Dua bulan yang lalu tepatnya
tanggal 21 Mei 2018, Jimny saya punya ‘sepatu’ baru dari pabrikan Delium. ‘Sepatu’ alias ban ini merupakan produk Tanah Deli, Sumatra
Utara, Indonesia, negeri kita tercinta. Matching dengan
nama tempatnya, Deli-Delium; Delium seri
Terra mania 31 MT ini sudah cukup lama menjadi incaran saya, namun perlu diadakan beberapa kali perundingan dan konferensi meja
makan dulu dengan masjo hingga terwujud
kesepakatan mulia ini. ^^
Sepotong penampakan ban Delium Terra Mania 31 MT |
Ide punya ban Terra Mania ini didapatkan dari jipnya Mas Tri toko, teman satu klub di KJFC Yogyakarta. Ya begitulah, risiko nge-klub. Sawang-sinawang dan kompor-komporan sudah merupakan hal yang biasa, yang kadang membuat kita
kalap, kalap yang bikin hepi tapi *nyari
pembenaran*.
Bang Jim dengan sepatu barunya Delium Terra Mania 31 MT |
Nama
Dalam situs Urban Dictionary disebutkan sejumlah arti kata "terra" yang matching dengan konsep penamaan ban ini yang di antaranya: merupakan kata sebutan untuk "bumi" dalam ragam ilmiah; berpadanan kata dengan land alias tanah. Adapun kamus daring Inggris-Indonesia menuliskan kata "mania" yang berarti sangat gemar, keranjingan, menggilai. So, dapat saya simpulkan bahwa terra mania berarti gemar akan tanah, keranjingan main tanah, menggilai tanah. Yes brosis, soal penamaan, ban ini 100% cocok dengan peruntukannya yang untuk bermain di tanah, garuk tanah, atau main offroad. Soal semantic interpretation ini, Delium saya acungi jempol dah! Ciamik...
Harga
Seberapa dalam merogoh kocek merupakan faktor yang krusial yang harus dipertimbangkan dalam
pembelian komponen jip. Jangan sampai APBDapur menjadi minus gara-gara beli ban. Saya kan nggak ingin trio brambang-bawang-lombok jadi nggak kebeli gegara belanja ban. Saya pun ogah dong kalau sampe nggak bisa beli sepokat en gombalan, hehe.
Ban Delium Terra Mania 31
MT ini diboyong dari toko ban Widodo Ban,
Jl. Brigjen Katamso Selatan, Kota Jogja. Kalau beli satuan, di sana ban ini ditawarkan Rp1.200.000,-. Setelah bernegosiasi,
akhirnya turun tipiiis jadi Rp1.175.000,- (beda toko bisa
beda harga). That means, kalau kita beli empat buah, harganya jadi Rp4.700.000,-.
Kami memilih sistem tukar
tambah saja supaya lebih irit dan tidak perlu menyimpan barang yang tidak
terpakai di rumah. Ban lama Hankook Dynapro 30 MT sebanyak empat buah ditukar dengan ban Delium baru sebanyak empat buah pula, dengan merogoh kocek Rp3.400.000,-.
Ban Delium Terra Mania 31 MT baru tiba dari pengambilan di gudang. Gudangnya di mana? I dunno :) |
Ban Delium Terra Mania 31 MT dipompa dulu untuk dipasang |
FYI, ban belakang Dynapro yang nglungsur punya teman ini sudah kami pakai selama
4 tahun. Adapun ban depan, kami beli dalam kondisi baru di Widodo Ban 1 tahun 5 bulan yang lalu. Tambahan info, ban kiri depan
sudah ada tambalannya satu biji karena belum lama ini kecoblos paku payung. So, menurut saya, harga yang kami dapat ya
sepadanlah. Adapun satu ban sisanya (ban serep) masjo lego murmer
kepada teman satu klub. Lumayan, bisa buat tambahan modal beli ban serep
Komodo Extreme 31 bekas.
