Hai hallooo, broda
sista…..
Dari Bantul ke
Muntilan, dari wilayah Jogja bagian selatan ke wilayah Jawa Tengah bagian
selatan, itu sudah berkategoro AKAP ya. Hehee. Nah, kemarin saya main “jug-cing” saja ke Muntilan untuk sekedar
membeli tape ketannya yang enak itu. Abis itu ya langsung pulang. Saya mah gitu
orangnya ^^.
FYI, semua foto dalam postingan ini saya buat dengan kamera HP Lenovo. Jadi, jika dirasa kurang sip, ya harap maklum la yaaw :D
FYI, semua foto dalam postingan ini saya buat dengan kamera HP Lenovo. Jadi, jika dirasa kurang sip, ya harap maklum la yaaw :D
Ceritanya,
beberapa hari sebelum itu, saya main ke rumah saudara di daerah Temanggung.
Memasuki Sleman, kok kepala saya agak pusing, padahal sudah sarapan. Kemudian
terpikirlah untuk mencari yang seger-seger penawar pusing itu. Kalau beli buah,
ah malas mengupas kulit atau memotong-motongnya. Lalu terlintaslah tape ketan seger,
manis, berair, dan legit yang Lebaran lalu saya temui di rumah bulik. Tapi,
mosok ya saya balik ke rumah bulik untuk
minta tape. Wekekek, ndagel tur syaruu. Lagian, Lebaran sudah lama berlalu,
sekarang tapenya ya sudah di septic tank habis to ya.
Begronnya jip, biar greget. Kan ini blog jip?! Nggak nyambung disambung-sambungin. Biarin! Hehe... |
Kebetulan, di
depan sana kan kota kecil bernama Muntilan yang terkenal akan oleh-oleh tape ketannya.
Maka dari itu, memasuki keramaian Kota Muntilan, menepilah jip saya di toko
Tape Ketan Muntilan 181. Gampang banget deh menemukan toko ini. Kalau anda
berkendara dari arah Jogja, memasuki daerah Muntilan, mulai pelankan laju
kendaraan anda. Setelah melewati jembatan, siap-siap tengok kiri depan. Toko
ini letaknya di kiri jalan, jadi enak, kita tidak usah pake rempong nyebrang-nyebrang
jalan segala. Tempat parkirnya pun lumayan luas.
Jip saya di depan toko Tape Ketan Muntilan 181 |
Di situ saya
sengaja fokus pada tape saja, walaupun jajanan pasar di etalase pada “ngawe-awe”; ada klepon, bakso tahu,
sejenis risoles atau lumpia yang dimakannya pakai nyeplus cabe rawit itu.... mmmm
looks yummy, sejumlah jajanan berbungkus daun pisang yang bikin penasaran apa
isi di dalamnya, dll. Biar tidak tergoda oleh mereka *maklumlah, emak-emak suka
masak* saya segera njujug bagian tape
saja di dekat kasir. Saya minta tape yang berwadah toples, tak lupa minta
sendok plastik juga biar bisa segera makan di jalan.
Yummy..... si hijau yang manis segar ini bikin saya ketagihan :) |
Harganya Rp55.000, berat tape ini 1 kg. Hmmm saya pikir nggak sampek segitu je, hiks. Saya kira
harganya Rp30an ribu saja. Wkwkwk.... Yowis, saya beli satu toples. Ada juga
tape berbungkus kantong plastik transparan yang diikat ujungnya, isinya lebih sedikit yakni 1/2kg,
harganya saya lupa hehe... maafkan ya. Lha saya tidak tertarik, karena saya
butuh yang berwadah stabil sehingga tidak tumpah atau belepotan di dalam kendaraan.
Bagi brosis yang
belum tahu tape ketan Muntilan, ini saya kasih sedikit gambaran. Tape ini
terbuat dari beras ketan yang diwarnai hijau. I dunno pewarnanya dari bahan apa, tetapi dilihat dari kecerahannya
kok mengingatkan saya akan pasta pandan yang sering saya pakai bikin kue atau
manisan kolang-kaling itu. Atau, bisa jadi ini pewarna makanan jenis lain; tapi
sepertinya bukan dari daun katuk karena hijaunya daun katuk lebih kalem, tidak
seceria ini. But don’t worry,
kecerahan warnanya masih wajar kok; tidak seperti jajanan anak-anak di depan
sekolah SD yang super ngejreng mengerikan itu.
Dilanjutken. Tekstur
tape ini empuk bin gempi (boso jowo).
Rasanya manis pas, segar kalau dimakan siang bolong. Dimakan tengah malam sambil
menghitung bintang pun asyik aja, palingan ntar tidak terasa udah raib pindah
ke perut semua. Aromanya normal, tidak ada bau-bauan yang aneh-aneh. Kalau kita
menyendok bagian bawah, tapenya lebih basah karena berarir, beras ketan yang di
bawah terfermentasi dengan lebih baik. Air tape ini pun manisnya pas, segar.
Singkat cerita,
setelah pulang dari silaturahim di rumah saudara, tape ini tidak bertahan lama.
Kenapa? Bukaan, bukan karena basi atau rusak, tetapi karena saya cemilin sambil
nonton tivi. Kok tak terasa aja, tinggal separuh toples pun ora ono. Hahaha.... buto! Lha enak je. Manis, legit, seger, dan tidak sengar atau over fermented. Teksturnya pun lembut
dan gimanaaaa gitu. Menyenangkan deh. Keesokan harinya saya lihat di kulkas, eh
dia sudah nyaris habis. Tinggal tersisa sesendok saja. Ternyata masjo juga
doyan. Hahahaha. Kirain emoh..... Tau gitu, kemarin saya beli dobel atau tripel
sekalian ya.
