Embun pun benar-benar bikin basah tikar, karpet, bantal, dan sisi atas selimut, sisi yang tidak bersentuhan dengan hangatnya tubuh.
Tikarku springbedku
Keluarga
pemberani, apa nekat?
Pingin istirahat, tapi saya belum bisa terpejam dengan tenang. Boso Jowone “klisik-an”. Lha saya belum sikatan dan belum bersihin muka je. Walaaah! Perempuan! Hehehe. Iyaa, saya kan orangnya sok higienis. Jadilah saya ngogrek-ogrek masjo minta dianterin ke kamar kecil deket situ. Kebetulan kamar mandinya tidak bisa dikunci, perlu ada yang njagain, dan ada luwing alias kaki seribu guedenya pula di sudut pintu itu. Huhu… ceyemm.
Ada juga kamar mandi lain yang alamaak panjang bangeds bak kamar kos. Dari luar tampak kayak istal. Letaknya di dekat barak yang tak kalah panjang. Nah, saya mandinya di situ itu besok subuhnya. Ukurannya 3,25 x 4 meter, bisa buat main pingpong. Bak mandinya pun puanjang bak lori, ya sepanjang 4 meter itu. Airnya bersih dan jernih, gayungnya pun banyak. Mungkin ini didesain untuk bebersih masal para om tentara seusai latihan kali ya? Jadi hemat waktu, nggak perlu kelamaan nunggu antrian. Sayangnya, kok ada yang mbuang bungkus sabun dan bungkus sikat gigi di saluran drainase yang bikin tidak lancar air pembuangan ya?! Huhh… payah! Loe ga asik! Emang, apa susahnya sih bawa keluar bungkus itu? Berat ya? Emang berapa kwintal? Sewot bingids deh saya. Meskipun tidak disediakan tempat sampah di sana, sudah deffault kalau habis menguliti perlengkapan mandi ya diurusi sendiri smpahnya. Malu-maluin bener. Yang buang sampah itu harus belajar sama om-om offroader, yang sampahnya rapi termenej, bukan dibuang ngasal. Tidak heran kalau orang Meleysie suka ngatain dengan nada ngejek, “Ah… Indon!”
Suasana pagi di camp
Bangun tidur ku terus mandi. Habis itu sarapan nasi dus dan nyantai saja, piknik, ngobrol-ngobrol saja. Dolan kali ini saya enggan banget ngangkat kamera. Males nyari gambar, seadanya saja. Mungkin karena saya lelah sejak dari rumah karena masih berasa ada ekses-ekses pekerjaan, mungkin. Saya bener-bener hanya ingin dolan menikmati going outside tanpa diganggu aktivitas jepret-menjepret. But, gatel juga nih kalo nggak mejet-mejet shutter. Motret saya ala kadarnya, semau-mau gue. Gambarnya pun yaaaah semau-mau gue pula… alias jelek, hahaha.
Suasana pagi di perkemahan
Senam-senam dan
lari-lari pagi
Nontonin yang
senam
Panitia mengambil gambar |
Mentari mulai menghangatkan perkemahan |
Di pagi yang cerah itu di lapangan ada senam bareng. Instrukturnya cukup heboh bersemangat, tetapi anak-anak jip itu kebanyakan memilih duduk-duduk nontonin yang senam, hihihi… Banyak pula yang masih di dalam tenda, bobok. Maklumlah, semalam kurang tidur, begadang. Bisa ketemu, kumpul, dan ngobrol seru dengan teman-teman jauh yang tak setiap hari bisa kopi darat itu adalah sesuatu.
Mau
outbond boleh, main bola juga boleh
Drone,
rembulan, dan… chemtrail
?