Komex nangkring manis, ditangkringi si manis Tobby |
Sewaktu di toko itu, saya tidak bisa ikut karena lagi sok sibuk
sebagai ibu-ibu sosialita…. so suwit dan syantiek djelita… *timpuk sepon ati*. Jadi, masjo sendiri yang kesana. But don’t worry, saya sudah mewanti-wantinya untuk motret beberapa, sehingga bisa saya bagikan di blog ini :)) Eniwei, i am so sorry
for the poor image quality, karena kamera hape masjo sudah out of date dan sering nge-hank hiks. Lha ngaboti le tuku ban disik kok.
Adapun foto-foto lainnya, saya bikin sendiri dengan
kamera hape saya.
Babaayyy Dynapro...! Tengkiuu sudah menemani kami empat tahun ini |
Tongkrongan
Walaupun dari pabriknya tertulis ban MT (mud
terrain), menurut saya ban ini malah lebih tepat dikategorikan ke dalam ban extreme.
Bilah-bilah mayor atau sirip kembangan sisi
bawah-sampingnya besar dan kasar, jarak
antarsirip pun renggang-renggang seperti ban extreme. Wuhh… ini membuatnya tampak gahar dan maskulin, dan
itulah salah satu alasan kenapa saya mantab jiwa untuk memilikinya.
See? "Mud Terrain" here, not extreme... but yeah, it looks and feels like extreme |
Bagi saya, jip 4x4 itu memang paling cocok didandani
dengan konsep gahar dan maskulin, tentu saja dengan tetap mengedepankan fungsi. Fungsi untuk bisa goin' everywhere tentu saja. Konsep form follows function yang
dicetuskan oleh arsitek Louis Sullivan berlaku untuk jip saya ini. Artinya, bentuk mengikuti fungsi. Maksudnya, karena fungsinya untuk blah blah blah.... maka bentuknya ya menyesuaikan blah blah blah itu. Contohnya, soal ban. Biar bisa dipakai blusukan, maka dipakailah ban kasar yang imbasnya bikin tampilan jip jadi 'berotot'.
Pie dab? Satub poya? ahahaha... |
Ukuran ban 31 inci ini ketika dipasang pada peleg ber-ring 15 berhasil membuat 'Bang Jim' tampak lebih kekar
dan ganteng.
Aksen jipnya jadi lebih kental. Impresi adventure
4x4 nya pun jadi lebih kentara. Hmmm…. i luv
it!
Syahdu diliputi kabut tipis Kebun Teh Wonosari, Lawang, Jawa Timur |
Pas pulang dari toko ban, warna ban ini masih hitam
kecoklatan. Ketika dipoles dengan semir ban pun, ban ini tetap tidak bisa hitam
legam, dia tetap kecoklatan. Well,
saya kurang suka. Saya lebih menyukai warna ban yang hitam bold sebagaimana Dynapro kemarin. Lha tapi ternyata, setelah sekian
hari dipakai menggelinding kemudian disemir lagi, tadaaa…. Warna hitam legamnya
akhirnya keluar. Hehe. Memang, sabar itu perlu broo. Ibarat makan alpukat yang
baru dipetik, ya nggak enak. Kita harus memeramnya dulu beberapa hari hingga
matang.
Kembangan dan Compound
Kalau brosis familiar
dengan kembangan ban Komex alias Komodo Extreme, nah ban Terra Mania ini mirip-mirip itu.
Perbedaan signifikan terletak pada guratan sisi bawah
yang bersentuhan langsung dengan permukaan jalan. Di Komex, dua guratan kiri-kanan yang bertemu berhadap-hadapan tidak sama panjang; kiri pendek-kanan panjang, kiri panjang-kanan pendek. Di Terra Mania, persis sama panjang. Di Komex, tepi bawahnya bertekstur mirip kuku reptil/komodo; di Terra
Mania mirip huruf V. Di Komex, pada bagian sisi terdapat motif bundaran-bundaran besar-kecil bak tekstur kulit kadal komodo; di Terra Mania tidak ada alias polos. Secara fungsi, huruf V tersebut
tampaknya akan lebih signifikan dibanding kuku komodo, karena tampak lebih memiliki daya “dayung” untuk berenang di dalam lumpur atau main air. Ini menurut prakiraan
saya yang hanya seorang navigator kw12 dan sekedar bojone koncone offroader lho ya. Dan yep, prakiraan, karena belum
dicoba buat berenang.