Ukuran toples dibandingkan dengan kacamata minus dan HP qwerty jadoel saya |
Itulah cerita yang
melatarbelakangi *hedeeh bahasanya* keinginan saya untuk beli tape ketan
Muntilan lagi. Ternyata lidah ini nagih, mencari-cari lagi. Mana lagi nih tape
yang bisa ane kunyah?
Hihi.... dan
akhirnya, keesokan harinya meluncurlah kami ke Muntilan hanya untuk membeli
tape tersebut. Kali ini belinya dua toples, biar lebih awet. Yang satu untuk yang matang/dikonsumsi hari ini, satunya lagi matang besok. Jangan khawatir brosis, di tutup toplesnya terdapat tanggal yang jelas kok. Ini dimaksudkan agar kita bisa mengonsumsi pada kematangan yang pas.
Tercantum tanggal matangnya tape di toplesnya |
Lha tapi kok tidak
mborong banyak sekalian? Tiga, lima, atau setengah lusin sekalian? Wkwkwk. Saya
tidak mau rasa nikmat itu berubah menjadi bosen dan eneg. *Eh, ingat bosen,
jadi ingat hukum Gossen :) * Selain itu, tape ini kalau tidak segera habis, rasa
manisnya bisa berubah rasa menjadi manis bercampur sengar atau bahasa jawanya “nyegrak”, menusuk hidung dan tenggorokan. Dan itu tidak enak. Istilah saya: tapenya sudah ketuaan.
Setoples tape dengan sendoknya ini berbungkus plastik kresek hijau |
Olrait, seperti pembelian
yang sebelumnya, saya pun meminta sendok. Setelah itu, di dalam perjalan pulang
pun saya langsung mil-ketemil seperti kijang makan lembayung aja. Hehe.
Kalau soal rasa,
tidak diragukan lagi deh. Toko 181 yang pembuat tape ini sudah berpengalaman
puluhan tahun, sejak 1935 brosis. Sejak kita masih dijajah Belanda. Sejak saya
belum lahir *dikonsep pun belum, wong ortu saya juga belum lahir*. Well, tulisan “sejak 1935” itu terdapat di kantong plastik kresek pembungkus
serta di billboard toko; tapi di
toplesnya kok tulisannya “Pertama sejak
1947” ya? Yang mana yang benar nih? Brosis ada yang tahu kah? Silahkan berikan pendapat di bawah ya :)
Tape ketan
Muntilan warna hijau ini berhasil memenuhi rasa “nyidam” saya. Eh tapi tapi....
tape ini ada tapinya. Di tengah-tengah kunyahan, lidah saya kadang menemukan
substansi keras yang ternyata itu beras ketan yang belum matang sempurna, bsoso
jowone “nglethis”. Tidak banyak sih, tidak di semua suapan, yaaa mungkin 1:8,
tapi cukup mengganggu lah.
Ada beras ketan yang masih mentah... hiks :( |
Karyawan bagian pengukusan perlu lebih cermat nih,
agar beras ketannya matang merata. Pinginnya kan, dari awal sampai titik tape
penghabisan, saya menyendok dan mengunyah tekstur yang halus mulus bagai jalan
tol. Kayak tape Cirebon yang berbungkus daun jambu air itu, totally mulus. Satu lagi, saya juga
menemukan kerikil kecil warna item. Ya, perlu lebih jeli lagi nih bagian
pencuci dalam menyortir beras ketannya.
Kalau disodori yang begini ini, saya mana tahaaaan..... Sikat bleeeh! |
Eniwei, it is not a big deal for me. Nyatanya,
saya masih kembali lagi kok, dan masih berniat kembali lagi untuk membelinya
kapan-kapan. Soalnya enak, sesuai dengan selera saya. Oh ya, ternyata dia punya cabang di Jogja. Walah, baru ngeh saya setelah membaca tulisan di
tas kreseknya. Ora popo, hitung-hitung turing... bwahaha. Turing nanggung.
Kesimpulan saya untuk Tape
Ketan Muntilan 181 ini:
Asyiknya:
+ enak, legit,
manisnya pas, teksturnya pas
+ kemasan toples
mudah di-handle di perjalanan
+ keterangan
tanggal matangnya jelas
+ minta sendok
langsung dikasih (lebih baik otomatis dikasih, tidak perlu minta)
+ tempat parkir
representatif
Nggak asyiknya:
- masih ada beras ketan
yang mentah, juga beberapa gelintir krikil
saran: pengukusan
dan penyortiran beras ketan sebaiknya lebih dicermati lagi
- harga agak ketinggian
saran: menurut saya
perlu diturunkan *bwahaha mode pelit ngirit-irit on* tapi cucoklah kalau masalah pada poin di atas sudah tertangani
- warna hijaunya masih tampak artifisial
saran: lebih
ajib pakai pewarna alami (daun suji, or whatever)
Saya lebih menyukai memakannya pada suhu ruang. Menurut saya, teksturnya lebih lembut dan rasanya lebih 'jujur' daripada kalau dingin keluar dari kulkas. Hehe... ini sih faktor selera saja ya. Monggo, kalau anda lebih menyukai yang dingin.
Oh iya, saya belum pernah mencoba
tape ketan Muntilan dari toko lain atau merk lain. Mungkin kapan-kapan perlu
saya coba. Atau anda punya referensi tape ketan lain yang uenak tenan? Jangan sungkan-sungkan, beritahu saya ya :) Kalau anda ikutan 'nyidam' setelah baca postingan ini, segeraaaa otewe ke tekape.
Wassalam.
~Piet~