Pasang stiker
nomor peserta,
pasang stiker juga buat nutupin body yang kropos.... ☺☺☺
Pasang stiker,
pilih-pilih space yang masih
bisa ditempeli
Kontes jip di
lapangan
Country road di Bukit Tembalang-Brown Canyon
Jam setengah sepuluh kurang, tibalah saat yang dinantikan: CR-an. Snek dus berisi kue-kue kelas berat pengganjal perut sudah dibagikan sedari pagi untuk bekal. Tahu aja nih panitia cara bikin perut kenyang. Meskipun tidak lagi dapat jatah makan nasi, tapi sneknya bener-bener nendang. Tulip pun sudah dibagikan. Di situ tertulis ada 3 jenis trek:
1. Trek guyon: 4x4
2. Trek towel: 4x4 fun dan 4x2 tinggi
3. Trek unyu: 4x2 standar
Istilah-istilahnya menghibur sekaligus humble , seolah-olah berkata, “ Aah, jangan khawatir Om…. Treknya nggak susah kok.” Tulip tersebut hanya terdiri atas satu setengah halaman saja. Yak, jarak dekat nih. Cepat sampai tujuan, cepat finish-nya. Tidak tertulis trek winching, wew….. padahal kenyataannya ada. Itulah risiko pemakaian istilah kiasan yang tidak to the point, sehingga informasi penting menyangkut keselamatan kendaraan dan bahkan manusia kadang bisa terabaikan. Juga masalah manajemen waktu peserta, jadi jauh meleset terlalu jauh.
Start dimulai, panitia pun membagikan kantong plastik kresek perjip untuk tempat sampah selama CR-an. Ini merupakan effort panitia untuk mengarahkan peserta agar tidak membuang sampah di luar jipnya atau di trek. Sebentuk upaya yang patut diapresiasi, karena, walaupun sepertinya sepele, tapi bayangin saja, kalau semua peserta buang sampah di sepanjang trek, mau jadi apa dong alamnya? Bukit Tembalang ntar jadi TPA. Kita kan tidak mau dicap negatif dan berbudaya rendah karena nyampah.
Start
CR-an
Blusukan di
semak-semak
Tak cuma di
meme-meme medsos, di trek pun ada yang beginian
Para kebo yang
digembalakan di Bukit Tembalang
Handicap tanjakan berlumpur
Trek tanjakan berlumpur ini adalah handicap pertama yang kami temui di “trek guyon 4x4”. Sependek sepengamatan saya, tidak ada jip yang berhasil lewat sini kalau tidak diwinch. Panitia sudah menyediakan jip rescue di ujung tanjakan, saya lihat ada Toyota Hardtop warna hijau telur bebek yang sedang ngewinch jip peserta. Hmmm….. andai semua jip yang taruhlah berjumlah 40 (dan kayaknya lebih) naik ke trek itu, coba bayangkan, kalau satu jip butuh 20-30 menit untuk naik, coba dihitung waktu yang dihabiskan di situ. Sampe ntar malam atau besok pagi mungkin baru bubar.
Keramaian di
tengah alas
Jip dari [SKIn]
Kudus ini mulai memasuki trek tanjakan berlumpur
Mencoba
naik-turun, lalu pasrah menyerah ditarik seling
Balik kanan.
Ketemu dengan rombongan 4x4,
lalu minta jalan lewat menuju “trek
towel”
Di belakang sana tampak datang rombongan-rombongan jip. Laahh… itu mah jip-jip 4x4 yang tadi kami ketemu di jalur 4x4 contraflow. Wkwkwkwk….. pada mlipir juga ternyata. Geli bercampur senang. Lha jip saya jadi banyak teman, teman senasib seplipiran, qiqiqi. Padahal ada yang sudah tampak “siap tempur” dengan ban ekstim, winch, dan roll cage. Itu tak jadi soal. Tentu pertimbangannya adalah mood dan waktu, bosan dan penat jika harus menunggu antrian kelamaan. Selain itu, besok Senin kita rata-rata harus kembali bekerja, anak-anak juga harus ke sekolah. Jadi jangan sampai nanti pulang telat, dan tidak punya cukup waktu buat beristirahat. Jangan sampai kerja dan sekolah jadi batal karenanya. Wokeh… lanjuuut.