Kembangan samping a la huruf "V" |
Soal compound, Terra mania ini lebih lunak dibandingkan Dynapro. Ini
mudah dirasakan hanya dengan menekan, mengetuk, atau men-ciwel-nya (mencubit besar-besar). Keempukan ini berimbas positif
pada lebih besarnya traksi yang didapat. Imbas negatifnya, masa pakai ban tentu
akan lebih singkat karena kembangannya bakalan lebih cepat habis/gundul. So, kudu siap bila ban ini nantinya
lebih boros di pengeluaran dana. Perkiraan saya, untuk penggunaan on-road daily yang tidak daily-daily amat
dan blusukan light off-road sebulan sekali, ban ini bisa dipakai
selama dua atau tiga tahun. Kita lihat
nanti. Catet: penggunaan mulai Mei 2018.
Rasanya
Lalu seperti apakah
rasanya naik Jimny dengan ban Delium Terra Mania 31
MT ini? Ternyata pertambahan satu inci dari 30 ke
31 ini cukup signifikan saya rasakan. Saya harus lebih berayun
dan bahkan sedikit ngesot untuk bisa naik ke dalam jip dari pintu samping, hingga mencapai posisi duduk di
jok… fffiuuhh. Kebayang hebohnya kalau buat ikutan #kikichallenge #kikidoyouloveme yang lagi ngehits itu. Btw, saya belum nemu kikichallenge yang pakai Jimny lho. Brosis mau nyoba? Hihi... tampaknya bakalan awsam dan meriah.
Okeiy, dilanjut. Rasanya berada di dalam kabin pun jadi beda, lebih tinggi. Pertama masuk kabin, pertambahan tinggi pandangan mata langsung terasa.
Okeiy, dilanjut. Rasanya berada di dalam kabin pun jadi beda, lebih tinggi. Pertama masuk kabin, pertambahan tinggi pandangan mata langsung terasa.
Nambah tinggi dan maskulin kan? Hihi... |
Dipakai buat berjalan, saya merasakan sensasi
“jeglug-jeglug” atau “jendul-jendul”
ekstrimnya, kayak kita naik sepeda beroda segi delapan, wkwkwk.Ini karena
efek
kembangan kasar ban yang bersentuhan dengan permukaan jalan; baik itu di jalan
tanah, konblok, cor semen, maupun di aspal yang biasa. Adapun di aspal yang halus
mulus, untuk berjalan kencang, jeglug-jegluk itu nyaris tidak
terasa.
Tekanan ban awalnya di-setting
pada 20 psi,
yang ketika dipakai berjalan berasa glodyakan, berguncang
semua seisi jip. Selanjutnya tekanan dikurangi menjadi 18 psi, kok masih glodyakan juga. Akhirnya diputuskan 16
psi sampai sekarang, lumayan… Lha bagaimana kalau 14 atau 12? Kayaknya bakal
lebih empuk eyup, namun risikonya jip akan
lebih limbung. Jadi,
so far kami pilih 16 saja dulu. Pertimbangannya, jip
ini kebanyakan dipake on road yang butuh tekanan udara lebih tinggi dibandingkan buat
blusukan.
Suara dengung (Noise)
Ketika Jimny mulai
berakselerasi, terdengar bunyi dengungan yang lebih bold dibandingkan saat
memakai ban Dynapro. Begitu pula ketika Jimny berjalan kencang, tetap
mendengung. Dengungannya seperti
pesawat latih TNI AU yang pakai baling-baling itu. Saya bahkan sampai perlu make
sure dengan melihat ke atas sana, ke langit, dan ternyata tidak ada satu pesawat pun yang sedang latihan
terbang
Ketika gas dilorot, nada dengung terdengar merendah
seperti ada
kendaraan lain yang sedang membuntuti dari belakang, padahal tidak ada. Awalnya
saya sempat tingak-tinguk…. Eh
ternyata tidak ada siapa-siapa di belakang. Asli, ini bikin geer sekaligus
qeqi. *=*
Saat dibawa on-road
Jogja-Bojonegoro, Jogja-Jepara, dan Jogja-Nganjuk pada bulan Februari-Maret-April
2018 yang lalu, ‘Bang Jim’ masih pakai Dyna Pro 30 MT. Dia berasa ngoyo ketika digas
dalam-dalam di jalan raya. Suara erangan mesin jadi amat tinggi, istilah Jawanya: nggereng. Padahal speed-nya berkisar
60-70km/jam saja, paling pol 80km/jam
dan itu pun jarang; namun nggereng-nya
sudah bikin kuping risih. Adapun suara bising bannya normal-normal saja,
mendengung tipis.
Nah, ceritanya berkebalikan dengan awal dan
pertengahan Juli 2018 kemarin, ketika dipakai untuk perjalanan Jogja- Kudus dan
Jogja-Lawang. Bang Jim sudah ganti sepatu. Kala dipacu di jalan raya, erangan
mesin sedikit lebih kalem, tetapi dengungan ban yang bergesekan dengan aspal
terdengar lebih kencang. Ngung, ngung, nguuung, nguuuuung……… yeah, mirip suara
pesawat latih TNI AU itu tadi. But I
don’t give a damn. Anggap saja ini rhythm
of joy ride. Lama-kelamaan, setelah berjalan dua bulan ini, saya pun sudah
terbiasa bahkan sudah lupa kalau jip kami lebih mendengung.
Laju kendaraan
Perubahan negatif terasa pada saat Jip mulai
dijalankan. Masuk gigi satu, lalu go….!
Akselerasi lebih lambat dibandingkan si Dyna Pro 30 MT. Hal ini wajar, karena semakin
besar diameter ban, semakin berat pula massanya. Semakin kasar
kembangan ban, semakin berat pula ditariknya. Untuk pengangkatan awal, memang tarikan ban 31 ini terasa lebih
berat; namun setelah berjalan langsam, lebih terasa lajunya. Logikanya,
konsumsi BBM pun jadi lebih hemat. Saya
belum menghitung secara mendetail.
So, efek positif yang terasa dari ban 31 ini yakni laju kendaraan
menjadi bertambah meskipun tidak banyak. Saat pedal gas diinjak sedikit saja,
Jimny berasa meluncur lebih jauh dibandingkan
dengan ban 30 kemarin. Jadi lebih cepat
mencapai top speed.
Ini sama kasusnya dengan
roda sepeda mini punya dedek-dedek TK yang berdiameter kecil, yang sekali kayuh hanya bergerak maju
sedikit. Beda dengan sepeda onta milik simbah saya yang
rodanya berdiameter besar, sekali ongkel, wush, wush, wush!!! sudah sampai ke
pos ronda di
depan sana. Jadi, kalau dedek balapan
dengan simbah, si dedek harus ngoyo mengayuh seratus ongkelan untuk menyamai sepuluh
ongkelan santai simbah. Dengan syarat, simbah tidak sedang loro boyok. Begitulah
kira-kira analogi gampangnya. Sekali lagi, ini hanya analogi gampangnya.
Saya jadi ingat perkataan
Om Agus dari Bengkel Gandem, Bantul, bahwa
kalau FG-nya low 8:41, bannya ya
sebaiknya ukuran 31. Tadinya saya sangsi, ah masa iya? Bukannya
nanti malah keberatan ban ya? Ow tidak, ternyata tidak signifikan kok, hanya pas
akselerasi awal. Betul kata si Om *hihihi, offroader dilawan*.
Light Offroad
Saya belum bisa bercerita banyak soal traksi di medan
offroad. Awal bulan Juli ini, si Terra Mania baru dicoba buat CRan (country road-an) di kaki
Gunung Muria, Kudus, ikut trek unyu-unyu 4x2. Sebetulnya sedari rumah ingin
ikut yang 4x4, tapi sejak dari perjalanan di daerah Purwodadi, stir berasa
kocak parah. Jalanan selepas Solo ke arah Purwodadi jelek nian brosis. Stir
yang sudah sedikit kocak dari rumah pun tambah kocak dihajar di rute tersebut. Mas
bengkel langganan yang dihubungi via telfon pun tidak menyarankan kami ikut
CRan. Ha njuk arep ngopo no? Energi
ini sudah saya siapken untuk blusukan je, hik hiks. Alhamdulillah di tikum, kami dapat bantuan perbaikan minor dari rekan-rekan SKIn Kudus. Big tengkyuh buat SKIn Kudus, sudah menjadi
tuan rumah yang begitu peduli akan derita kami heuheuu... Akhirnya kami tetep bisa
ikut CRan, meskipun di trek fun yang unyu-unyu
saja.