Brown Canyon, bukit keruk back hoe
Pascatrek lumpur, trek berlanjut melewati pepohonan di kawasan hutan kecil, lalu masuk kampung. Penduduk kampung tampak excited nonton arak-arakan jip kami, sambil senyum-senyum ngitungin jip-jip yang kotor berlumpur.
Salah satu sisi Brown Canyon yang tidak benar-benar coklat |
Brown Canyon
Semarang bersemu hijau, tetep indah kok
Kemon dilanjuut. Dari jalan raya beraspal, kami masuk mulut gang menuju kawasan tebing coklat itu. Panitia sudah siap dengan menempatkan sejumlah bapak polantas di situ. Bapak-bapak polantas itu tampak sigap mengatur arus keluar-masuk jip terhadap arus mainstream jalanan. Hal ini penting brosis, demi keamanan bersama. Anda tentu tahu kan, gimana bawaannya kalo lagi ngejip dalam rombongan panjang? Rasanya kayak nggak mau dipotong dari barisan, dan itu tentulah akan merugikan pengguna jalan lainnya karena waktu mereka banyak tersita untuk menunggu rombongan kita lewat sepenuhnya. Kadang, mereka pun tak mau ngalah, tak sabar menunggu. Kalau semua tak ada yang mau ngalah, biasanya terjadi deh itu senggolan. Tepatlah kiranya kehadiran polantas di sana.
Arak-arakan jip
naik dan turun BC
Jip ini pake
naik-turun…. naik lagi, turun lagi, baru berhasil melewati tanjakan agak zig-zag itu.
Tantangannya, habis menanjak, terus menghindari menumbuk
batu
besar di kanan itu, lalu nanjak lagi.
Satu handicap yang bikin qeqi yaitu trek batu nongol. Letaknya di tengah-tengak trek. Mau ambil kanan, badan kiri kena… mau ambil kiri, badan kanan kena. Kanan kena, kiri kena. Wedewww…. perasaan kite kagak sedang syuting pilem Dono Kasino. Jip saya pun tak bisa menghindar, dan…. Dwarrr!!! Penyok dah side bar kiri, karena masjo ngambilnya ke kanan. Huhuu… Itu pun dia sudah pelan-pelan ngegasnya sampe mesin mati beberapa kali, supaya impact-nya tidak besar.
Nih, saya kasih foto sekuennya. Pelan banget masjo nyetirnya, buat memperkecil terkena imbas tumbukan. Ambil kanan, kiri kena…. Ambil kiri, kanan kena. Have no choice, semua pahit, dan “dwaggg!” Kena deh sidebar kiri!
Selain penyok, setelah dicek ternyata side bar-nya nonjok body bawah, penyok pula tuh body. Bhihik. Rapopo, risiko CR-an. Kita harus siap dengan jip rusak, kenteng, ganti komponen, pergi ke bengkel, dan pergi ke toko onderdil. Untunglah penyoknya tidak parah. Besoknya, dikerjain sendiri ama masjo pun jadi. Penyoknya cukup teratasi meskipun hasilnya tidak mulus-mulus amat.
Jip beliau pun
tak luput dari si batu amsyong, bengkok jek…
Nih, foto sekuen
lainnya. Katana long
berban 31 ini maju-mundur cyantik
duyu…
maju pelaaaan-pelan, dan sepertinya
lolos, tapi… “jdaaagggg!” knalpotnya kena!
Sempat saya menyimak komen seorang teman yang cukup berpengalaman dalam offroad. Pascamelihat trek amsyong itu, dia bilang bahwa trek yang apik bukan yang asal bikin rusak kendaraan. Trek yang apik itu tidak sekedar asyik, seru, dan ada tantangannya saja; tetapi juga tetap aman bagi manusianya serta kendaraannya. Wah, betul banget kata Om ini. Bukankah kita CR-an untuk seru-seruan, supaya bahagia? Hal ini berbeda dengan trek offroad ekspedisi yang ganas dan kejam, yang pesertanya pure adventure offroader.