CRan di kaki Gunung Muria, Kudus |
3 jip KJFC saat mau CRan di acara Anniversary SKIn Kudus. Kebetulan semuanya pakai ban Delium Terra Mania 31 MT |
Namanya juga fun,
medan CR yang kami tempuh kata Duke Nukem terbilang piece of cake campur sedikit
come get some. Cuma njelajah dusun
milangkori, mlipir kebun, dan sedikit nyebrang sungai. Ada trek tanjakan
jelek menikung cukup tajam yang permukaannya cukup ambyar, tapi ini pun masih
kategori fun. Performa Terra Mania masih
belum terasa bedanya dibandingkan Dynapro.
Dan lain-lain
Pas CRan, saya melihat betapa mendominasinya merk
Savero Komodo Extreme dari pabrikan Gajah Tunggal (Indonesia). Baguslah, kan
“cintailah ploduk-ploduk Endonesa.” Ada juga merk ban extreme lain seperti Simex (Malaysia) dan Maxxis (Taiwan), tapi
kalah banyak. Simex dan Maxxis ini saya lihat kebanyakan dipakai oleh
odong-odong atau jip kompetisi adventure
dan SCS (special competition stage/ lintasan sirkuit).
Sekarang, meskipun telat, saya jadi tahu bahwa ada
merk lain selain merk-merk lazim di atas, ya Delium Terra Mania ini. Buatan
dalam negeri pula. Malah sekarang saya jadi pemakainya. Saya pun menyambut
gembira akan bervariasinya merk ban offroad yang beredar di Indonesia. Hal ini
memberikan lebih banyak pilihan bagi kita pemakai jip, penghobi blusukan, dan
pegiat offroad. Terlebih negeri kita ini kaya akan karet. Menurut
thedailyrecords.com (diakses pada 21 Juli 2018), Bumi Nusantara merupakan penghasil
karet nomor dua terbesar di dunia setelah Thailand. Jamrud khatulistiwa nan
kaya raya ini menyumbang 27,3% produksi karet dunia; di bawah negeri gajah putih (yang dahulu pernah main “sepakbola
gajah” dengan kita itu, hiks, SMH) Thailand memproduksi 35,6%. But sadly,
90% panenan karet alam itu bablas untuk diekspor, yep, ekspornya dalam bentuk
bahan; bukan barang. Lebih sedihnya lagi kalau kita memilih beli ban merk luar negeri, sedangkan negeri tersebut beli
karetnya aja dari kita. Huaaaaa….. pliiizzzzzz….
Bai de wei, sebenarnya eike lumayan penasaran juga lho ama ban CST Taiwan. Gimenong dong? Mereka ngimpor karet dari kita je, heuheu. Siap-siap dimarahin Om Alim Markus nih. Wew... tolong bantuin eike nyari alibi dong brosis. Hmmmm... hmmmm... mmmmmmmmmmm... mmm
I've got it! Kalo eike someday jadi pakai, palingan eike embel-embelin "percobaan''! *getok ledbar*.
So, keinginan saya
lha, emange kamu ini siapa Piet? Mentri? Iya, mentri keuangan
republik dapur , karet bisa
menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karet-karet itu dipanen dan diolah
sendiri oleh anak bangsa dan produknya kembali kepada anak bangsa pula, dengan
harga yang murah rah rahhh, namun kualitas nomor satu tentu saja. Karena apa? Karena kita
punya semuanya: SDA, SDM, tukang insinyur, peneliti, dan konsumen yang melimpah
ruah. Kalau dalam negri sudah tercukupi, baruu sisanya diekspor. Ah, kamu ini Piet…
utopia belaka, hitungan keekonomiannya nggak masuk ituu. Lho memangnya segala
sesuatu itu harus selalu tentang hitungan ekonomi?!
Belakangan ini, saya baru tahu kalau acara offroad
“Thousand Miles” di Trans7 yang dipandu oleh offroader senior Om Syamsir Alam
itu salah satu sponsornya ya pabrikan ban Delium ini. Tadinya saya nggak ngeh,
wong ya jarang nonton. Dasarnya saya orangnya juga jarang nongkrongin tivi.* nggak ada yang nanyak*.
So, that’s
all for now. Kali aja apa yang saya
tuliskan ini bermanfaat bagi brosis yang sedang maju mundur syantiek buat ganti ban.
Kesimpulan
Merk: Delium Terra Mania
Jenis: Mud
Terrain (MT) rasa Extreme
Diameter: 31 inci
Dibuat di: Sumatra, Indonesia
Asal brand:
Indonesia
Harga beli: @ Rp1.175.000,-
Dengung/Noise:
kuat
Tampilan: maskulin, gahar
Compound: lunak
Dipakai on-road
kering: oke dengan speed terbatas
80km/jam
Dipakai light off-road:
oke
Repurchase?: Ya
Nilai sementara (karena belum buat offroad): 4,5 dari 5
Wassalam
~Piet~
Update: 10 Juni 2019
Dipakai di trek batuan cadas, ban ini terasa signifikan ngegripnya. Traksinya lebih baik, lebih mencengkeram dibandingkan si Dynapro MT. Belum dipakai nyemplung lumpur bahagia dan berenang suka ria, karena Bang Jim sekarang mainnya kebanyakan di lokasi camping ceria saja hehehe...
Mulai bulan Mei lalu hingga hari ini tadi, artinya sudah setahun dari tanggal pembelian, ban depan sudah mulai gompel-gompel di bagian kembangan kasarnya. Imbas negatifnya, ketika dipakai on road saat berada pada kecepatan sekitar 30-40km/jam baik karena proses ngegas maupun proses melepas gas, jip terasa keder dan ada dengungan ekstra yang tambah mengganggu. Masjo bahkan bilang bahwa ini bisa memicu sekrup-sekrup pada kendor atau bahkan copot. Jadi, harus lebih rajin ngecek saja.
Update: 21 Mei 2020
Berarti sudah tepat 2 tahun sejak pembelian, dan ban belum minta ganti... hehehe, aseeek, irit! Itu karena jarang dipakai sih, wakwakwakk. Kondisi ban depan tinggal sekitar 60%, tampak gompel-gompel di kembangan kasarnya (sirip), kembangan tengahnya yang langsung bersentuhan dengan tanah tampak berkurang dan semakin tipis. Ban belakang masih sangat baik, kondisinya masih sekitar 90%. Dalam setahun ini jip lebih sering dipakai buat marut aspal ke luar kota: Majalengka, Banjarnegara, Garut, dan Sumedang. Dipakai CRan tipis-tipis di medan lumpur iya juga, dan ban ngegripnya bagus. Selain itu, cuma dipakai kota-kota biasa dan itu pun tidak setiap hari. Dua bulan ini jip nyaris ngendon di rumah karena pandemi covid-19, ban jadi lebih irit lagi.
Efek keder dan dengungan ekstra pada kecepatan 30-40km/jam alhamdulillah sudah tidak lagi terasa sejak sekian bulan yang lalu, mungkin sudah setengah tahunan ini. Itu karena parutan karet ban sudah merata, tidak tinggi-rendah lagi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini brosis bisa lihat foto-fotonya yang saya ambil dengan henpon Cina pada hari Rabu, 20 Mei 2020, di siang hari yang mendung
Ban depan kanan (depan sopir), dan itu tangan si sopir nan macho. |
Ban depan kiri (depan navigator) |
Ban belakang kanan (belakang sopir), masih juga ditunjuk-tunjuk sama sang sopir. |
Ban belakang kiri (belakang navigator) |
Ban dengan si pemakai, masih tampak wangun bukan? Hehe... |
Update: 25 Mei 2022
Ini late post yang amat achmad mamat telat. Jadi ceritanya, pada bulan Juli 2021 saat jip kami bawa piknik kecil ke Ancol Kalibawang (Google-ing aja yes) dengan kecepatan lambat hingga sedang, sekitar 25-60km/jam, berasa keder dan bahkan agak ngeleyot nganan-ngiri. Gak enaak! Saya curiga ini karena si ban yang sudah pating growel. Masjo mencoba tenang bahwa ini cuma karena kondisi jalan yang tidak rata saja. Nah, pulangnya, ketika jip dibawa melaju 70km/jam di Jalan Wates ke arah Jogja, kondisi tersebut semakin terasa. Dan yap! Kecurigaan saya terbukti nyata ketika sampai rumah kami ngecek ban depan, tampak detail kembangannya ibarat tebing dan jurang, njomplang. Ini yang membuat berasa ngeleyot tadi, karena tidak stabil di aspal. Ya, memang sudah saatnya diganti. Selain berasa tidak nyaman, bahaya jika ini dibiarkan, alih-alih pengiritan.
So, i'm gonna tell you brosis bahwa kedua ban depan sudah diganti dengan ban baru pada bulan Oktober 2021 lalu. Merk dan tipe ban baru sama dengan ban lama, Delium Terra Mania 31 MT, hanya saja harganya sudah berbeda.. hihihi, ya iyalah, sudah tiga tahun. Oiya, ban baru ini belinya di toko Coan Ban, Jalan Letjen Suprapto, Jogja. Bukan di toko lama Widodo Ban karena sudah tutup, atau pindah entah kemana, kami tidak tahu pastinya. Harganya Rp1,5 juta perbiji. Beli dua biji jadinya Rp3 jeti pas. Lha ditawar tidak mau kasih turun babar blas je si engkoh.
Selanjutnya, karena toko ini sedang ramai, si engkoh nyuruh masang di tempat lain saja. Lha daripada nunggu antrian, lama juga. Akhirnya ban dicangking pulang, dan searah jalan pulang dipasang di tukang ban pinggir jalan, bayar Rp25 ribu sajo. Sepasang ban baru dipasang di sisi depan.
Sekilas, jika diperhatikan, tampak agak aneh karena ban depan dan belakang beda ukuran. Diameter ban belakang tampak slightly lebih kecil. Ini karena kembangannya yang sudah mulai menghalus, sedangkan kembangan ban depan masih utuh dan sangar kotak-kotak setahu-tahu fitness. I am so sorry, fotonya entah kemana. Lha sudah setengah tahun berlalu je.
Nah, saat ini, sejak tiga bulan yang lalu, jip sedang opname di bengkel body. Lha diapain, Piet? Pokoknya dibongkar total dah, disehatkan dan dibaguskan. Inshaallah biar tambah aman, nyaman, dan membahagiakan.... uhuuiy. Nah, ban baru pun ditukar posisinya, sekarang dipindah ke belakang. Ban lama dipindah ke depan. Ini agar kalau habis, habisnya depan duluan (lagi), tidak barengan empat-empatnya karena bisa berat di ongkos, hehe. Ya, perlu siap-siap kalau 1 sampai 1,5 tahun lagi kudu ganti ban depan lagi. FYI, ban jip ini secara umum lebih cepat halus yang depan. Beda dengan ban sepeda motor atau ban sepeda engkol yang mana lebih cepat halus yang belakang. Ini karena ban depan jip memikul beban yang lebih berat: mesin, AC, winch, dkk.
Btw, saya sedang males ngedit foto buat ngasih tanda air. Ini saja mau posting butuh effort yang uwaw! Ehehe.... Alhamdulillah ng-update akhirnya terlaksana.
Kamis, 27 Januari 2022, saat jip trondol to the max. Body-nya sedang di-remove. Ban baru berposisi di depan. |
Kamis, 27 Januari 2022, dengan body baru (tapi lawas) yang sudah terpasang. Ban baru masih berposisi di depan. |
Minggu, 24 April 2022, dengan body baru yang sudah dicat. Ban baru sudah dipindah ke belakang. |
Minggu, 24 April 2022, aksesoris jip sudah dipasang. Ban baru berposisi di belakang. Inshaallah jip bentar lagi siap dibawa bertualang kembali, dan siap untuk Lebaran minggu depan, hehe. |