Eh, lalu, apa bedanya CR bin country road dan offroad ya? Hayoo....? Kok kita-kita pecinta Jimkat lebih sering memakai istilah CR daripada offroad? Kapan-kapan inshaallah saya bahas yes. Hehehe… tapi tentu saja kalau saya sempat.
Turunan ini
cukup curam, batu keras itu perlu dihati-hatiin.
Kalau tidak pas
sudutnya, transfer
case bisa kena.
Bersiap-siap turun dari BC, ada yang selfie dulu |
Jip panitia berjaga di titik-titik tertentu |
Finish di lapangan
Sesampainya lagi di lapangan, saya dan masjo bergegas ke kamar mandi yang bisa buat pingpong itu, sekalian wudhu lalu sholat jamak-qoshor Dzuhur-Ashar di mushola tepi lapangan. Di situ tersedia tempat wudhu yang airnya mengalir lancar. Banyak brother dan sister yang wudhu dan sholat juga di sana, alhamdulilah sejuk di dada. Di tengah keasyikan main, mereka juga masih ingat kewajibannya.
Finish!
Masuk ke lapangan lagi. Panitia tampak
berjaga dan siap
memberi paraf kupon doorprize peserta yang berhasil
finish.
Panitia membacakan hasil undian doorprize diselingi hiburan orgen tunggal |
Dapat doorprize bemper, lumayaan.... |
Teman-teman serombongan kami lumayan tuh, ada yang dapat setiran, bemper, dan tas carrier. Lumayanlah, sedikit pelipur hati dari penyok-penyok tadi. Btw, saya tidak menyimak hasil kontes jip yang menang yang mana, dari chapter mana dan pada kategori apa saja. Tau-tau acara ditutup setelah hadiah terakhir dan terbesar diumumkan, yaitu sebuah sepeda motor matic Yamaha Mio. Dan… sekali lagi itu bukan nomor keberuntungan saya. Hihihi. Selamat ya buat yang memboyong pulang Mio.
Driving home
via Bandungan. Hasta
la vista, Semarang!
Waktunya
bersiap-siap buat kembali ke rutinitas esok hari
Kami pun langsung bergegas mengemasi barang dan naik ke jip masing-masing, line up, dan cabut pulang pukul 2-an siang. Pulangnya masih sama, lewat Bandungan. Tidak ngebut, pelan-pelan saja. Lagian, mana ada Katana-Jimny bisa ngebut yak? Saya sendiri baru nyampe rumah sekitar pukul 7.30-an malam. Alhamdulillah lancar. Saya pun dapat sejumlah pembelajaran dengan cara yang menyenangkan.
Parkir di sebuah
lapangan, mampir jajan mie ayam.
1, 2, 3, 4……
empat jip dihitung dari kiri ini victims, penyok semua. Wkwkwk…
Pros:
+ tikum representatif, luas,
hijau, dan banyak tempat teduh
+ mandi dan ibadah lancar
+ ada penjual dawet, hihi
+ panitia siap: ada pembagian
tas kresek sampah, polantas
+ refreshing, penawar mental fatigue
Kons:
- trek winching tidak diinformasikan, bikin antrian panjang dan
stuck lama
saran: perlu diinformasikan
dengan jelas, jangan di-“ciluk baa”
- handicap batu nongol mencelakakan kendaraan
saran: konsepkan trek yang
asyik tapi save untuk kendaraan dan penumpang
- saya tidak sempat selfie di
Brown Canyon karena sibuk ngambil gambar
saran: tidak ada, itu salah
saya sendiri
Sampai jumpa di lain post. Wassalam.
~Piet~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar